- CATATAN TEPI-
Malam kemarin di satu rumah makan di wilayah radio dalam, saya memesan makanan dan menyantapnya disana untuk berbuka puasa karena macetnya jalan raya.
Setelah selesai makan dan berdiri dihadapan kasir untuk membayar, saya disodori print out jumlah tagihan yang harus dibayar yaitu sebesar Seratus tiga ribu rupiah.
Satu lembar uang seratus ribu ditambah satu lembar uang sepuluh ribuan saya sodorkan kepada kasir, artinya saya akan mendapatkan uang kembalian tujuh ribu rupiah. Saya menunggu reaksi kasir dan tepat dugaan saya, ia menyodorkan kembali satu lembar uang sepuluh ribu rupiah kepada saya dan meminta agar saya membayar dengan besaran uang yang ia inginkan.
"Uang pas saja pak, tiga ribu rupiah!"
Saya tersenyum memandanginya dan tidak bereaksi menyambut sodoran uang sepuluh ribu rupiah. Lama saya tatap sampai ia kemudian menarik kembali uang sepuluh ribu rupiah itu lalu meletakannya kedalam ruang-ruang laci mesin kasir yang disusun berdampingan kemudian menyodorkan uang tujuh ribu rupiah kepada saya. Artinya ia punya uang sebesar itu tetapi enggan memberikannya kepada saya dengan alasannya sendiri
Perintah kasir ini sepertinya memang merupakan prosedure standard dalam menerima pembayaran konsumen-konsumen mereka di negeri ini. Konsumen selalu diperintah membayar dengan jumlah uang yang tidak merepotkan sang kasir. Dalam riset kecil-kecilan sebelumnya yang saya pernah lakukan ditempat berbeda, dari lima kali saya membayarkan uang yang membutuhkan kembalian, empat kasir meminta saya membayar dengan uang pas hanya satu yang memberikan kembalian tanpa bertanya.
"Bayar uang pas saja pak!", "Uang kecil saja pak!" itu perintah standard mereka kepada kita.
Bagi saya menghadapi sikap para kasir seperti itu adalah dengan tindakan awal yaitu memperkecil selisih dari uang yang kita serahkan apabila memang tak punya uang pas. Tetapi jika hal itu sudah dilakukan seperti yang saya lakukan di Radio dalam kemarin namun masih tak berhasil maka dua sikap yang saya lakukan setelahnya adalah diam dan menggeleng atau memilih tidak jadi membeli jika itu berkaitan dengan produk yang bisa kita batalkan. Biasanya cara ini ampuh dan mereka mengembalikan uang yang disodorkan dengan segera.
Saya pernah bertanya pada Professor Carlos dari filipina saat suatu kali mengikuti kursus tentang kemampuan penanganan konsumen yang diselenggarakan bank dunia di Bali. Profesor itu memberikan jawaban yang kemudian saya praktekan ketika menunggu toko pakaian saya sendiri dan melayani di beberapa stand bazzar yang saya ikuti bersama istri dalam menghadapi konsumen yang membayar dengan uang besar. Biasanya kami menyiapkan uang kecil sebelum toko atau stand dibuka tetapi bila memang sudah kehabisan karena penjualan yang ramai tak terduga maka Professor Carlos menyarankan untuk memberi pernyataan semacam ini:
"Maaf pak/bu, sebentar ya kembaliannya kami cari dulu, mungkin akan harus menunggu, mohon sabar ya kami segera carikan kembaliannya!".
Bila konsumen mengangguk mau menunggu, kami segera carikan kembalian sesegera mungkin tetapi bila ia kemudian merogoh kantong lainnya mencari uang pas maka kemenangan telah diraih kami sebagai penjual. Dengan kalimat itu hampir tidak pernah konsumen mengancam untuk tidak jadi membeli bila tak ada kalimat perintah membayar dengan uang pas yang diberikan kepada mereka karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kasir sedang berusaha mencarikan kembalian bagaimanapun caranya.
"Intinya haram memerintah konsumen yang akan memberikan uang kepada kita!" kata Professor Carlos.
Lain lagi dengan layanan di restoran ketika kita ingin memesan menu yang tidak tercantum dalam daftar menu mereka. Penolakan selalu terjadi di awal pemesanan oleh pelayan.
Saya pernah mencoba memesan satu menu dimana tersedia dua pilhan sayur yaitu Tumis Baby kailan cah jamur dan Tumis tauge ikan asin yang harganya hanya selisih dua ribu rupiah. Saat saya meminta dibuatkan tumis kailan ikan asin si pelayan menggeleng dan menyatakan tidak ada dalam menu mereka. Dua kali saya meminta dengan sangat sampai memanggil supervisor mereka dan tetap ditolak karena tak ada dalam menu sampai akhirnya saya minta bertemu dengan kokinya langsung.
"Bapak ini mau dibuatkan tumis Baby kailan ikan asin yang nggak ada disini. Saya sudah katakan tidak ada tapi tetap memaksa!" cerita pelayan pada koki dihadapan saya.
Sang koki tersenyum lalu bertanya:
"Bapak mau membayar seharga tumis Kailan cah jamur?"
"Aaah..koki pintar. Saya akan bayar!" sahut saya segera dan kokipun kembali ke markas dapurnya disambut wajah bingung sang pelayan. Alhasil beberapa menit kemudian datang menu Tumis baby kailan ikan asin seharga Tumis baby kailan cah jamur. Tak ada yang sulit bagi Koki yang bijaksana, ia hanya menukar tauge yang lebih murah dengan baby kailan yang sedikit lebih mahal dan saya sebagai konsumennya bersedia membayar selisihnya. Semudah itu.
Hidup memang seperti itu. Seringkali dihadapi dengan hal yang begitu saja dirancang sejak awal oleh pendahulu kita dan kita terjebak dipraktek yang seolah tak bisa diubah dan tak perlu digunakan cara lain.
Begitu juga agama, banyak yang menyerukan penolakan dan pelarangan terhadap satu hal hanya karena mereka tak pernah berpikir langkah apa yang bisa diperbaiki tanpa melanggar hal pokoknya.
Maka jadilah kita sering tenggelam dalam perbedaan pada garis yang tak pernah bisa diseberangi meski untuk satu kebaikan.
Anda dan saya masih begitu? Mungkin kita harus lebih sering menyantap Tumis baby kailan ikan asin bersama-sama.
-AN-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H