Pernah satu kali kami berkunjung ke rumah seorang kerabat, semata untuk menyambung silaturahim. Untuk kepantasan tentunya membeli semacam buah tangan akan memberi kesan lebih mendalam bagi hubungan sesama manusia.
Di sepanjang jalan kami tengok kanan tengok kiri mencari kios buah tetapi tak kunjung didapatkan sampai pada akhirnya mata kami tertumbuk pada 'banner' sederhana tetapi mencuri pandangan karena besarnya tulisan yang tertera "JUAL KEPITING SEGAR". Penjual menggunakan dua ember besar yang diletakkan di pinggir jalan, satu buah motor tampak terparkir dibelakang banner besar itu. Empat pembeli sibuk membolak-balik kepiting yang lumayan besar ukurannya dan kemudian tampak masing-masing membungkus beberapa ekor ke dalam kantong plastik putih.
"Ada yang masih hidup, Pak, kepitingnya?" tanya saya. Penjual menggeleng dan menunjukkan dua ember besar berisi kepiting yang besarnya lebih besar dari telapak tangan saya. Kepiting-kepiting itu tampak menggiurkan di antara tumpukan es batu yang menahannya untuk kelihatan tampak segar.
"Kepitingnya sudah dibumbui pak, tinggal masak saja. Supaya yang beli gampang, kadang-kadang kan ada yang nggak bisa masak kepiting," Sang Penjual membolak-balik kepiting yang dia tawarkan. Dengan sekian banyak kata ia menceritakan kepiting yang dijualnya jarang ada dan sedang panen besar dilaut, katanya.
Saya ikut membolak-balik kepting dan memperhatikan bumbu berwarna kuning yang sudah membaluri tubuh segar kepiting. Besar, menggiurkan dan look tasty.
"Waah....sayang nggak ada yang masih hidup ya!"
"Repot, Pak, mending langsung dibumbui begini, murah lagi."
"Berapa harganya seekor?"
"Dua puluh ribu satu ekor, sekilo tiga puluh lima ribu. Bisa kurang kalau beli banyak."
Kepiting sebesar itu cuma dua puluh ribu? Bayangan makan lima ekor kepiting besar dengan tambahan bumbu lada hitam dengan harga di bawah seratus ribuan segera menggoda selera.
"Kalau beli lima berapa?" tanya saya.
"Sembilan puluh ribu deh Pak," jawab pedagang.
Ketika memegang kembali beberapa ekor kepiting itu, mendadak saya teringat bertahun sebelumnya, ketika kami menjelajah pasar Muara Angke dan mendapatkan kepiting sebesar yang saya genggam hari itu. Satu kilo dihargai delapan puluh lima ribu rupiah. Dan ketika kami membeli dua kilo, dua dari empat ekor di antaranya sudah dalam keadaan tidak hidup, padahal ketika kami memilihnya keempat kepiting masih hidup. Kemudian dua kepiting itu ditolak oleh warung yang kami pilih untuk mengolah kepiting kami dengan alasan dua dari empat kepiting yang kami bawa sudah dalam keadaan mati dan akan terasa busuk jika dimasak.
"Kalo mau beli kepiting selalu dalam keadaan hidup, Pak, itu mutlak!" pesan pengelola warung di Muara Angke. Saat itu kami merasa tertipu karena penjual kepiting memasukkan kepiting yang berbeda dan sudah mati pada kantong plastik kami, padahal harga yang kami bayar tetap sama.
--
"Jadi beli, Pak, berapa ekor?" pedagang tiba-tiba bertanya kepada saya tentang kepiting berwarna kuning dalam ember yang ingin saya beli.
"Wah..maaf pak, saya lupa ambil uang di ATM, ambil uang dulu ya kalau sempat nanti saya kembali!" saya berbohong untuk tidak jadi membeli kepiting dagangan orang tersebut.
Dalam kendaraan menuju kerumah kerabat yang tak jauh lagi, saya mengingat kembali warna-warna bumbu kuning dalam kepiting di ember-ember besar tadi yang beraroma kunyit kuning yang seolah sedang melawan kebusukan itu untuk menutupi indera penciuman para pembeli dengan diiming-imingi harga yang bahkan jauh lebih murah dari harga di Muara Angke. Perut saya mendadak mual mengingat kembali betapa busuknya bau kepiting mati ketika dibelah. Akhirnya saya lebih memilih membeli dua buah cempedak yang tergantung dijual di pinggir jalan untuk buah tangan. Kali ini kuningnya isi cempedak alami begitu menggoda.
Tiba di rumah kerabat, kami menyodorkan buah tangan dua untai cempedak yang disambut luar biasa gembira oleh tuan rumah. Sepanjang pagi menjelang makan siang obrolan seolah tanpa henti sampai kami diingatkan untuk makan siang.
"Hei..ayo makan siang ya, istriku sudah masakin khusus buat tamunya nih. Ayo ya makan!" tawaran tuan rumah yang menggugah selera kami sambut baik.
Di meja makan berderet nasi dan beberapa jenis kerupuk yang sudah tersedia disusul Si Nyonya Rumah yang membawa satu mangkok besar berisi masakan istimewa dengan asap yang masih mengepul dengan derasnya.
"Ayoo...saya tahu kalian sekeluarga suka sekali..ini ada menu special buat kalian. Besar-besar lhoo..ayo dimakan ya!" seru si tuan rumah dengan riangnya.
Asap mengepul itu mampir ke hidung saya, ketika mangkuk besar itu mendarat di meja makan, lima ekor kepiting besar-besar tampak tercelup dalam kuah berwarna kuning, aromanya begitu saya kenal, sangat saya kenal.
Detik itu juga saya mencari kata-kata, mencari pembenaran dengan kalimat yang sebisa-bisanya.
"Aduuh enak banget, wuiiih... tapi sorry banget, kemarin periksa kolestrol angkanya tinggi banget. Nggak makan yang beginian dulu deh..sorry..sorryy banget. saya makan pake kerupuk aja ya!"
Anak dan istri saya melirik, tahu kebohongan saya tetapi mereka tak punya alasan kolesterol tinggi. Saya biarkan mereka mencari sendiri alasan penolakannya, sementara saya mencoba mengatur perut untuk tidak berontak mengingat kepiting-kepitig berperut busuk yang coba ditutupi bumbu kunyit dengan satu kunci marketing yang paling mujarab, "Yang penting harga murah!"
Kadang kebusukan sering terselip di balik harga murah...ya kadang-kadang, Bahkan kadang korbannya adalah justru kerabat terdekat.
Maka hari itu terpaksa saya melakukan dua kali kebohongan. Waspadalah!!
-From the desk of Aryadi Noersaid-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H