Jalan Soebrantas di depan sana juga tidak kalah mengerikan. Setiap persimpangan, selalu ada genangan air. Airnya pasti keruh, pikir Pak Asrizal. Air hitam itu. Kadang kedalaman airnya cukup untuk membuat mogok motor tuanya itu. Syukur-syukur sekedar membasahi lipatan bawah celana dasar hijaunya ini.Â
Ketakutannya kian menjadi. Pasti bakal lebih kacau lagi di persimpangan batas kota. Persimpangan empat jalur. Semua jenis kendaraan saling sikut. Hanya truk tribal rajanya di sini. Pengendara sepeda motor sepertinya hanya sekedar semut. Kena senggol, paling kepala putus atau tempurung pecah saja.Â
Itu hanyalah sekelumit kengerian di masa kemarau saja. Masalahnya, hujan semalaman suntuk adalah perkara lain. Dia masih jauh dari persimpangan itu, tapi lokasi itu telah nyata membayang di depannya. Sial sekali, dia juga lupa mengganti kampas rem motornya. Kurang pakem, tapi masih bisalah. Aduh, bagaimana dengan lubang-lubang di persimpangan itu?Â
"Pa, habis..." anaknya Pak Asrizal menepuk-nepuk punggung ayahnya dengan kotak susu UHT lima ribuan itu.Â
"Nanti kita beli lagi. Di depan masih ada toko Uda Ikhlas," jawab Pak Asrizal pelan.Â
Dia mengingat sesuatu setelahnya.
"Nak, jangan dibuang kotaknya. Kamu masih pegang kan?" tanya Pak Asrizal ke anaknya itu. Dia mencoba menengok via spion kanan. Tapi, sia-sia.Â
"Kenapa, Pa?" tanya anaknya lugu.Â
"Gapapa, Nak. Kita Cuma berbuat sedikit saja."Â
Anaknya Pak Asrizal hanya diam. Dia memeluk ayahnya dengan erat. Tidak berapa lama, dia memakan roti yang sedari pagi dia pegang dengan tangan kirinya.Â
"Nanti sore, kita belanja ke Metropolitan, ya."Â