Perjalanan pagi yang cerah melintasi jalanan yang masih basah. Semalaman suntuk hujan membasahi tanah kota gemilang ini. Bau hujan santer tercium di setiap sudut kota. Diiringi dengan semerbak kesejukan khas yang jarang ditemui di kota yang panas ini.Â
Pak Asrizal mengantarkan anaknya ke sekolah. Seperti biasa. Dengan sepeda motor bebek keluaran 10 tahun silam, bapak-anak ini melaju dengan tenang.Â
Anaknya masih kelas dua EsDe. Dia bahagia sekali menyaksikan keindahan dunia pagi ini.
"Pa, Pa, lihat! Airnya penuh!!!" Ucap anak Pak Asrizal sembari menunjuk ke arah kiri.Â
Pak Asrizal hanya tertawa kecil. Betapa polosnya anak-anak, pikirnya. Padahal hanya sebuah parit biasa. Banyak sampah. Biasanya sampah plastik beraneka ragam. Di ujung parit, di sanalah sampah-sampah itu bertumpukan. Gorong-gorong yang malang.Â
Meluapnya air di parit tersebut hanya sebuah konsekuensi. Beruntung, hanya sedikit airnya yang mengalir ke jalanan. Sebagian besar mengalir ke semak di seberang parit.Â
"Pa, Pa, lihat! Air di selokan itu juga penuh!!!" Ucap anak Pak Asrizal sekali lagi. Kali ini, dia menunjuk ke arah kanan.Â
Pak Asrizal mencuri pandangan. Benar, selokan di kanan juga penuh. Airnya jernih. Kejernihan itu menjadi indah dengan perpaduan cahaya mentari, pikirnya. Andai saja matahari naik sedikit lagi. Mumpung langit masih biru cerah.Â
Selokan di sebelah kanan tidak seburuk yang di sebelah kiri. Sangat mulus malahan. Tidak ada sampah plastik. Sesekali hanya terlihat dedaunan coklat hanyut. Benar, sesekali terlihat ikan berukuran sedang berenang ke arah hilir. Entah apa jenisnya.Â
Luapan air masih terjadi bahkan di selokan sebaik itu, pikir Pak Asrizal. Hanya sedikit air yang mengalir ke badan jalan. Sisanya menginvasi lahan pemukiman di seberangnya. Airnya jernih berpadu cahaya mentari pagi. Estetik memang. Tapi, banjir tetaplah banjir.Â
Pak Asrizal hanya penasaran, seberapa banyak genangan air lagi yang harus dia tempuh? Jalan menuju sekolah masih jauh. Masih teringat olehnya. Di depan pondok penjual ayam potong. Pasti ada genangan air di sana. Terkadang, ada pengemudi kurang etika. Melaju seakan-akan genangan air sekedar ilusi belaka. Semburan airnya menerpa pondok tukang jagal ayam itu. Kasihan ayam-ayamnya, pikir Pak Asrizal.
Jalan Soebrantas di depan sana juga tidak kalah mengerikan. Setiap persimpangan, selalu ada genangan air. Airnya pasti keruh, pikir Pak Asrizal. Air hitam itu. Kadang kedalaman airnya cukup untuk membuat mogok motor tuanya itu. Syukur-syukur sekedar membasahi lipatan bawah celana dasar hijaunya ini.Â
Ketakutannya kian menjadi. Pasti bakal lebih kacau lagi di persimpangan batas kota. Persimpangan empat jalur. Semua jenis kendaraan saling sikut. Hanya truk tribal rajanya di sini. Pengendara sepeda motor sepertinya hanya sekedar semut. Kena senggol, paling kepala putus atau tempurung pecah saja.Â
Itu hanyalah sekelumit kengerian di masa kemarau saja. Masalahnya, hujan semalaman suntuk adalah perkara lain. Dia masih jauh dari persimpangan itu, tapi lokasi itu telah nyata membayang di depannya. Sial sekali, dia juga lupa mengganti kampas rem motornya. Kurang pakem, tapi masih bisalah. Aduh, bagaimana dengan lubang-lubang di persimpangan itu?Â
"Pa, habis..." anaknya Pak Asrizal menepuk-nepuk punggung ayahnya dengan kotak susu UHT lima ribuan itu.Â
"Nanti kita beli lagi. Di depan masih ada toko Uda Ikhlas," jawab Pak Asrizal pelan.Â
Dia mengingat sesuatu setelahnya.
"Nak, jangan dibuang kotaknya. Kamu masih pegang kan?" tanya Pak Asrizal ke anaknya itu. Dia mencoba menengok via spion kanan. Tapi, sia-sia.Â
"Kenapa, Pa?" tanya anaknya lugu.Â
"Gapapa, Nak. Kita Cuma berbuat sedikit saja."Â
Anaknya Pak Asrizal hanya diam. Dia memeluk ayahnya dengan erat. Tidak berapa lama, dia memakan roti yang sedari pagi dia pegang dengan tangan kirinya.Â
"Nanti sore, kita belanja ke Metropolitan, ya."Â
Pak Asrizal hanya memikirkan sebuah tas yang menggantung di sebuah lapak. Berwarna pink. Di depannya terpampang figur Barbie dengan sayap kupu-kupu berwarna biru.Â
"Iya, Pa."Â
Â