[caption caption="Ilustrasi - pramugari dan pramugara. (Shutterstock)"][/caption]Satu sore di awal usia dua puluhan, dua orang sahabat saya yang dalam kategori berwajah ganteng datang ke rumah. Dulu tak ada handphone, jadi orang mau datang kapan saja ya mesti kita terima, sedangkan bagi yang mau bertandang jika Tuan rumah yang dituju tidak ada, itu menjadi risiko mereka.
“Ar, besok temenin kita berdua ngelamar kerja ke Garuda, yuk!”
“Temenin?… maksudnya?”
“Ada lowongan untuk cabin crew maskapai Garuda. Mereka mencari pramugara untuk disekolahin, dikasih uang saku sampai lulus. Tesnya di Aula Polri Blok M. Besok jadwalnya tes penampilan,” ujar Yuli.
Saya tersenyum kecut. Jadi pramugara? Hmm, ini orang dua minta ditemani, bukan ngajak bareng melamar kerja.
“Gimana kalo kita bareng aja melamarnya?” tukas saya
Kali ini senyum mereka yang mendadak kecut ketika memandang tubuh saya yang saat itu masih kurus, agak legam, rambut ikal, hanya tinggi badan yang masuk kategori mencukupi.
“Kenapa? Karena saya nggak ganteng? Gak boleh?” serang saya.
“Yaaa... terserah, ikut aja besok. Bawa syarat-syaratnya!” mereka garuk-garuk kepala. Orang ganteng di mana-mana memang sombong.... Hahaha.
“Saya memang gak ganteng, tapi bukan berarti jelek. Kenapa? Takut tersaingi?”
Mereka berdua terbahak-bahak. Tak tahu nadanya menghina atau menghibur, namanya juga sahabat. Hari itu kami bersama membuat salinan berbagai dokumen persyaratan untuk dibawa besok hari.
Ternyata hari pertama kami datang hanya untuk menyerahkan dokumen dan penjadwalan tes menunggu giliran karena begitu banyak pelamar untuk posisi yang sama. Kami mendapat jadwal tes penampilan di hari ketiga dengan syarat harus memakai dasi, bercelana gelap dan berpakaian warna terang.
Dua hari saya mencari dasi, mencoba meminjam atau paling tidak membeli. Untung ayah saya punya selembar dasi berwarna pink satu-satunya yang tak pernah ia pakai selama memilikinya.
Di depan cermin saya memandang tubuh yang kurus, rambut yang ikal berarah serabutan dan kulit yang tak putih bersinar karena tak pernah tersentuh lulur buah bengkoang. Dengan dasi pink di selipan kerah baju milik ayah berwarna putih bersih saya nampak mematutkan diri.
“Selamat siang, Bapak Ibu, selamat datang di penerbangan kami. Saya cabin crew akan melayani Anda semua...!” mulut ini komat-kamit mengikuti kalimat yang biasa disampaikan oleh seorang pramugara di atas pesawat yang hanya saya bisa lihat dalam film-film nasional ketika itu. Di depan cermin tepat semalam sebelum esok tiba untuk beraksi di depan para penilai penampilan calon pramugara.
Semalaman saya berpikir, mau apa sebetulnya saya jadi pramugara. Apa tubuh, wajah, dan postur saya memang laku di industri pelayanan transportasi udara ini? Saya membayangkan saingan terdekat saya Rikson dan Yuli yang tanpa berpoles wajah pun nampak gagah dengan balutan dasi di lehernya.
Melihat kegundahan yang saya alami, ayah saya malam itu menghampiri dan memberi kalimat nasihat pendek. “Berangkat dengan keyakinan akan lebih bernilai dibanding berangkat mengandalkan penampilan!”
JLEBB… saya tertidur dengan hangat menghadapi persaingan esok hari, hampir lupa baju dan dasi masih melingkar di leher.
Hari penghakiman tiba. Para calon diminta duduk di balkon yang tinggi sementara satu per satu calon pramugara dipanggil turun dan diminta berjalan melintasi lapangan di tengah aula untuk menghampiri meja penguji dan diminta bersalaman, memperkenalkan diri sambil menyebut nama serta tujuan kedatangan ke meja tersebut. Siapa saja para calon bisa melihat calon lain menjalani tes. Ada tujuh meja penguji yang harus dihampiri dan masing-masing menatap setiap calon di hadapan tanpa berkedip melihat dari ujung kaki sampai ujung kepala, memandangi gerak bibir dan menghantui dengan pandangan menyelidik setiap gerakan yang dilakukan.
Rikson dan Yuli mendapat giliran lebih dahulu lalu mereka kembali ke balkon setelah sekian puluh menit menyelesaikan perjalanan mereka satu per satu ke meja penguji. Saya memperhatikan mereka di antara kerumunan sejak mereka menuruni tangga sesaat nama mereka dipanggil untuk menjalani tes.
“Gimana penampilan kita berdua tadi?” Yuli bertanya. Saya hanya mengacungkan jempol . Mereka tersenyum dan tak lama nama saya dipanggil untuk turun.
Tubuh yang cuma 59 kg dengan tinggi 177 cm karena kurang gizi ini meluncur menyusuri anak tangga, berjalan melewati ujung garis lapangan menuju sudut lain dan bertemu tatapan yang nampak tegas tetapi penuh selidik. Setiap meja saya lalui dengan dasi yang meliuk ke kanan ke kiri mengikuti irama tubuh yang berjalan dengan sepenuh hati. Setiap genggaman tangan yang disodorkan saya salami dengan tegas dan senyum merekah tanpa kepalsuan.
Saya sempat melirik ke atas di mana Yuli dan Rikson berada ketika melintasi tengah lapangan menuju meja terakhir. Mereka tertawa dan mengangguk-anggukkan kepala entah apa artinya.
Selesai melewati tujuh meja saya kembali ke balkon, duduk di antara dua kursi yang mereka duduki.
“Gimana?” tanya saya penuh harap, menanti penilaian mereka.
Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal dan menepuk-nepuk pundak saya.
“Jalanmu kayak kingkong tadi... hahahahaha!” mereka lanjut tertawa. Begitulah memang cara jalan saya berjalan dengan goyangan mirip kingkong yang siap menantang apa saja.
“Kingkong mau jadi pramugara…!” timpal Yuli.
Saya ikut tertawa, terpingkal-pingkal. Bukan tersinggung, ya buat apa memang karena mungkin saya tak ingin betul-betul jadi pramugara. Kalau lulus syukur dan kalau nggak lulus ya anggap saja seperti kingkong merindukan pesawat.
Satu minggu lewat, kami menunggu dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Perjanjian untuk bertemu dibuat sehari sebelum pengumuman lalu esoknya kami bertiga menuju gedung yang sama di mana kami menjalani tes seminggu sebelumnya.
Tiga lembar kertas putih menempel di dinding dan satu per satu peserta tes mencari nama-nama mereka. Saya membiarkan Rikson dan Yuli menelusuri list peserta yang lulus, wajah mereka beradu pandangan dan mundur teratur. Saya mencolek keduanya untuk bertanya tetapi mereka malah meminta saya untuk melihat sendiri.
“Ternyata, malah kingkong yang luluuus?” saya berteriak begitu melihat nama saya ada di sana, tertawa terbahak-bahak, mendentamkan kepalan tangan ke dada seperti kingkong merayakan kemenangan mendapatkan tubuh ‘Ann’ dalam genggaman dari musuh-musuhnya.
Saya mencari dua sahabat saya yang ganteng dan menemui keduanya sedang menyeruput teh botol dengan masygul.
“Hei… manusia manusia ganteng, hari ini Tuhan menunjukkan kuasanya. Keadilan telah datang!” saya tertawa meledak ditingkahi lemparan gumpalan kertas dari mereka.
Hari itu saya menari. Keputusan anomali dari Maskapai Garuda membawa cakrawala baru bahwa Tuhan tak pernah mengerdilkan manusia hanya dari apa yang diberikan secara kasat mata.
Meski lulus dan berhak untuk ikut tahapan berikutnya, saya akhirnya memilih bergabung di satu perusahaan minyak yang memberi kesempatan lebih baik untuk mencari kehidupan yang baru.
Tetapi titik Itulah yang meskipun saya sebenarnya merasa bukan siapa-siapa, pengumuman itu membuat saya belajar untuk santai saja saat menyalami seorang presiden RI, berdiri dan duduk satu kursi dengan seorang menteri, menghadapi terjangan pertanyaan anggota-anggota DPR-RI Komisi VII dalam rapat-rapat teknis dan terakhir menghadapi tatapan jaksa, pembela, dan tiga majelis hakim dalam sidang Tipikor sebagai saksi.
Allah sudah menyempurnakan tubuh kita sebaik-baiknya karena sesungguhnya inilah bentuk yang pas untuk karakter dan potensi diri kita.
“Berangkat dengan keyakinan akan lebih bernilai dibanding berangkat mengandalkan penampilan!”
Nasihat ini akan saya teruskan kepada anak-anak lelaki saya. DARE TO FAIL!
-AN-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H