"Api unggun memang menjadi bagian yang aku sukai. Apa aku boleh menyalakannya sekarang, tuan ketua??? Hari sudah semakin dingin. Lihat juga di seberang sana, di bagian selatan. Sudah sangat gelap langitnya, tidak ada harapan akan kehidupan setelah ini. Kita semua akan mati membeku. Sebelum hal itu terjadi, mengapa tidak kita berusaha untuk memanaskan tubuh kita sebentar?? Bukankah itu suatu ide yang cukup bagus??"
      Seorang anak kecil??? Ukuran tubuhnya tidak jauh berbeda daripada Arka atau Cantika. Dan juga, sebenarnya dia ini seorang pria atau wanita?? Perawakannya memang seperti wanita, hanya saja belum tumbuh payudaranya. Rambut yang dipotong sebahu itu, dengan warna pirang, tidak dimiliki oleh pria manapun. Selain itu, suaranya juga seperti suara wanita. Akan tetapi, tenaganya tidak masuk akal untuk dikategorikan sebagai seorang wanita. Bagaimana bisa dia mengangkat sebuah pohon tumbang sendiri(an)?? Apa memang ada manusia dengan tenaga sebesar itu???
      "Diam lah, Tia. Kita tidak pergi bertamasya di sini. Kita sedang menjalankan suatu misi penting. Keberadaan kita di sini adalah suatu rahasia, bunian. Jika dirimu menyalakan api unggun, maka barang pasti penduduk desa akan menyadari bahwa ada pengembara yang berani menginjakkan kaki di kawasan terlarang mereka. Jadi, bersabarlah. Rasa dingin juga tidak akan membunuhmu." Pungkas ketua.
      Tia kelihatan tidak senang, "Cih!!" tandasnya. Memang Tia adalah seorang anak manja, bukan berarti dia lembek dan lemah. "Jangan melawan seperti itu. Kau pikir hal itu akan berpengaruh?? Sia-sia saja. Bagaimanapun aku lebih kuat dibandingkan dirimu, gadis muda!!! Seharusnya kau lebih penurut, karena memang begitulah seorang gadis seharusnya. Kau seperti melawan kodratmu sendiri. Mana ada wanita seperti dirimu, dasar aneh!!! Jangan mencoba melawan alam." Perkataan ketua itu, bagaimanapun juga, sangat menjengkelkan bagi Tia. "Ya, aku pikir begitu. Akan tetapi, sebelum aku mengubah tingkah laku ku, bagaimana kalau kau mengubah cara berbicaramu terlebih dahulu, pak tua??"
      ???
      "Apa-apaan ini???"
      "Ya, anggap aja sebagai sebuah peringatan untukmu, pak tua."
      Dalam sekejab, entah bagaimana caranya, Tia telah berada di hadapan ketua dengan sebuah pisau yang diacungkan ke leher orang tua itu. Kilatan besi pisau itu, bagaimanapun juga, begitu menyeramkan untuk dilihat. Ya, walau orang tua itu tetap membaca sebuah buku dengan santai. "Apa kau tidak merasa ketakutan, ketua??" tanya Tia. Tidak ada respon, untuk sementara waktu. Ketua hanya menghela nafas dan mengatakan, "Untuk apa aku merasa gemetaran, Tia? Pisau yang kau arahkan kepadaku ini, ya, tidak begitu menyeramkan. Malahan aku merasa lucu, bocah sekecil dirimu sudah berani seperti ini. Sudahlah, tarik kembali pisaumu itu. Sudahi saja drama murahan ini."
      Tidak ada perlawanan, siapa yang superior dan siapa yang inferior sudah kelihatan jelas. Tia mundur, pisau yang tadi diacungkan ke arah ketua itu, sekarang telah beristirahat kembali di dalam sarungnya. Dan ketua, bagaimanapun juga, kembali membaca buku itu.
      "Apa kau tahu, Tia, mengapa tempat yang terhampar di hadapan kita itu disebut dengan sebutan 'TarukoPedang'???" Entah karena alasan apa, tiba-tiba ketua menanyakan hal seperti itu kepada Tia. "Tidak. Mengapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu, ketua??" balas Tia. Seperti biasa, terdapat jeda antara jawaban yang ditunggu dengan masa awal sebuah pertanyaan diajukan. Hal ini, tidak pelak, selalu membuat Tia jengkel. "Oh, Pak tua menyedihkan. Entah bagaimana caranya aku bisa bekerja denganmu. Andai waktu bisa diulang, lebih baik aku menjadi seorang gadis lembek daripada harus menghadapi sikapmu yang macam batu itu."
      Buku yang terbuka itu, sekarang telah tertutup. Butiran debu berterbangan, suatu pertanda bahwa buku yang sedari tadi dibaca oleh ketua itu sudah tua dan sudah lama tidak dijamah. Begitu banyak debu yang berhamburan, sampai-sampai terlihat seperti cendawan asap kecil. Anehnya, ketua yang sudah mulai uzur itu tidak bersin sama sekali.