Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

[Catatan Tepi] Menghukum Generasi Maya

28 Mei 2016   21:23 Diperbarui: 29 Mei 2016   13:59 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Siswa generasi Z. (Shutterstock)

Pada saat di Sekolah Dasar Negeri, saya terpaksa memindahkan anak-anak saya dari sekolahnya ke sekolah lain begitu semester genap berakhir. Bukan karena nilai anak saya terburuk dari yang lain, tetapi sang wali kelas tidak mampu menjawab ketika saya bertanya tentang sikap dan kelakuan anak saya di sekolah. Pertanyaan standar pada acara pembagian raport hasil belajar di setiap jenjang sekolah anak-anak saya adalah bukan berapa nilai atau rangking yang didapat, tetapi bagaimana kelakuan mereka di sekolah.

“Sebentar, saya ingat-ingat dulu anak Bapak yang mana ya?” Beliau membolak-balik catatan nama-nama murid berikut dengan foto. Setelah bertemu ia mulai mengeluh tak mampu menilai satu per satu anak muridnya.

“Saya tidak mungkin meminta anak saya untuk jadi juara kelas atau menjadi paling bodoh atau bahkan supaya paling nakal untuk bisa dikenal Ibu sebagai wali kelas!” seru saya.

“Muridnya banyak sih, Pak. Saya tidak ingat satu per satu. Mereka berjumlah empat puluh dua murid.” Percakapan pun ditutup. Saya mengambil raport dua anak kembar saya tanpa perlu lagi melihat berapa nilai yang didapat oleh keduanya.

Ketika jenjang SD terlewati, tidak ada panggilan khusus kami sebagai orang tua atas kelakuan anak-anak kami di sekolah. Itu artinya mungkin saja mereka adalah murid yang patuh dan tidak bermasalah atau sebaliknya guru tidak mengenal mereka.

Di saat mereka duduk di jenjang SMP panggilan pertama yang saya terima adalah ketika salah satu anak kembar meminta saya datang ke sekolah untuk menghadap guru BP sekaligus wakil Kepala sekolah.

“Ada apa?”

“Aku sudah terlambat ke sekolah lebih dari lima kali dalam satu semester, Ayah. Hari ini tidak boleh masuk kalau Ayah atau Bunda tidak datang,” Rifqi menyodorkan surat panggilan kepada saya.

Di sekolah saya bertemu dengan guru BP. Beliau menceritakan bahwa secara akademis anak saya tidak bermasalah, tetapi kedisiplinan untuk tiba di sekolah sudah melebihi syarat yang dibolehkan.

“Kalau itu saya yang salah, Pak Guru, bukan anak saya. Terima kasih sudah memanggil karena saya yang mengatur jadwal mereka berangkat karena kebetulan mereka berangkat bersama kendaraan saya dan lebih mendahulukan saudaranya yang lain untuk kemudian mengantar Rifqi ke perempatan jalan mengambil angkot ke jurusan sekolah ini. Sayangnya dia tidak pernah bilang ke saya bahwa waktu mengantar kurang pagi sehingga dia terlambat.”

“Ya Pak, tolong dijaga disiplinnya anak Bapak!”

“Bukan dia yang harus diatur disiplinnya karena saya tahu sejak jam lima pagi dia sudah bangun dan bersiap diri. Hanya kami salah mengatur keberangkatan karena tidak tahu keterlambatan ini!”

“Baik Pak, kami tidak tegur anak-anak dengan cara keras, Kami berharap orang tua bisa menerima dengan pemanggilan ini dan memperbaiki anak-anaknya.”

“Jadi, Bapak tidak memarahi mereka ketika terlambat?” tanya saya. Beliau menggeleng dan terseyum.

“Kami hanya tidak memperbolehkan mereka ikut pelajaran pertama, itu saja,”

“Jadi tidak menghukumnya?”

“Tidak, di kesempatan inilah kami mengundang orang tua. Setelah terlambat lima kali. Kami berusaha melibatkan orang tua dan kami tidak menerapkan hukuman, apalagi secara fisik.”

“Menghukum kan bukan hanya fisik, tetapi ada hukuman lain. Karena tidak dihukum itu makanya anak saya tidak pernah bercerita pada saya kalau sudah terlambat beberapa kali.”

“Kami menjaga hubungan dengan orang tua. Dengan menghukum anak-anak mereka, kami takut orang tua salah mengerti dan menuntut kami!” setengah terhenyak, Pagi itu saya mengerti betapa mengerikannya mengajar anak-anak modern di masa sekarang, takut dituntut.

“Khusus anak saya, mohon Bapak sudi menghukum bila anak saya salah, tetapi untuk hal ini bukan kesalahannya. Ini kesalahan saya. Terima kasih!” Saya meninggalkan gedung Sekolah Menengah Pertama Negeri itu dengan sekian pertanyaan dalam hati tentang arti sebuah pendidikan.

Bersamaan mengantar Rifqi ke kelas, saya teringat bertahun-tahun lalu ketika saya sebaya dengannya, bunyi “plaak” sering terdengar di kelas SMP kami ketika pelajaran Biologi. Rentangan telapak tangan Ibu Reni mendarat keras di punggung tanpa ampun dan sekian lama mewarnai pelajaran kami tetapi tidak mencederai.

“Mulutmu… jawab kok sekenanya!” umpatan Ibu Reni Guru Biologi menerjang telinga ketika kami yang tak mampu menjawab apa ciri-ciri hewan Molusca dan hewan Pseudopodia. Lebih siang lagi ada guru Bahasa Inggris Pak Giroth yang membuat kelas mencekam karena cambang rambut kiri dan kanan siap melintir ke atas diikuti tubuh yang berusaha mengimbangi rasa sakit apabila gagal mengubah kata bahasa Inggris bentuk pertama ke bentuk ketiga.

Mereka ada dari sekian guru yang membuat kami berusaha tidak berbuat salah dengan menghukum meski kemudian kita mendapat kelas hiburan menggambar oleh Pak Boradi dengan senyam-senyum dan celetukan konyolnya. Saat hening kelas di kala menggambar, beliau mendendangkan lagu the Art company "Susanna" yang tengah hits ketika itu dengan suaranya yang berat dan tidak merdu.

Sekarang sekian tahun berlalu saya tak pernah mendengar guru-guru kami yang menghukum dengan ketegasan dan terkadang menyakitkan masuk penjara karena laporan anak-anak seusia kami. Mereka menghukum dengan penuh kecintaan dan tidak mengobarkan kebencian dari murid-muridnya setelah menerima hukuman. Semua rela dihukum atas kesalahan yang dibuat masing-masing.

“Entah kamu beruntung atau tidak sekolah di jaman seperti ini anak-anakku? Di jaman ketika rasa sakit tidak bisa dirasakan ketika bermain perang-perangan karena semua darah yang keluar bukan akibat jatuh terpeleset ke dalam kubangan tempat bersembunyi, tetapi hanya dilihat di layar kaca tiga dimensi di berbagai tipe permainan online serbamaya!”

Dengan guru yang tak kenal muridnya, kebingungan atas hukuman bagi anak-anak yang sehari-hari merasakan senang dan sedih di dunia maya dan kegalauan guru terhadap ancaman aduan orang tua atas unsur pidana saya hanya bisa mengingat lirik lagu yang didendangkan Almarhum Pak Boradi guru gambar saya.

…Sussanna, susanna, Sussanna I’m crazy loving you.
-AN-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun