Peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat perekonomian dunia sedang berada dalam kondisi yang mengerikan. Para ekonom yakin bahwa saat ini dunia tidak hanya sedang menghadapi resesi tetapi lebih kepada depresi.
Resesi hanyalah kerikil kecil perekonomian yang dapat menghantam semua negara, akan tetapi jika resesi terjadi secara serentak diseluruh dunia maka depresi adalah kelanjutan atas resesi yang lebih mengerikan.
Kilas Balik The Great Depression 1930
Pada tahun 1929, depresiasi ekonomi menghantam negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, dan Eropa mengalami kondisi ekonomi paling buruk dan paling lama selama zaman kapitalisme Barat.
Peristiwa ini dimulai di Kota New York. Depresiasi mendorong kebangkrutan yang hebat dimana selama tiga tahun berturur-turut sejak tahun 1929, Bursa Efek New York bangkrut, dan puncaknya tahun 1932, AS hanya menyisakan 20% kekayaannya dari yang mereka punyai tiga tahun sebelumnya. kemudian disebut sebagai The Great Depression.
Kemunduran ekonomi Amerika Serikat membuat investor menjadi enggan untuk menanamkan modalnya di sana, dan menyebabkan sektor perbankan ikut hancur. Pada Tahun 1933, 11.000 bank dari 25.000 yang ada di AS, ditutup.
Bersamaan dengan itu, pendapatan ekonomi luar negeri pun berkurang drastis, dan produksi dalam negeri AS pun seperti mati suri karna produksi barang tidak ada yang menyerap. Pada Tahun 1932 pun, AS hanya mempunyai 30% orang yang bekerja rutin. Sisanya? Menjadi pengangguran.
Kemunduram ekonomi Amerika Serikat segera disusul oleh negara-negara sekutunya. Parahnya lagi , ternyata Jerman dan Inggris, sebagai negara sekutu Amerika Serikat yang paling loyal, mengalami dampak lebih parah daripada Amerika Serikat. Pada Tahun 1932, pengangguran di Jerman berjumlah 6 juta atau 25 persen dari lapangan pekerjaan yang ada.
Saat itu, negara-negara yang terkena depresi eknomi ini mencobca mencari solusi dengan cara menaikan tarif, pajak, dan menetapkan kuota untuk impor luar negeri. Akibatnya perdagangan internasional pun semakin lesu. Tahun 1932, separuh dunia benar-benar sudah lumpuh perekonomiannya.

Bagaimana AS keluar dari The Great Depression? AS kemudian mulai mempekerjakan orang di sektor-sektor padat karya, bahkan proyek-proyek tidak penting sekalipun dikerjakan hal tersebut dilakukan agar masyarakat dapat bekerja dan mendapatkan uang untuk dibelanjakan.
Depresiasi 1930 mengajarkan bahwa teori Invisible Hand yang dicetuskan oleh Adam Smith tidak sepenuhnya tepat, prinsip dasar dari teori ini adanya keyakinan bahwa keseimbangan pasar terbentuk secara natural dengan adanya pertemuan supply (penawaran) dan demand (permintaan).
Teori ini mengesampingkan peran pemerintah dalam rangka membentuk keseimbangan pasar. Pemerintah dianggap sebagai oraganisasi formal yang menghambat perekonomian dan terbentuknya sebuah pasar yang natural.
Padahal dalam kenyataanya tidak ada satu negara pun yang berhasil menjalankan perekonomiannya tanpa adanya bantuan dari pemerintah entah dalam bentuk kebijakan fiscal maupun keijakan moneter yang dapat mendorong maupun menjaga stabilitas perekonomian.
Merebaknya Coronavirus
Bagaimana tidak, sejak awal tahun dunia dibuat kacau karena pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19). Jutaan orang terinfeksi, dan ratusan ribu orang lainnya meregang nyawa, dan angkanya terus bertambah dari waktu ke waktu.
Di tengah kecemasan akan masa depan dunia, sejumlah ilmuwan memaparkan prediksi mereka akan terjadinya resesi dan pukulan yang luar biasa terhadap perekonomian global.
Sejarawan dan penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) Yuval Noah Harari, menulis dua artikel tentang pandemi Covid-19 di TIME dan Financial Times. Di TIME edisi 15 Maret 2020, tulisannya terbit dengan judul “In the Battle Against Coronavirus, Humanity Lacks Leadership”.
Dalam tulisannya, ia menegaskan bahwa karantina suatu wilayah dalam jangka panjang yang dilakukan banyak negara akan mengakibatkan keruntuhan ekonomi, tanpa adanya usaha nyata menangani penyakit menular. Penangkalan utama epidemi, menurut Yuval, bukan pemisahan, tetapi kerja sama.
Selain itu, yang tak kalah penting melawan pandemi, menurut Yuval adalah informasi ilmiah. Ia mengatakan, selama beberapa abad terakhir, para ilmuwan, dokter, dan perawat di seluruh dunia mengumpulkan informasi dan bersama-sama berhasil memahami mekanisme di balik epidemi, serta cara melawannya.
Yuval memberikan contoh pada tahun 1967 saat wabah cacar merebak keseluruh dunia, manusia mampu melawan “predator ganas” yang tak terlihat tersebut. Ketika itu, dua juta orang meninggal dunia dan ada 15 juta orang yang terinfeksi.
Namun, beberapa dekade selanjutkan, World Health Organization (WHO) gencar mengkampanyekan vaksinasinisasi cacar. Sehingga pada 1979, menyatakan cacar sudah sepenuhnya bisa diberantas.
“Pada 2019, tak ada satu orang pun yang terinfeksi atau dibunuh cacar,” kata Yuval.
Solidaritas global penting pula dilakukan. Ketika satu negara dilanda epidemi, kata dia, mereka harus bersedia dengan jujur berbagi informasi tentang wabah. Negara-negara lain pun harus bisa mempercayai informasi itu dan bersedia memberikan bantuan.
Karantina dan penguncian wilayah, kata dia, sangat penting menghentikan penyebaran epidemi. Namun, jika negara-negara saling tidak percaya dan masing-masing merasa menang sendiri dan pemerintahnya ragu mengambil langkah drastis, maka akan berbahaya.
Ketidakpercayaan satu sama lain akan mengakibatkan terjadinya miss informasi dan bisa jadi pandemi ini akan menjadi pandemic yang makin mematikan dan tidak dapat terkendali. Apalagi dengan terjadinya pengetatan aktivitas menyebabkan banyak sektor menjadi mati.
Menurut kutipan dari CNBC karantina yang dilakukan oleh banyak negara akan mematikan sektor-sektor padat karya seperti sektor otomotif, pariwisata, property, perbankan, transportasi dan sektor-sektor pendukung lainnya.
Bahkan prediksi dari IMF terhambatnya perdagangan antar negara menyebabkan penurunan PDB dunia sebesar 2 sampai 3 persen dari target yang sebelumnya sudah ditetapkan.
“The Great Depression Jilid II”

Pasar tenaga kerja AS mengalami pukulan besar seiring dengan penutupan massal bisnis di berbagai sektor. NABE memaparkan bahwa tingkat pengangguran AS akan melejit menjadi 12 persen pada pertengahan tahun.
"Pada kuartal kedua, 4,58 juta penduduk AS berpotensi kehilangan pekerjaan mereka," kata NABE seperti dikutip dari CNN.
Angka PHK yang tinggi akan menyeret tingkat pengeluaran, bagian terbesar dari roda penarik ekonomi AS. Konsumsi masyarakat berkontribusi sebesar 70 persen dari total pertumbuhan ekonomi AS.
Pandemi virus corona (Covid-19) terjadi sangat cepat di seluruh dunia. Kondisi ini disebut membuat kepanikan di pasar keuangan global. Demikian disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dalam rapat virtual dengan Komisi XI DPR.
Dalam rapat tersebut, Perry memaparkan bagaimana dahsyatnya dampak dari penyebaran virus corona terhadap ekonomi global, termasuk juga Indonesia. Resesi ekonomi dunia sudah di depan mata,
"Pandemi Covid-19 merebak sangat cepat di seluruh dunia, menyebabkan ketidakpastian di pasar keuangan dunia dan resesi ekonomi dunia pada 2020 ini. Penyebaran sangat cepat terjadi di Spanyol, AS, Italia, Jerman, dan Perancis dengan jumlah kasus yang telah jauh lebih besar daripada di Tiongkok," kata Perry, Senin (6/4/2020).
Soal dampak ekonomi, Perry menceritakan, Covid-19 membuat aktivitas ekonomi lumpuh, akhirnya pengangguran meningkat, dan daya beli masyarakat turun drastis.
"Meskipun otoritas di hampir seluruh negara mengeluarkan stimulus fiskal dan bank-bank sentral melakukan penurunan suku bunga dan injeksi likuiditas dalam jumlah besar, tetap saja resesi ekonomi dunia tidak dapat dihindari," papar Perry.
Soal resesi dunia, Perry menceritakan, lembaga moneter internasional (IMF) sudah memperingatkan kondisi tersebut akan terjadi. Resesi akan sangat berat dan memukul ekonomi negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Inggris. Negara emerging market seperti Rusia, Brasil, Meksiko, dan Singapura juga akan menghadapi resesi.
Kepanikan yang melanda investor keuangan global membuat dana-dana asing dari sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Perry mengisahkan, ketidakpastian di pasar keuangan global sangat tinggi, seperti tercermin dari melonjaknya indikator VIX dari 18,8 menjadi 82,7 sebelum turun ke 50,9 setelah stimulus fiskal lebih dari US$ 2 triliun oleh pemerintah AS, serta penurunan suku bunga sebesar 100 bps dan injeksi likuiditas yang besar oleh the Fed.
"Akibatnya, para investor global melepas aset-aset investasinya dari seluruh dunia termasuk dari Indonesia, apakah obligasi, saham ataupun emas, dan menukarkannya ke simpanan tunai dalam mata uang dolar AS. Harga saham dunia anjlok, yield obligasi meningkat, dan harga emas juga sempat turun, sementara mata uang dolar AS semakin menguat dan nilai tukar berbagai mata uang negara lain melemah," tuturnya.
Sementara kondisi anjloknya harga minyak dunia makin memperburuk kondisi pasar keuangan global.
Di Indonesia, nilai tukar rupiah terus tertekan terhadap dolar AS, Hal tersebut disebabkan keluarnya dana asing secara serempak. Data BI menunjukan, Aliran investasi portofolio total masuk sebesar Rp 22,9 triliun dalam periode 1-19 Januari 2020.
Namun, setelah pandemi Covid-19 merebak, aliran investasi portofolio total masuk hanya sebesar Rp 171,6 triliun secara neto dalam periode 20 Januari hingga 1 April 2020.
Selain faktor dari dalam negeri, faktor dari luar negeri seperti cepatnya penyebaran Covid-19 di AS dan Eropa, juga berimbas pada boncosnya aliran investasi di Indonesia.
Apabila hal ini terus terjadi bukan tidak mungkin gelombang PHK besar menjadi ancaman yang tak hanya membayangi para pekerja di Indonesia. Sejatinya, kondisi serupa terjadi di negara lain. Hal ini dipicu melesunya kegiatan ekonomi akibat pandemi Virus Corona (Covid-19).
Badai resesi sudah terbayang di depan mata, dan COVID-19 tak diketahui kapan akan berlalu. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memaparkan bahwa, 81 persen dari tenaga kerja global yang berjumlah 3,3 miliar, atau 2,67 miliar saat ini terkena dampak penutupan tempat kerja.
Kesimpulan
Menurut Bank Dunia Amerika Serikat dan Eropa pada kuartal II, sudah mulai memasuki resesi ekonomi hal ini terlihat pada perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat konsumsi yang rendah. Selain itu negara-negara emerging market seperti Rusia, Brasil, Meksiko, dan Singapura juga akan menghadapi resesi.
Tak pelak resesi yang tadinya kerikil kecil perekonomian di setiap negara akan berubah menjadi batu besar “depressiasi” apabila karantina wilayah dan kerjasama internasional tidak berjalan dengan baik.
Bukan tidak mungkin kejadian 1930 dapat terulang kembali, dimana dunia tidak mampu untuk mendorong terjadinya kegiatan ekonomi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI