Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Hujan Semalam Suntuk

18 Juli 2022   08:08 Diperbarui: 18 Juli 2022   08:10 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perjalanan pagi yang cerah melintasi jalanan yang masih basah. Semalaman suntuk hujan membasahi tanah kota gemilang ini. Bau hujan santer tercium di setiap sudut kota. Diiringi dengan semerbak kesejukan khas yang jarang ditemui di kota yang panas ini. 

Pak Asrizal mengantarkan anaknya ke sekolah. Seperti biasa. Dengan sepeda motor bebek keluaran 10 tahun silam, bapak-anak ini melaju dengan tenang. 

Anaknya masih kelas dua EsDe. Dia bahagia sekali menyaksikan keindahan dunia pagi ini.

"Pa, Pa, lihat! Airnya penuh!!!" Ucap anak Pak Asrizal sembari menunjuk ke arah kiri. 

Pak Asrizal hanya tertawa kecil. Betapa polosnya anak-anak, pikirnya. Padahal hanya sebuah parit biasa. Banyak sampah. Biasanya sampah plastik beraneka ragam. Di ujung parit, di sanalah sampah-sampah itu bertumpukan. Gorong-gorong yang malang. 

Meluapnya air di parit tersebut hanya sebuah konsekuensi. Beruntung, hanya sedikit airnya yang mengalir ke jalanan. Sebagian besar mengalir ke semak di seberang parit. 

"Pa, Pa, lihat! Air di selokan itu juga penuh!!!" Ucap anak Pak Asrizal sekali lagi. Kali ini, dia menunjuk ke arah kanan. 

Pak Asrizal mencuri pandangan. Benar, selokan di kanan juga penuh. Airnya jernih. Kejernihan itu menjadi indah dengan perpaduan cahaya mentari, pikirnya. Andai saja matahari naik sedikit lagi. Mumpung langit masih biru cerah. 

Selokan di sebelah kanan tidak seburuk yang di sebelah kiri. Sangat mulus malahan. Tidak ada sampah plastik. Sesekali hanya terlihat dedaunan coklat hanyut. Benar, sesekali terlihat ikan berukuran sedang berenang ke arah hilir. Entah apa jenisnya. 

Luapan air masih terjadi bahkan di selokan sebaik itu, pikir Pak Asrizal. Hanya sedikit air yang mengalir ke badan jalan. Sisanya menginvasi lahan pemukiman di seberangnya. Airnya jernih berpadu cahaya mentari pagi. Estetik memang. Tapi, banjir tetaplah banjir. 

Pak Asrizal hanya penasaran, seberapa banyak genangan air lagi yang harus dia tempuh? Jalan menuju sekolah masih jauh. Masih teringat olehnya. Di depan pondok penjual ayam potong. Pasti ada genangan air di sana. Terkadang, ada pengemudi kurang etika. Melaju seakan-akan genangan air sekedar ilusi belaka. Semburan airnya menerpa pondok tukang jagal ayam itu. Kasihan ayam-ayamnya, pikir Pak Asrizal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun