Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

[Catatan Tepi] Menghukum Generasi Maya

28 Mei 2016   21:23 Diperbarui: 29 Mei 2016   13:59 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bukan dia yang harus diatur disiplinnya karena saya tahu sejak jam lima pagi dia sudah bangun dan bersiap diri. Hanya kami salah mengatur keberangkatan karena tidak tahu keterlambatan ini!”

“Baik Pak, kami tidak tegur anak-anak dengan cara keras, Kami berharap orang tua bisa menerima dengan pemanggilan ini dan memperbaiki anak-anaknya.”

“Jadi, Bapak tidak memarahi mereka ketika terlambat?” tanya saya. Beliau menggeleng dan terseyum.

“Kami hanya tidak memperbolehkan mereka ikut pelajaran pertama, itu saja,”

“Jadi tidak menghukumnya?”

“Tidak, di kesempatan inilah kami mengundang orang tua. Setelah terlambat lima kali. Kami berusaha melibatkan orang tua dan kami tidak menerapkan hukuman, apalagi secara fisik.”

“Menghukum kan bukan hanya fisik, tetapi ada hukuman lain. Karena tidak dihukum itu makanya anak saya tidak pernah bercerita pada saya kalau sudah terlambat beberapa kali.”

“Kami menjaga hubungan dengan orang tua. Dengan menghukum anak-anak mereka, kami takut orang tua salah mengerti dan menuntut kami!” setengah terhenyak, Pagi itu saya mengerti betapa mengerikannya mengajar anak-anak modern di masa sekarang, takut dituntut.

“Khusus anak saya, mohon Bapak sudi menghukum bila anak saya salah, tetapi untuk hal ini bukan kesalahannya. Ini kesalahan saya. Terima kasih!” Saya meninggalkan gedung Sekolah Menengah Pertama Negeri itu dengan sekian pertanyaan dalam hati tentang arti sebuah pendidikan.

Bersamaan mengantar Rifqi ke kelas, saya teringat bertahun-tahun lalu ketika saya sebaya dengannya, bunyi “plaak” sering terdengar di kelas SMP kami ketika pelajaran Biologi. Rentangan telapak tangan Ibu Reni mendarat keras di punggung tanpa ampun dan sekian lama mewarnai pelajaran kami tetapi tidak mencederai.

“Mulutmu… jawab kok sekenanya!” umpatan Ibu Reni Guru Biologi menerjang telinga ketika kami yang tak mampu menjawab apa ciri-ciri hewan Molusca dan hewan Pseudopodia. Lebih siang lagi ada guru Bahasa Inggris Pak Giroth yang membuat kelas mencekam karena cambang rambut kiri dan kanan siap melintir ke atas diikuti tubuh yang berusaha mengimbangi rasa sakit apabila gagal mengubah kata bahasa Inggris bentuk pertama ke bentuk ketiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun