PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA TENTANG TANAH MELALUI PENYELESAIAN ALTERNATIF
Oleh
Arya Bima Hadi Saputra1, Dr. Aida Azizah, M.Pd.2
e-mail : bima2arya2@gmail.com1, aidaazizah@unissula.ac.id 2
Â
Abstrak
Sengketa tanah yang dimaksudkan dalam tulisan artikel ini adalah sengketa perdata tentang tanah. Solusi dalam penyelesaian sengketa perdata tentang tanah memang relatif sulit terwujud, apabila penyelesaiannya melalui sidang peradilan. Pilihan hukum yang dapat dipilih untuk memperoleh hasil solusi dalam menyelesaikan sengketa perdata tentang tanah adalah melalui penyelesaian altermatif. Dalam tulisan ini akan membahas mengenai peluang penyelesaian sengketa perdata melalui penyelesaian alternatif dan asas-asas perjanjian yang berlaku dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Peluang penyelesaian sengketa perdata tentang tanah didasarkan pada Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sebagai suatu pilihan hukum (choice of law). Dalam rangka penyelesaian sengketa perdata tentang tanah diselesaikan melalui penyelesaian alternatif, maka penyelesaiannya harus memenuhi asas-asas hukum mengenai perjanjian sebagai prinsip dasarnya.
Kata Kunci: Sengketa tanah, alternatif penyelesaian sengketa
Abstract
The land dispute contained in this article is to defend civil law regarding land. Solutions in resolving land disputes are relatively difficult to realize, the resolution is through a judicial trial. The legal option that can be chosen to obtain a solution in resolving civil settlements regarding land is through alternative settlements. In this article, we will discuss civil settlement opportunities through alternative settlements and the principles of agreements that apply in land settlements. Opportunities for resolving civil disputes regarding land based on the Arbitration and Alternative Dispute Resolution Law and the Judicial Power Law as a choice of law. In order for civil settlements regarding land to be resolved through alternative settlements, the settlement must comply with the legal principles regarding agreements as the basic principles.
Keywords: Land dispute, alternative dispute resolution
A. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi dan sekaligus dasar negara Indonesia, telah memberikan berbagai pengaturan secara yuridis mengenai cara-cara dalam usaha mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) disebutkan salah satu pengaturan untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tanah sebagai bagian dari permukaan bumi adalah salah satu indikator dari Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sebagai Negara Hukum, maka dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai negara untuk mengatur penguasaan tanah oleh rakyat, maka diundangkan lah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan menjadikan Pasal 33 Ayat (3) UUD Tahun 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Diundangkannya UUPA dimaksudkan sebagai upaya preventif terjadinya sengketa-sengketa pertahanan  baik secara vertikal maupun horizontal. Akan tetapi, hadirnya UUPA beserta dengan peraturan pelaksanaannya belum bisa memberikan kesejahteraan dan kemakmuran seperti apa yang di cita-citakan dalam UUD Tahun 1945 secara maksimal dan sempurna. Bahkan dalam perkembangannya saat ini, banyak terjadi sengketa-sengketa pertanahan yang bersifat vertikal ataupun horizontal.
Permasalahan mengenai pertanahan yang terjadi sering disebabkan akibat salim klaim penguasaan hak atas tanah. Banyak permasalahan dalam bidang pertanahan yang pada akhirnya menjadi suatu sengketa. Bernhard Limbong berpandangan bahwa beberapa hal yang menyebabkan timbulnya sengketa-sengketa pertanahan di Indonesia, antara lain kurang tertibnya administrasi pertanahan di masa lalu juga turut memberikan sumbangsih banyaknya terjadi sengketa pertanahan, timpangnya struktur penguasaan dan pemilikan tanah, sistem publikasi pendaftaran tanah yang berstelsel negatif, kebutuhan terhadap tanah yang cenderung meningkat sehingga kondisi tersebut menyebabkan nilai ekonomisnya meningkat pula, akibat banyaknya peraturan yang tumpang tindih baik secara vertikal maupun horizontal, kurang cermatnya pejabat umum yang berkaitan dengan pertanahan, perbedaan persepsi dan interpretasi penegak hukum terhadap perundnag-undangan, tidak konsist ennya pa r a penegak hukum menegakkan peraturan terkait dengan pertanahan (Limbong, 2014).
Terkait dengan pokok pembahasan dalam tulisan ini, penulis membatasi bahasan pada kasus-kasus pertanahan yang dapat dikategorikan ke dalam sengketa perdataan, yaitu sengketa-sengketa tanah yang terjadi antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain tentang suatu hak atas tanah yang menjadi objek sengketanya. Pembatasan tersebut penulis lakukan karena pada dasarnya sengketa-sengketa yang masuk dalam lingkup keperdataan yang seharusnya dapat diselesaikan dengan melalui penyelesaian alternatif atau alternative dispute resolution. Secara konvensional, langkah hukum yang biasa ditempuh oleh masyarakat dalam rangka memperoleh keadilan (justice) dan kepastian hukum (legal certainty) atas sengketa yang sedang dihadapi adalah dengan memilih lembaga Pengadilan. Proses peradilan di lembaga tersebut dianggap mampu untuk memberikan solusi atas sengketa yang sedang dihadapi dengan harapan akan memperoleh keadilan (justice) dan kepastian hukum (legal certainty). Sebagai lembaga untuk memperoleh keadilan yang dibentuk oleh Negara, Pengadilan mempunyai mekanisme tersendiri dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, yang harus dilalui oleh para pihak.
   Mekanisme tersebut tekah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga urutan-urutan acara persidangan di pengadilan secara normatifnya adalah pasti dan baku. Disamping itu, pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah memberikan suatu jaminan bahwa " Pengadilan membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan". Idealnya, dengan adanya prinsip tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan harusnya menjadi bingkai untuk dapat memberikan jawaban atas permasalahan dari para pencari keadilan.
Namun, sangat disayangkan bahwa pada tataran empirik, prinsip-prinsip dasar dalam penyelenggaraan peradilan tersebut acapkali semakin sulit untuk diprediksi dan bahkan cenderung terabaikan. Sehingga proses peradilan menjadi sangat tidak sederhana karena memakan waktu yang lumayan lama, ditambah dengan para pihak yang harus dikeluarkan oleh para pihak yang berpekara untuk memperoleh keadilan menjadi sangat mahal. Nevey Varida Ariani juga mempunyai pandangan bahwa "peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlampau formalistik (formalistic) dan terlampau teknis (technically)" (Ariani,2012).
Mewujudkan hasil solusi dalam penyelesaian sengketa tanah relatif sulit dapat terwujud. Apabila penyelesaian diselesaikan melalui sidang peradilan (litigation). Pada umumnya, penyelesaian sengketa melalui proses peradilan akan menggunakan pendekatan gugatan contentiosa. Sehingga hasil akhir dari gugatan tersebut tentu adanya suatu putusan Majelis Hakim yang mengandung putusan menang kalah (win-lose).
Pilihan hukum (choice of law) yang dapat dipilih untuk memperoleh dan mewujudkan hasil solusi  dalam menyelesaikan sengketa pertanahan tentunya adalah melalui alternatif penyelesaian sengketa. Tentunya suatu pilihan akan mulai akan mulai berlaku apabila pilihan tersebut ditentukan dan disepakati bersama-sama oleh para pihak yang bersengketa sebagai upaya yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian, memilih alternatif penyelesaian sengketa atas dasar kesepakatan, maka pilihan hukum (choice of law) tersebut merupakan suatu perjanjian.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, permasalahan yang penting untuk dijawab dan dibahas dalam tulisan ini adalah, Bagaimana peluang penyelesaian sengketa perdata pertanahan melalui Alternative Dispute Resolution? dan Mengapa asas-asas perjanjian berlaku dalam penyelesaian sengketa perdata pertanahan melalui Alternative Dispute Resolution ? guna memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, dalam tulisan ini, penulis menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
B. Pembahasan
1. Sengketa Perdata Tentang Tanah
      Beranjak dari suatu pemikiran bahwa penyelesaian suatu sengketa hendaknya dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah guna mendapatkan hasil solusi, maka penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi (out of court dispute settlement) nampaknya akan menjadi pilihan yang tepat dalam menyelesaikan sengketa perdata tentang tanah. Ketentuan Pasal 1 angka (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan memberikan pengertian mengenai sengketa tanah, yaitu "Sengketa Tanah yang selanjutnya disebut Sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas". Walaupun demikian, dalam sengketa-sengketa pertanahan, mengandung tingkatan kerumitan permasalahan yang cukup tinggi, kompleksitasnya permasalahan dan dampak sosial yang dapat ditimbulkan, berpotensi menimbulkan konflik yang berdampak lebih luas dan panjang. Akan sangat baik apabila para pihak menempuh model penyelesaian sengketa yang dapat mengakomodir kepentingan kedua belah pihak.
Kelompok sengketa tanah yang mempunyai potensi untuk dapat diselesaikan dengan pilihan forumalternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah sengketa tanah yang termasuk  dalam ranah perdata. Sengketa semacam ini dapat terjadi antara orang dengan orang lainnya, orang dengan suatu badan hukum yang berhak atas suatu hak atas tanah atau antara badan hukum yang satu dengan badan hukum lainnya. Terjadinya sengketa tanah antara para pihak di atas, cenderung disebabkan faktor perebutan hak atas tanah, baik perebutan mengenai fisik tanahnya yaitu mengenai letak tanah, batas tanah dan luas bidang tanah (data fisik) maupun hak secara yuridisnya yaitu mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan beban-beban lain yang membebaninya (data yuridis) (Santoso, 2010a).
      Beralih dan dialihkannya suatu hak atas tanah sesungguhnya juga berpotensi menimbulkan sengketa perdata tentang tanah apabila ketentuan formil maupun materiil dari kegiatan tersebut tidak terpenuhi. Urip Santoso berpandangan bahwa, beralih merupakan perpindahan hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum (peristiwa hukum pewarisan) dan dialihkan adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain karena adanya suatu perbuatan hukum (jual beli, tukar menukar dan lain-lain) (Santoso, 2010).
      Tanah warisan yang di Subak Bandung Kawan, Banjar Tengah, Desa/Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, I Gusti Ngurah Sulendra, Kasus sengketa tanah warisan dengan nomor 148/Pdt.G/2016/PN Gin tanggal 18 November 2016  ini terjadi antara tergugat I Gusti Sulendra melawan Penggugat I Gusti Ngurah Sudarsana. Keduanya merupakan kakak dan adik. Humas PN Gianyar, Wawan Edi Prastiyo S.H, M.H, mengungkapkan penggugat IGN Sudarsana mendalilkan bahwa objek k sengketa berupa tanah seluas 32 are di Subak Bandung Kawan adalah harta peninggalan kakek mereka yang belum dibagi waris. Pada tahun 2001, objek sengketa tersebut disertifikatkan oleh kakak kandungnya, tergugat IGN Sulendra, menjadi atas namanya.
      Menurut pandangan penulis, sengketa di atas sesungguhnya sangat berpotensi untuk dapat diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa. Karena sengketa tersebut merupakan sengketa mengenai hak atas tanah yang dapat dikategorikan ke dalam sengketa perdata tentang tanah. Apalagi dalam sengketa tersebut melibatkan kakak beradik, tentu saja hubungan keluarga tersebut harus tetap terjaga dengan baik. Oleh karena itu, alternatif penyelesaian sengketa telah menawarkan bahwa penyelesaian sengketa dengan jalur non litigasi salah satu tujuannya adalah tetap menjaga hubungan baik para pihak yang terlibat persengketaan.
      Perbuatan hukum jual beli, tukar menukar, sewa menyewa dan lain sebagainya juga dapat menimbulkan sengketa, seperti disebabkan oleh salah satu pihak melakukan wanprestasi. Oleh karenanya, apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa dan perbuatan hukum diatas maka itu merupakan sengketa pertanahan yang banyak terjadi. Berdasarkan kontruksi berpikir di atas maka penulis berpandangan bahwa sengketa perdata tentang tanah merupakan suatu perselisihan dalam konteks keperdataan akibat adanya suatu tuntutan hak oleh satu pihak dan pihak lainnya mempunyai suatu kewajiban untuk memenuhi hal tersebut yang objek permasalahannya adalah mengenai suatu hak atas tanah, kemudian oleh para pihak perselisihan tersebut harus diselesaikan agar dapat terpenuhi hak dan kewajiban tersebut.
2. Peluang Alternative Dispute Resolution Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata Tentang Tanah
      Telah diuraikan sebelumnya bahwa penyelesaian sengketa perdata tentang tanah umumnya dapat diselesaikan dengan forum peradilan d lembaga Pengadilan melalui gugatan (contentiosa). Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang hukum (choice of law) dalam menyelesaikan sengketa perdata. Ketentuan Pasal 58 Undang-Undang tersebut memberikan sengketa perdata. Ketentuan Pasal 58 Undang-Undang tersebut memberikan peluang bahwa "upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan diluar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa".
Sesungguhnya sebelum UU tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut diundangkan dan mengatur mengenai penyelesaian sengketa perdata melalui penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi (out of court dispute settlement), pemerintah Indonesia telah mengundangkan suatu Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian (UU APS) Sengketa. Dapat dikatakan bahwa Undang-Undang tersebut merupakan lex specialis dari alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan mengenai apa yang dimaksud alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 1 angka 10 menyebutkan "alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur  yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli".
Forum penyelesaian sengketa ini merupakan penyelesaian sengketa yang sama sekali berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan karena mempunyai karakteristik tersendiri. Adapun beberapa karakteristik yang terdapat dalam alternatif penyelesaian sengketa adalah (1) Adanya ke sukakarelaan dari pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya; (02) Setelah adanya kesukarelaan tersebut, maka kemudian timbul kesepakatan atas dasar kesukarelaan tersebut, yang kemudian dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian ; (3) Mekanisme aturan main penyelesaiannya juga berdasarkan atas tata cara yang telah disepakati bersama; (4) Pelaksanaannya lebih fleksibel, biaya ringan dan penyelesaian sengketanya bersifat tertutup; (5) Keputusan yang diambil oleh para pihak pada dasarnya adalah suatu kesepakatan yang nantinya dituangkan dalam suatu perjanjian dan dilaksanakan  berdasarkan prinsip-prinsip perjanjian.
Oleh karenanya di era sekarang ini, banyak pihak yang beralih memilih jalur penyelesaian sengketa melalui negosiasi maupun mediasi. H. Priyatna Abdurrasyid berpandangan bahwa kata alternatif memberikan makna bahwa para pihak yang sedang bersengketa bebas memilih sesuai dengan kehendak dan pertimbangan mereka dan kemudian menyepakati bentuk beserta tata cara apa yang tersedia dalam alternatif penyelesaian sengketa yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa mereka (Abdurrasyid,2011)
Undang-undang APS pada dasarnya juga memberikan kesempatan untuk memilih model penyelesaian sengketa yang akan ditempuh. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa "sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri". Ketentuan ini jelas memberikan batasan mengenai jenis sengketa yang dapat diselesaikan melalui metode APS, yaitu hanya sengketa atau beda pendapat yang terkait dengan keperdataan. Dalam penjelasan ketentuan itu tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai definisi maupun kategori sengketa perdata yang dimaksud. Sehingga dapat ditafsirkan seluruh sengketa perdata dapat diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya sengketa perdata tentang tanah.
Berdasarkan dua ketentuan mengenai APS di atas, dapat dipahami bahwa forum penyelesaian sengketa ini menitikberatkan pada dua hal penting sebagai landasan untuk menyelesaikan sengketa melalui forum APS. Adanya kesepakatan dan itikad baik dari para pihak yang bersengketa merupakan langkah awal menuju hasil solusi yang merupakan tujuan dari APS. Disamping sebagai landasan yuridis, kesepakatan (consensus) dan itikad baik (good faith) sebagai suatu indikasi bahwa alternatif penyelesaian sengketa sebagai nonadjudicatory methods of settlement tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip mengenai perjanjian (kontrak).
Dampak positif dari penyelesaian sengketa yang diselesaikan hanya antara para pihak antara lain, dalam melaksanakan isi dari keputusan lebih mudah, murah dan sederhana, para pihak dapat tetap menjaga kerukunan dan hubungan yang baik, serta turut serta membantu terwujudnya kedamaian dan ketertiban umum. Pelaksanaan keputusan dengan forum APS ini akan dapat terlaksana dengan baik, apabila para pihak yang bersengketa dapat secara konsisten dan konsekuen menjalankan apa yang telah menjadi keputusan bersama. Pada dasarnya hal tersebut bertujuan untuk tetap tercipta suatu kedamaian dan kerukunan sekalipun terdapat permasalahan.
Apabila merujuk pada nilai-nilai historis, karakteristik asli dari bangsa Indonesia dalam menyelesaikan suatu permasalahan adalah melalui forum musyawarah untuk mencapai mufakat. Tentu dengan penyelesaian masalah dengan metode tersebut, akan memberikan dampak positif secara sosiologis, psikologis maupun secara yuridis. Oleh karena itu, sesungguhnya, penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa yang pada intinya adalah musyawarah secara kekeluargaan untuk memperoleh penyelesaian secara bersama-sama dan guna mencapai hasil solusi, sudah menjadi budaya asli bangsa Indonesia.
Sebelumnya telah disampaikan bahwa UU APS telah memberikan opsi mengenai bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa, yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Akan tetapi, dalam undang-undang tersebut tidak diberikan penjelasan dan batasan-batasan mengenai hal tersebut. Praktis hanya negosiasi dan mediasi yang sedikit mendapa kan penjelasan mengenai pelaksanaannya (Pasal 6 UU APS). Namun, apa yang dimaksud dengan negosiasi dan mediasi tidak diberikan penjelasan secara khusus dan tegas dalam undang-undang tersebut.
3. Aasas-Asas Perjanjian Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Alternative Dispute Resolution
      Dalam penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa sengketa perdata tentang tanah sangat berpeluang untuk diselesaikan melalui metode alternative dispute resolution. Alternative dispute resolution merupakan suatu upaya penyelesaian suatu sengketa perdata yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Kesepakatan yang dibuat oleh para pihak tersebut adalah kesepakatan yang tunduk pada asas-asas perjanjian. Terdapat beberapa asas perjanjian yang menjadi pedoman dasar saat para pihak membuat suatu kesepakatan untuk memilih alternative dispute resolution sebagai upaya penyelesaian sengketa perdata tentang tanah, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda dan asas personalitas
      Ketentuan Pasal 1338 Ayat 1 menyebutkan bahwa "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya". Kalimat "semua perjanjian yang dibuat secara sah" pada ketentuan tersebut mengandung makna bahwa setiap orang dimungkinkan untuk membuat perjanjian apapun selain dari yang diatur KUHPer, sepanjang memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUHPer). Dora Kusumastuti berpandangan bahwa kebebasan berkontrak tidaklah dapat diartikan sebagai suatu kebebasan yang sebebas-bebasnya, melaikan suatu kebebasan yang dilandaskan dan mencerminkan danya suatu itikad baik dari para pihak yang dimulai sejak pra kontrak dan kemudian dilanjutkan pada pelaksanaan isi kontrak atau perjanjian itu sendiri (Kusumastuti,2014).
      Asas kebebasan berkontrak menjadi prinsip dasar bagi para pihak untuk membuat perjanjian tersebut. Menurut H. Eman Suparman, prinsip kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak menyepakati pokok-pokok dari kontrak (main of contract) sekaligus juga memberikan kebebasan bagi para pihak menentukan pilihan penyelesaian sengketa (Suparman, 2012). Berdasarkan hal tersebut, maka pilihan forum (choice of forum) terkait penyelesaian sengketa yang dituangkan dalam suatu perjanjian oleh para pihak merupakan bagian dari implementasi asas kebebasan berkontrak.
      Asas itikad baik disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUHPer. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa pe rj anji an yang t e l ah dibua t ha rus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan adanya asas tersebut, maka perjanjian yang dirancang dan disepakati oleh para pihak hendaknya bernuansa keadilan dan kepatutan bagi kedua belah pihak yang berasal dari hati nurani para pihak.
      Aris Setyo Nugroho menyebutkan bahwa dalam teori hukum perjanjian modern menjelaskan penerapan asas itikad baik tidaklah dapat baru dilaksanakan pada saat pelaksanaan isi perjanjian, akan tetapi mengedepankan pelaksanaan asas itikad baik sudah dilaksanakan pada saat dimulainya perundingan antara para pihak (Nugroho, 2014). Seperti yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) UU APS, bahwa "sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri". Dalam ketentuan tersebut sangat jelas menitikberatkan penyelesaian sengketa harus dilandasi adanya itikad baik dari para pihak.
      Menurut pandangan penulis, menerapkan asas itikad baik dalam alternatif penyelesaian sengketa perdata tentang tanah tidak hanya pada saat pelaksanaan kesepakatan saja, akan tetapi itikad baik tersebut seharusnya sudah tercermin pada saat adanya niat (pra penyelesaian sengketa) dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata tentang tananhnya dengan cara alternatif penyelesaian sengketa. Kemudian asas ini juga wajib diterapkan pada saat perundingan untuk mencari jalan keluar (hasil solusi) mengenai sengketa tanah oleh para pihak. Tanpa adanya itikad baik dari para pihak, maka hasil solusi yang diharapkan oleh para pihak ketika memilih jalur penyelesaian melalui alternatif  penyelesaian sengketa tidak akan pernah tercapai.Begitu juga mengenai pelaksanaan dari hasil penyelesaian sengketa yang bersifat final dan mengikat serta untuk dilaksanakan dengan itikad baik seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (7) UU APS.
      Dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer disebutkan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan keduabelah pihak(consensus). Kesepakatan antara para pihak merupakan hal yang sangat krusial dalam perjanjian yang sangat menentukan lahir dan berlakunya suatu perjanjian. Dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi suatu titik temu kepentingan-kepentingan dari para pihak. Disamping itikad baik, alternatif penyelesaian sengketa juga sangat bergantung pada tercapainya kesepakatan dari para pihak yang kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis, seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU APS. Tanpa adanya kata sepakat dari kedua belah pihak maka perjanjian menjadi tidak sah atau mempunyai konsekuensi hukum dapat dibatalkan.
      Kesepakatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah, kata sepakat dari kedua belah pihak yang terbebas dari adanya unsur penipuan dan daya paksa dari pihak lain. Sehingga kata sepakat tersebut murni dari nurani para pihak setelah adanya bargaining process berupa tawar menawar yang dilandasi dengan itikad baik tentunya. Dalam rangka penyelesaian sengketa perdata tentang tanah, apabila para pihak memilih alternatif penyelesaian sengketa sebagai jalur yang ditempuh, maka para pihak harus menyepakatinya terlebih dahulu secara bersama sama. Sekaligus juga bahwa tercapainya suatu kesepakatan antara para pihak merupakan bagian awal dan akhir dari suatu proses negosiasi, mediasi maupun konsiliasi dalam penyelesaian sengketa perdata tentang tanah dan kesepakatan tersebut akan menjadi undang-undang bagi para pihak sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang akan dituangkan dalam bentuk tertulis.
      Asas pacta sunt servanda adalah asas yang paling mendasar dalam konteks pembuatan dan pelaksanaan suatu perjanjian yang berlaku secara universal. Asas ini mengikat para pihak pasca tercapainya suatu kesepakatan yang mengikat para pihak yang membuat kesepakatan tersebut (asas personalitas) dan akan mempunyai sanksi tertentu akibat tidak ditaati dan dilaksanakannya isi dari kesepakatan tersebut. Menurut Purwanto, asas pacta sunt servanda terkait dengan kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh antar individu dan asas ini mengandung makna bahwa perjanjian yang didasarkan atas kesepakatan yang sempurna menjadi undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya dan apabila terjadi pengingkaran terhadap isi (kewajibankewajiban oleh para pihak) dari perjanjian tersebut, maka pengingkaran tersebut merupakan suatu perbuatan wanprestasi (Purwanto, 2009).
      Oleh karena itu, pelaksanaan dari asas ini tidak dapat dilepaskan dari asas lainnya, yaitu asas itikad baik. Dalam konteks penyelesaian sengketa perdata tentang tanah, maka ketika para pihak telah bersepakat menyelesaikan sengketa mereka melalui negosiasi maupun mediasi para pihak mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kesepakatan tersebut. Kemudian pasca negosiasi maupun mediasi, tentu juga terdapat kesepakatan-kesepakatan yang oleh para pihak disepakati untuk menyelesaikan sengketa tanah mereka secara damai, maka isi dari kesepakatan perdamaian dengan syarat-syaratnya juga menjadi undang-undang bagi para pihak yang wajib untuk ditaati dan dilaksanakan.
C. Â Simpulan
Berdasarkan uraian di atas mengenai peluang penyelesaian sengketa perdata tentang tanah melalui alternative dispute resolution dengan asas-asas perjanjian di dalamnya, penulis dapat menarik suatu kesimpulan, adalah  ;
- Bahwa penyelesaian sengketa perdata tentang tanah selain dapat diselesaikan melalui persidangan di pengadilan (litigation), ternyata penyelesaian sengketa tersebut mempunyai peluang untuk dapat diselesaikan melalui jalur di luar pengadilan (out of court dispute settlement). Adapun yang mendasari peluang tersebut, karena sengketa tanah mengenai hak penguasaan atas tanah tergolong ke dalam sengketa perdata dan secara normatif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan peluang untuk itu, yaitu dengan cara negosiasi, mediasi dan konsiliasi.
- Dalam rangka penyelesaian sengketa perdata tentang tanah diselesaikan melalui alternative dispute resolution, maka penyelesaiannya tidak dapat mengabaikan asas-asas hukum yang berlaku mengenai perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas itikad baik, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda dan asas personalitas. Asasasas hukum perjanjian tersebut menjadi prinsip dasar dan wajib diimplementasi kan di dalam setiap kesepakatankesepakatan yang dibuat oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa pe rda t a t ent ang t anah me l a lui alternative dispute resolution, baik pada tahap awal (pra-penyelesaian) sampai pada tahap akhir (pasca penyelesaian) termasuk pada saat pelaksanaan kesepakatan tersebut
Â
Â
DASTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, P. (2011). Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Jakarta: Fikahati Aneska.
Ariani, N. V. (2012). Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Luar Pengadilan (Non Litigation Alternatives Business Dispute Resolution). Rechts Vinding, 1(2), 277--294. Retrieved from http://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/view/101/107
Bali, N. (2017, January 31). NusaBali. Â http://www.nusabali.com/berita/10582/tiada-Bukti-Kepemilikan-Tergugat-Disumpah-Cor-Di-Pura-Ulun-Kulkul.
Basarah, M. (2011). Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional dan Modern (On line). Yogyakarta: Genta Publishing.
Komarudin, P. (2014). PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH MELALUI JALUR NON LIGITASI Parman Komarudin. Ekonomi Syariah Dan Hukum Ekonomi Syariah, Volume 1 N, 87--105. Retrieved from https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/IQT/article/view/138
Kusumastuti, D. (2014). KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM KONTRAK BAKU KREDIT PERUMAHAN Dora Kusumastuti, 9, 34--39. Retrieved from http://ejurnal.unisri.ac.id/index.php/widyawacana/article/view/949
Limbong, B. (2014). Politik Hukum Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka.
Nugroho, A. S. (2014). 527-1017-1-SM.pdf. Jurnal Repertorium, Edisi I Ja, 74--82. Retrieved from http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/repertorium/article/view/527/497
Purwanto, H. (2009). Keberadaan asas pacta sunt servanda dalam perjanjian internasional *. Mimbar Hukum, Vol. 21 No, 155--170. Retrieved from https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/view/16252
Salami, R. U., & Bintoro, R. W. (2008). Aletrnatif Penyelesaian Sengketa Dalam Sengketa Transaksi Elektronik (E-Commerce). Jurnal Dinamika Hukum, 2(4), 124--135. Retrieved from dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/.../109
Santoso, U. (2010a). Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Santoso, U. (2010b). Pendafftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Suparman, E. (2012). Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan. Jakarta: Fikahati Aneska.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H