Sampai September, pengangguran kaum muda tetap tinggi jauh di atas angka populasi umum. Untuk mereka yang berusia antara 16 hingga 19 tahun, itu 15,9% dan untuk mereka yang berusia antara 20 hingga 24 tahun, itu adalah 12,5%.
Sebagian, tingkat pengangguran yang tinggi disebabkan oleh fakta bahwa pekerja muda cenderung terkonsentrasi di industri ritel, perhotelan, dan rekreasi, yang mengalami pukulan terberat dari penguncian COVID-19.
Terkadang, pengangguran pemuda diabaikan seolah-olah itu bukan masalah besar - ada persepsi bahwa mereka akan baik-baik saja karena mereka masih muda. Tidak apa-apa menjadi melarat saat Anda berusia akhir belasan atau awal 20-an, mengerjakan pekerjaan buruk dengan bayaran kecil, karena suatu hari Anda akan berhasil.
Bahkan ada perasaan bahwa memang seharusnya demikian; kaum muda hidup dengan makan indomie dan hidup dengan sepuluh teman sekamar, karena inilah jenis perjuangan pembentukan karakter yang Anda perlukan sebagai orang dewasa yang lebih dewasa.
Saatnya melepaskan mitos-mitos ini. Krisis setengah pengangguran akan memiliki efek jangka panjang pada kaum muda yang terpengaruh secara tidak proporsional bahkan setelah mereka mendapatkan pekerjaan. Mereka yang harus membangun resume mereka dengan pengalaman kerja yang berharga dan relevan malah memulai karir mereka dalam pekerjaan berkualitas rendah yang tidak akan membawa mereka ke peluang dengan gaji lebih tinggi.
Skill Tak Sesuai, Suplai Tenaga Kerja Tak Terserap
Kenaikan jumlah penganggur lulusan SMK dan Perguruan Tinggi dianggap sebagai buah dari belum terbentuknya keserasian antara sisi suplai dan permintaan tenaga kerja di Indonesia.
Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menduga setidaknya ada dua sebab utama naiknya penganggur terdidik dan terampil. Pertama, bisa jadi para lulusan Perhuruan Tinggi terlalu memilih pekerjaan yang hendak dijalani selepas dunia pendidikan lantaran gengsi.
Kedua, ada kemungkinan kemampuan atau skill yang dimiliki lulusan SMK dan Perguruan Tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Hal ini diharapkan bisa dicarikan solusinya oleh pemerintah.
“Ini menunjukkan bahwa semakin besar tantangannya. Mulai dari kecocokan skill yang diperoleh, permintaan dunia kerja, nah ini link and match-nya belum terbangun. Banyak mungkin institusi pendidikan masih menggunakan kurikulum yang mungkin nanti tak lagi digunakan industri,” tuturnya.