Mohon tunggu...
arya bima
arya bima Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hobi Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelesaian Sengketa Perdata tentang Tanah melalui Penyelesaian Alternatif

9 Januari 2024   10:28 Diperbarui: 9 Januari 2024   10:49 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Sengketa Perdata Tentang Tanah

            Beranjak dari suatu pemikiran bahwa penyelesaian suatu sengketa hendaknya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah guna mendapatkan hasil solusi, maka penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi (out of court dispute settlement) nampaknya akan menjadi pilihan yang tepat dalam menyelesaikan sengketa perdata tentang tanah. Ketentuan Pasal 1 angka (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan memberikan pengertian mengenai sengketa tanah, yaitu "Sengketa Tanah yang selanjutnya disebut Sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas". Walaupun demikian, dalam sengketa-sengketa pertanahan, mengandung tingkatan kerumitan permasalahan yang cukup tinggi, kompleksitasnya permasalahan dan dampak sosial yang dapat ditimbulkan, berpotensi menimbulkan konflik yang berdampak lebih luas dan panjang. Akan sangat baik apabila para pihak menempuh model penyelesaian sengketa yang dapat mengakomodir kepentingan kedua belah pihak.

Kelompok sengketa tanah yang mempunyai potensi untuk dapat diselesaikan dengan pilihan forumalternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah sengketa tanah yang termasuk  dalam ranah perdata. Sengketa semacam ini dapat terjadi antara orang dengan orang lainnya, orang dengan suatu badan hukum yang berhak atas suatu hak atas tanah atau antara badan hukum yang satu dengan badan hukum lainnya. Terjadinya sengketa tanah antara para pihak di atas, cenderung disebabkan faktor perebutan hak atas tanah, baik perebutan mengenai fisik tanahnya yaitu mengenai letak tanah, batas tanah dan luas bidang tanah (data fisik) maupun hak secara yuridisnya yaitu mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan beban-beban lain yang membebaninya (data yuridis) (Santoso, 2010a).

            Beralih dan dialihkannya suatu hak atas tanah sesungguhnya juga berpotensi menimbulkan sengketa perdata tentang tanah apabila ketentuan formil maupun materiil dari kegiatan tersebut tidak terpenuhi. Urip Santoso berpandangan bahwa, beralih merupakan perpindahan hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum (peristiwa hukum pewarisan) dan dialihkan adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain karena adanya suatu perbuatan hukum (jual beli, tukar menukar dan lain-lain) (Santoso, 2010).

            Tanah warisan yang di Subak Bandung Kawan, Banjar Tengah, Desa/Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, I Gusti Ngurah Sulendra, Kasus sengketa tanah warisan dengan nomor 148/Pdt.G/2016/PN Gin tanggal 18 November 2016  ini terjadi antara tergugat I Gusti Sulendra melawan Penggugat I Gusti Ngurah Sudarsana. Keduanya merupakan kakak dan adik. Humas PN Gianyar, Wawan Edi Prastiyo S.H, M.H, mengungkapkan penggugat IGN Sudarsana mendalilkan bahwa objek k sengketa berupa tanah seluas 32 are di Subak Bandung Kawan adalah harta peninggalan kakek mereka yang belum dibagi waris. Pada tahun 2001, objek sengketa tersebut disertifikatkan oleh kakak kandungnya, tergugat IGN Sulendra, menjadi atas namanya.

            Menurut pandangan penulis, sengketa di atas sesungguhnya sangat berpotensi untuk dapat diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa. Karena sengketa tersebut merupakan sengketa mengenai hak atas tanah yang dapat dikategorikan ke dalam sengketa perdata tentang tanah. Apalagi dalam sengketa tersebut melibatkan kakak beradik, tentu saja hubungan keluarga tersebut harus tetap terjaga dengan baik. Oleh karena itu, alternatif penyelesaian sengketa telah menawarkan bahwa penyelesaian sengketa dengan jalur non litigasi salah satu tujuannya adalah tetap menjaga hubungan baik para pihak yang terlibat persengketaan.

            Perbuatan hukum jual beli, tukar menukar, sewa menyewa dan lain sebagainya juga dapat menimbulkan sengketa, seperti disebabkan oleh salah satu pihak melakukan wanprestasi. Oleh karenanya, apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa dan perbuatan hukum diatas maka itu merupakan sengketa pertanahan yang banyak terjadi. Berdasarkan kontruksi berpikir di atas maka penulis berpandangan bahwa sengketa perdata tentang tanah merupakan suatu perselisihan dalam konteks keperdataan akibat adanya suatu tuntutan hak oleh satu pihak dan pihak lainnya mempunyai suatu kewajiban untuk memenuhi hal tersebut yang objek permasalahannya adalah mengenai suatu hak atas tanah, kemudian oleh para pihak perselisihan tersebut harus diselesaikan agar dapat terpenuhi hak dan kewajiban tersebut.

2. Peluang Alternative Dispute Resolution Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Tentang Tanah

            Telah diuraikan sebelumnya bahwa penyelesaian sengketa perdata tentang tanah umumnya dapat diselesaikan dengan forum peradilan d lembaga Pengadilan melalui gugatan (contentiosa). Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang hukum (choice of law) dalam menyelesaikan sengketa perdata. Ketentuan Pasal 58 Undang-Undang tersebut memberikan sengketa perdata. Ketentuan Pasal 58 Undang-Undang tersebut memberikan peluang bahwa "upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan diluar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa".

Sesungguhnya sebelum UU tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diundangkan dan mengatur mengenai penyelesaian sengketa perdata melalui penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi (out of court dispute settlement), pemerintah Indonesia telah mengundangkan suatu Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian (UU APS) Sengketa. Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang tersebut merupakan lex specialis dari alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan mengenai apa yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 1 angka 10 menyebutkan "alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur  yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli".

Forum penyelesaian sengketa ini merupakan penyelesaian sengketa yang sama sekali berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan karena mempunyai karakteristik tersendiri. Adapun beberapa karakteristik yang terdapat dalam alternatif penyelesaian sengketa adalah (1) Adanya ke sukakarelaan dari pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya; (02) Setelah adanya kesukarelaan tersebut, maka kemudian timbul kesepakatan atas dasar kesukarelaan tersebut, yang kemudian dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian ; (3) Mekanisme aturan main penyelesaiannya juga berdasarkan atas tata cara yang telah disepakati bersama; (4) Pelaksanaannya lebih fleksibel, biaya ringan dan penyelesaian sengketanya bersifat tertutup; (5) Keputusan yang diambil oleh para pihak pada dasarnya adalah suatu kesepakatan yang nantinya dituangkan dalam suatu perjanjian dan dilaksanakan  berdasarkan prinsip-prinsip perjanjian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun