Saya sempat melirik ke atas di mana Yuli dan Rikson berada ketika melintasi tengah lapangan menuju meja terakhir. Mereka tertawa dan mengangguk-anggukkan kepala entah apa artinya.
Selesai melewati tujuh meja saya kembali ke balkon, duduk di antara dua kursi yang mereka duduki.
“Gimana?” tanya saya penuh harap, menanti penilaian mereka.
Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal dan menepuk-nepuk pundak saya.
“Jalanmu kayak kingkong tadi... hahahahaha!” mereka lanjut tertawa. Begitulah memang cara jalan saya berjalan dengan goyangan mirip kingkong yang siap menantang apa saja.
“Kingkong mau jadi pramugara…!” timpal Yuli.
Saya ikut tertawa, terpingkal-pingkal. Bukan tersinggung, ya buat apa memang karena mungkin saya tak ingin betul-betul jadi pramugara. Kalau lulus syukur dan kalau nggak lulus ya anggap saja seperti kingkong merindukan pesawat.
Satu minggu lewat, kami menunggu dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Perjanjian untuk bertemu dibuat sehari sebelum pengumuman lalu esoknya kami bertiga menuju gedung yang sama di mana kami menjalani tes seminggu sebelumnya.
Tiga lembar kertas putih menempel di dinding dan satu per satu peserta tes mencari nama-nama mereka. Saya membiarkan Rikson dan Yuli menelusuri list peserta yang lulus, wajah mereka beradu pandangan dan mundur teratur. Saya mencolek keduanya untuk bertanya tetapi mereka malah meminta saya untuk melihat sendiri.
“Ternyata, malah kingkong yang luluuus?” saya berteriak begitu melihat nama saya ada di sana, tertawa terbahak-bahak, mendentamkan kepalan tangan ke dada seperti kingkong merayakan kemenangan mendapatkan tubuh ‘Ann’ dalam genggaman dari musuh-musuhnya.
Saya mencari dua sahabat saya yang ganteng dan menemui keduanya sedang menyeruput teh botol dengan masygul.
“Hei… manusia manusia ganteng, hari ini Tuhan menunjukkan kuasanya. Keadilan telah datang!” saya tertawa meledak ditingkahi lemparan gumpalan kertas dari mereka.