Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama dalam Sepiring Baby Kailan dan Mesin Kasir

18 Juni 2016   00:28 Diperbarui: 18 Juni 2016   00:45 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila konsumen mengangguk mau menunggu, kami segera carikan kembalian sesegera mungkin tetapi bila ia kemudian merogoh kantong lainnya mencari uang pas maka kemenangan telah diraih kami sebagai penjual. Dengan kalimat itu hampir tidak pernah konsumen mengancam untuk tidak jadi membeli bila tak ada kalimat perintah membayar dengan uang pas yang diberikan kepada mereka karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kasir sedang berusaha mencarikan kembalian bagaimanapun caranya.

"Intinya haram memerintah konsumen yang akan memberikan uang kepada kita!" kata Professor Carlos.

Lain lagi dengan layanan di restoran ketika kita ingin memesan menu yang tidak tercantum dalam daftar menu mereka. Penolakan selalu terjadi di awal pemesanan oleh pelayan.

Saya pernah mencoba memesan satu menu dimana tersedia dua pilhan sayur yaitu Tumis Baby kailan cah jamur dan Tumis tauge ikan asin yang harganya hanya selisih dua ribu rupiah. Saat saya meminta dibuatkan tumis kailan ikan asin si pelayan menggeleng dan menyatakan tidak ada dalam menu mereka. Dua kali saya meminta dengan sangat sampai memanggil supervisor mereka dan tetap ditolak karena tak ada dalam menu sampai akhirnya saya minta bertemu dengan kokinya langsung.

"Bapak ini mau dibuatkan tumis Baby kailan ikan asin yang nggak ada disini. Saya sudah katakan tidak ada tapi tetap memaksa!" cerita pelayan pada koki dihadapan saya.

Sang koki tersenyum lalu bertanya:

"Bapak mau membayar seharga tumis Kailan cah jamur?"

"Aaah..koki pintar. Saya akan bayar!" sahut saya segera dan kokipun kembali ke markas dapurnya disambut wajah bingung sang pelayan. Alhasil beberapa menit kemudian datang menu Tumis baby kailan ikan asin seharga Tumis baby kailan cah jamur. Tak ada yang sulit bagi Koki yang bijaksana, ia hanya menukar tauge yang lebih murah dengan baby kailan yang sedikit lebih mahal dan saya sebagai konsumennya bersedia membayar selisihnya. Semudah itu.

Hidup memang seperti itu. Seringkali dihadapi dengan hal yang begitu saja dirancang sejak awal oleh pendahulu kita dan kita terjebak dipraktek yang seolah tak bisa diubah dan tak perlu digunakan cara lain.

Begitu juga agama, banyak yang menyerukan penolakan dan pelarangan terhadap satu hal hanya karena mereka tak pernah berpikir langkah apa yang bisa diperbaiki tanpa melanggar hal pokoknya.

Maka jadilah kita sering tenggelam dalam perbedaan pada garis yang tak pernah bisa diseberangi meski untuk satu kebaikan.

Anda dan saya masih begitu? Mungkin kita harus lebih sering menyantap Tumis baby kailan ikan asin bersama-sama.

-AN-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun