Sebuah pos perbatasan berdiri dengan reyot, sudah uzur termakan usia. Pos perbatasan itu pun hanya dijaga oleh dua orang prajurit yang sama selama 3 tahun lebih. Entah sedang kekurangan personil, akan tetapi, kenyataanya semakin sedikit anak muda yang mau meluangkan waktunya sebagai kadet personil perbatasan. Sayang sekali, padahal menjaga perbatasan negeri juga merupakan bagian dari bela negara.
      "Ya, itu benar To. Akhir-akhir ini, para pemuda lebih banyak terjun di bidang peternakan dan pertanian, meskipun nyatanya mereka tetap menjadi pekerja para kalangan kaya. Mereka beralasan gajinya lebih tinggi, padahal, aku pikir tidak terlalu tinggi juga." Keluh seorang prajurit.
      "Lucu ya, Amin? Sudah lama kita berjaga-jaga di sini, yang semakin aneh justru apa yang kita lindungi di belakang, Desa TarukoPedang. Memang aneh, bukan? Sebuah desa justru memiliki pos perbatasan tersendiri, seperti tempat ini. Padahal, jika kerajaan berminat, mereka pasti bisa melenyapkan kita dengan cepat." Pungkas Arto, seorang prajurit muda yang belum menikah.
      "Memang benar, pasukan kerajaan memang sangat kuat, dan kejam. Terlebih, semenjak kastil tua itu ditaklukkan oleh pasukan yang dipimpin orang berjubah maroon, pasukan yang dibentuk setelahnya lebih tepat menyandang gelar 'Pengabdi Setan.' Bukan mengada-ngada, akan tetapi penampilan mereka memang terkesan begitu menyeramkan, seakan-akan sedang terikat di dalam suatu kontrak sihir gelap."
      "Amin, apa kau percaya dengan keberadaan sihir gelap?" Tanya Arto.
      "Antara percaya dan tidak. Aku pernah sakit, dahulu sekali, dan para tabib maupun dukun biasa tidak sanggup menyembuhkan penyakitku. Orangtuaku sudah pasrah, pasrah sekali. Sebelum akhirnya salah satu pamanku mengajurkan agar aku dibawa berobat jauh ke luar desa. Perjalanannya cukup lama, sekitar 10 hari perjalanan. Tempat berobatnya pun aneh, seperti sebuah pondok yang mengapung di atas air. Ketika aku dibawa masuk, hanya aku yang diperbolehkan ada di dalam. Kedua orang tuaku dan kusir kami terpaksan menunggu dengan harap-harap cemas di luar. Aku bingung sekali, aku melihat ruangan dan orang yang akan menyembuhkanku, tetapi rasanya aku tidak melihat apa pun. Orang itu, terkesan seperti sebuah siluet bagiku. Dengan mantra yang tidak bisa aku pahami, suluk-suluk yang tadinya padam tiba-tiba menyala. Apinya tidak bewarna merah, tetapi biru. Sungguh kejadian yang aneh, seketika aku pingsan dan tidak sadarkan diri." Jelas Amin panjang lebar.
      Cukup sulit untuk meyakini penyataan dari orang-orang yang mengaku pernah mendapatkan atau merasakan sensasi sihir gelap. Meskipun demikian, pengakuan dari Amin terkesan tidak ada celah. Ekspresi mukanya terlihat begitu serius, bahkan tidak ada kegelisahan. Dia menceritakan ulang kejadian itu dengan begitu lancar dan tenang.
      "Lalu, apa yang terjadi denganmu? Maksudku, kau mengatakan bahwa dirimu pingsan setelah, apa namanya, pijaran api biru? Lalu, apa yang terjadi setelahnya?" Tanya Arto gelagapan. Meski seorang prajurit, akan tetapi kisah takhayul tetap merasuki alam pikiran Arto.
      "Aku tidak begitu ingat. Yang jelas, ketika aku membuka mataku, aku sudah berada di rumah. Anehnya, kedua orangtuaku dan kusir kami juga tertidur di rumah itu. Ketika mereka bangun, aku bertanya, 'Ayah, bagaimana caranya aku kembali ke rumah?' Ayahku hanya terdiam. Dia pun juga terlihat begitu kebingungan. 'Entahlah, nak. Kami pun juga tidak memahami atau pun mengingat, bagaimana caranya kita sampai ke rumah?' Jawaban itu, sejujurnya, tidak membuatku merasa puas. Segera aku berlari ke luar untuk menemui beberapa orang teman. Bahkan, ketika mereka melihatku, ekspresi mereka begitu heran dan terkejut. Salah satu di antaranya berkata, 'Lah, sudah pulang? Sejak kapan?' "
      Arto, yang sedari tadi berusaha menahan rasa takut yang luar biasa, sekarang seperti tidak sanggup lagi mengendalikan emosinya. Air matanya seakan-akan mengalir laksana air terjun. Wajahnya, benar-benar terlihat jelek. Bibirnya tertarik ke atas. Begitu memelas wajahnya.
      "Hey hey hey, mengapa kau bereaksi seperti itu? Bukan kah ini terkesan aneh? Sadar lah!!! Kau ini seorang prajurit. Jangan dengan mudah menampakkan kelemahanmu di hadapan orang lain. Meskipun itu seorang teman yang juga seorang prajurit." Bentak Amin.
      "A... aku tahu, goblok!!! Hanya saja, aku tidak bisa membayangkan kejadian yang kau alami itu. Asal kau tahu, dan memang semestinya, aku tidak pernah merasa ketakutan ketika menghadapi sesuatu yang materil. Akan tetapi, aku meminta maaf, menghadapi sesuatu yang non-existent bukan lah keahlianku." Tandas Arto.
      "Ya, bagaimana ya? Aku juga mengakui bahwa kejadian itu begitu mengerikan. Akan tetapi, aku sendiri pun tidak terlalu memusingkan hal itu. Karena yang terpenting bagiku adalah, aku sembuh kembali! Jadi, terserah lah, semacam ilmu atau energi apa yang berhasil menyembuhkan diriku waktu itu. Karena, bagaimanapun juga, presensi kebahagiaan kedua orangtuaku adalah hal yang paling utama." Tandas Amin.
      Kedua sahabat itu, mereka terlihat begitu akrab. Bahkan di saat-saat genting sekalipun. Setidaknya, sudah 2 kali mereka terlibat di dalam pertempuran. Dan mereka berdua sama-sama selamat dari marabahaya itu. Meski Amin memiliki bekas luka sayatan di wajahnya sebelah kiri, tetapi itu tidak menghilangkan kesan perkasa yang dia miliki. Sementara Arto, dia memang terbebas dari bekas luka macam apa pun. Akan tetapi, mentalnya yang awalnya lemah, seperti dipacu paksa di kedua medan pertempuran tersebut. Jadi, adalah hal yang wajar jika sekilas dia terlihat begitu tenang, sementara di sisi lain dia begitu rapuh dan lemah.
      "Hey, lihat!!! Kenapa ada banyak sekali burung gagak berterbangan di sana? Apa ada sesuatu yang mati di situ?" tanya Arto.
      "Entahlah. Di sekitaran tempat ini memang seakan-akan menjadi sarang bagi burung itu. Tetapi, aku juga belum pernah melihat mereka terbang bersamaan sebanyak itu." Balas Amin.
      Angin yang berembus menghampiri mereka, terasa begitu suram dan seakan-akan membawa pesan kematian yagn mengerikan.
      "Arto, ini, kenapa aku merasa begitu sedih? Seakan-akan jiwaku telah lepas melayang-layang. Apa ini? Perasaan macam apa ini?"
      "Entahlah. Aku pikir, ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk kembali bertindak sebagai prajurit. Segera kita kemas kartu-kartu ini. Baju besiku ada di ruangan belakang, tidak salah pedangku juga ada di sana. Tolong ambilkan!!"
      "Baik, Amin. Kita harus segera mencari tahu. Jika ada hal yang aneh, kita harus segera memberitahu para ketua." Tandas Arto.
      ------------------------------------------------------------------------------------------------------
      "Buka gerbangnya!!!" teriak seorang prajurit yang tengah berjaga.
      Gerbang besar, yang kira-kira memiliki dimensi 200 meter kuadrat, terbuka dengan tenaga beberapa budak yang khusus bertugas untuk membuka gerbang, lengkap dengan seorang pamong dengan cambuknya yang begitu menakutkan. Para penduduk kota, yang awalnya bercengkrama dengan senangnya, sekarang lari ketakutan menuju rumah mereka masing-masing. Bahkan ada yang sampai kencing celana dan tidak bisa bergerak.
      Apa yang mereka takutkan? Tidak salah lagi. Para pasukan berkuda itu dalangnya!!!
      "Tuan Farez telah kembali!!!  Tuan Farez telah kembali!!!" teriak para penjaga.
      "Memalukan!!! Hanya sekumpulan kecil pasukan berkuda saja sudah begitu heboh," komentar seseorang dari balik kastil. Dia terlihat begitu perkasa dengan jubah merah maroon. "Itu hal yang wajar, Tuanku. Pasukan berkuda itu telah menyebarkan banyak teror atas namamu juga," jelas seorang penjaga yang lain. " 'Teror' ya? Aku rasa terma itu sedikit berlebihan."
      Pasukan berkuda itu, mereka terdiri dari 10 orang penunggang terbaik. Pimpinan mereka bernama Farez. Sudah cukup lama dia mengabdi untuk kerajaan (?). ada yang mengatakan bahwa dia telah mengabdi selama 30 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa dia telah mengabdi selama 35 tahun. Versi yang mana yang benar, tidak ada kepastian. Bahkan Farez sendiri menolak untuk memberikan kepastian lama masa baktinya dengan negara.
      "Tuan Farez segera menghadap Tuanku!!!" Teriak salah seorang pejabat kastil.
      Pintu besar itu terbuka, bentuknya sedikit lonjong ke atas. Hanya ada beberapa pejabat di ruangan itu, termasuk Tuanku. Para pejabat lain, semuanya terlihat membungkuk kan badan. Karpet merah itu, seakan-akan disediakan ekslusif hanya untuk Farez. Dia berjalan dengan congak, tidak melihat ke bawah, apalagi ke belakang.
      "Tuanku, aku kembali. Dan aku membawa banyak berita kepadamu." Hormat Farez. Dia berlutut dengan penuh kepatuhan. "Oh, salah satu prajurit terbaik ku kembali. Dari sekian banyak berita itu, aku hanya ingin mendengarkan beberapa di antaranya. Apa kau sudah siap melaporkan beberapa kejadian penting?" Ucap Tuanku. Suara jubah maroon itu terdengar cukup aneh. Suara orang dewasa, tetapi sengau yang terdengar seperti bukan suara manusia.
      "Dengan penuh hormat, Tuanku. Tanyakan lah! Tanyakan apa pun yang terbesit di dalam hatimu."
      "Tidak, aku berubah pikiran." Ucap Tuanku dengan mendadak.
      "Eh!!?"
      "Iya. Aku berubah pikiran, Farez. Cukup satu pertanyaan saja. Aku malas bertanya banyak-banyak. Takutnya otakmu tidak cukup pintar untuk menjawab semua pertanyaan." Tandas Tuanku.
      Semua pejabat, mereka keheranan dan terkejut. Terkadang Tuanku memang susah ditebak lagak dan pemikirannya. Terkadang dia begitu serius, terkadang dia begitu humoris. Farez yang sedari awal memang seseorang tipikal serius, dia tidak bisa menahan rasa jengkelnya. Farez hanya menundukkan kepala ke bawah. Berharap agar rasa jengkelnya tidak menyulut rasa amarah dari Tuanku.
      "Beritakan kepadaku, apa desa TarukoPedang telah menyatakan kesetiaannya kepada kita?"
      Tuanku, yang wajahnya ditutupi oleh topeng besi, terlihat membuka matanya. Topeng besi itu hanya memiliki dua lubang di bagian mata. Begitu kaku topeng itu. Sekali Tuanku membuka matanya, rasa angker langsung menyelubungi atmosfer ruangan itu. Bagaimana tidak, Tuanku memiliki mata seperti mata ular. Pupil matanya terlihat begitu lancip. Warna irisnya kuning, sementara warna skleranya hijau. Sungguh, tidak ada seorangpun yang berpikir bahwa Tuanku ini adalah seorang manusia. Mana ada manusia memiliki warna mata seperti itu.
      Rasa takut itu, ternyata juga menyelimuti Farez. Mesti telah membantai banyak jiwa, akan tetapi, hal itu tetap tidak menghindarkan dirinya dari aura menakutkan Tuanku. " Fu fu fu," Farez tertawa kecil. Dia memang tidak bisa menghindari rasa takut ini. Akan tetapi, dia sanggup menahan semua rasa takut itu sembari menikmatinya.
      "Desa kecil itu? Saya rasa Tuanku sudah tahu jawabannya apa."
      "Jangan-jangan, apa masih sama seperti waktu itu?" Tanya Tuanku sekali lagi.
      "Iya. Mereka menolak, bahkan kali ini bersikeras. Tindakan mereka seakan-akan ingin menantang kita, Tuanku." Jelas Farez dengan dinginnya.
      "Kurang Hajar!!!"
      Ruangan itu terasa bergetar. Apakah terjadi gempa bumi? Tidak, tidak ada gempa bumi! Mana mungkin pernah terjadi gempa bumi di daerah sini? Lah, lalu, kok ruangan ini bergetar begitu hebat? Para pejabat, di antaranya ada yang pingsan. Yang bertahan berusaha mencari pijakan atau apa pun sebagai pegangan. Bahkan Farez, seorang prajurit yang telah terbiasa membunuh banyak nyawa, tidak luput dari guncangan gebat ini. Dirinya hanya bisa mendekap ke lantai ruangan, tubuhnya tiba-tuiba menjadi dingin. Dan dia tidak memiliki kesadaran untuk beberapa saat.
      "Menteri Perang, berapa jumlah pasukan yang berada di sekitaran kastil ini sekarang?" tanya Tuanku selepas kejadian besar itu.
      "Hmm, biar saya kalkulasikan sebentar. Hmm, sepertinya cukup banyak. Ah, ada sekitaran sepuluh ribu pasukan tuan." Jelas Menteri Perang.
      "Apa benar demikian? Bagus lah. Akan tetapi, dimana pasukan elite kita? Apa mereka masih berada di sekitaran kota ini?"
      "Tidak juga. Kami mengirim empat di antaranya sebagai mata-mata. Selebihnya memang ada di sekitaran kastil ini. Akan tetapi, maafkan kami, Tuanku, kami tidak melacak mereka saat sekarang ini."
      "Segera kumpulkan yang bisa dikumpulkan. Farez!!!"
      "Iya, Tuanku?"
      "Aku perintahkan engkau untuk memimpin pasukan kita. Segera lenyapkan TarukoPedang dari negeri ini. Jangan sisa kan satu pun. Entah itu bayi baru lahir ataupun embrio yang baru terbentuk. Segera berbaris menuju desa kecil itu. Ini adalah perintah, segera laksanakan!!!" Perintah Tuanku.
      Farez, yang sudah lama tidak menginjak tanah pertempuran, langsung tersenyum simpul. Detak jantungnya meningkat, bukan sebagai pertanda ketakutan, melainkan rasa semangat yang tidak bisa ditafsirkan dengan kata-kata biasa. Saat sekarang ini, dia begitu bergelora. Segera tangannya yang mulai lupa cara mengayuhkan pedang, kali ini begitu semangat ingin kembali menggenggam pedang yang sudah lama tersarungkan itu.
      "Segera, segera Tuanku!! Pasti, pasti aku akan melaksanakan perintahmu!!"
      ---------------------------------------------------------------------------------------------------
       TarukoPedang, sebuah desa yang terbilang cukup misterius jika ditilik dari sisi sejarah. Konon, pernah terjadi suatu perjanjian di desa ini. Banyak yang mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat itu sebagai respon dari suatu bentuk kekuasaan zalim di negeri ini pada masa lampau. Akan tetapi, sumber sejarah autentik yang miskin seakan-akan menghambat kemajuan penelitian terhadap desas-desus itu. Mengapa sejarah semi-mitos itu berusaha dikaji, terutama oleh kerajaan di negeri yang jauh?
      Yang tercipta di masa lalu, apa itu berbentuk materiil atau pun tidak, diwariskan ke generasi selanjutnya sebagai suatu pedoman atau penguat untuk menghadapi ancaman baru di masa depan, atau pun ancaman lama yang kembali muncul di masa depan itu sendiri. Susastra yang berkembang di seluruh benua ini, banyak yang mengatakan, telah hilang autentifikasinya. Kejatuhan dan kebangkitan kerajaan-kerajaan di negeri ini, secara tidak langsung, memaksa warisan lama itu untuk diasimilasikan dengan beberapa karya baru. Menyedihkan memang, suatu kesempatan untuk mengenang sekaligus mengingat kembali kejayaan masa lampau, semua itu harus diganti dengan suatu karya baru yang cenderung melebih-lebihkan kejayaan peradabannya sendiri.
      Bagaimanapun juga, bukan lah susastra yang menarik perhatian kerajaan di negeri jauh, melainkan suatu materi yang digunakan untuk mengalahkan suatu bangsa yang pernah menguasai negeri ini di masa lalu. Banyak yang bilang itu berupa senjata. Ada juga yang mengatakan bahwa itu berupa mantra atau jampi-jampi lain untuk memacu energi alam, yang kemudian dikenal dengan istilah "sihir." Entah versi mana yang benar, satu hal yang pasti, bahwa kerajaan di negeri yang jauh mengetahui bahwa di TarukoPedang terdapat sebuah batu yang menjadi petunjuk awal dari keberadaan benda-benda misterius itu.
      Lalu, timbul pertanyaan, batu semacam apa? Secara pasti, tidak ada yang mengetahuinya. Akan tetapi, para tetua TarukoPedang pasti mengetahui, setidaknya memiliki informasi tentang baru tersebut. Ini lah yang selalu menjadi bahan pemicu pertikaian antara kastil tempat bersemayam Tuanku dengan desa TarukoPedang. Bahwasanya kastil tersebut, tidak lain, adalah pion dari kerajaan di negeri yang jauh.
      -----------------------------------------------------------------------------------------------------
      "Amin!!! Kau terlihat begitu gagah meski umurmu tidak muda lagi. Hmm, siapa yang menyangka, pada akhirnya, kita akan kembali mengenakan baju besi ini." Ucap Arto.
      "Ya, itu benar. Kita harus segera memastikan situasi di sekitaran kumpulan gagak itu. Aku takut, jika kita lengah beberapa detik saja, keselamatan desa berada di dalam bahaya yang begitu besar."
      "Baik. Ayo segera ke kandang kuda di belakang."
      Sssss... Ssssss.... Ssssss....
       "Aku tidak memahami, mengapa kedua bidak itu begitu bersemangat? Tidak kah mereka menyadari bahwa kehidupan ini akan segera berakhir bagi mereka? Sungguh menyedihkan!!! Padahal, aku bisa saja membuka diriku dari selubung ini dan segera menghabisi mereka. Namun sayang, aku hanya seorang pesuruh tuan Farez. Bukan lah suatu kewenangan bagiku untuk menyerang kedua bidak itu tanpa restu darinya. Sayang sekali, padahal aku begitu ingin demikian."
      Siapa itu?? Mengapa, baik Arto maupun Amin, tidak menyadari keberadaan orang itu sedari tadi?
      Padahal, dia berdiri di atas sebuah dahan pohon di depan pos penjagaan. Apa, apa ada yang aneh di sini? Seharusnya mereka melihat seorang dewasa itu. Akan tetapi, kok bisa jadi begini?
      "Tuan Farez, aku pikir, kita akan segera membentuk lautan darah yang lain. Ka ka ka ka ka..."
      --------------------------------------------------------------------------------------------------------
      "Cantika, sedang kamu di sana nak? Hari sudah mulai mendung. Seharusnya kamu menutup jendela itu dan segera tidur, sayang!?" Seorang wanita terlihat memasuki sebuah kamar kecil. Pakaiannya begitu rapi, semacam ruffle atau gaun bertumpuk. Wajahnya juga lebih cerah, berkulit kuning dengan mata coklat yang begitu anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai; begitu lurus dan warnanya sedikit kecoklatan di bagian ujung. Gaya berjalannya pun juga seperti para diva.
      "Iya, Bu. Aku hanya berpikir, apa yang sedang dilakukan Arka di luar sana?"
      Anak gadis ini juga tidak jauh menarik. Dia memang tidak menggunakan gaun bertumpuk, akan tetapi cukup dengan baju tidur bewarna krem bermodel piyama. Kulitnya juga kuning, seperti ibunya. Hanya saja, mata anak ini tidak lah secoklat mata ibunya. Bahkan, bisa dibilang bahwa warna mata anak ini sama dengan warna sama orang pada umumnya. Rambutnya juga lurus, akan tetapi hitam pekat.
      "Arka?? Oh, yang membantu nenek Nyon itu ya? Kenapa? Apa kamu tertarik sama dia?" tanya ibu anak itu. Sebenarnya, cukup aneh menanyakan masalah itu kepada seorang gadis berusia 12 tahun. Tapi, boleh lah sekali-sekali. Lagipula, ibu dari anak ini juga sedikit penasaran dengan perubahan sikap gadis kecilnya di masa pubernya. Ups!!! Kenapa harus dibicarakan seperti itu, ya??
      "Ya, aku cukup tertarik dengan Arka."
      "Apa??" pikir ibu anak itu. Jawaban polos dan sederhana itu, bagaimanapun juga, membawa rasa aneh tersendiri. Tapi, definisi dari kata "tertarik" di sini, apa dulu ya?
      "Dia bekerja cukup keras di warung kecil itu. Meski dia masih muda dan memiliki kesempatan untuk mencari penghidupan lain, tapi dia menolak demi neneknya tercinta. Bukan kah itu suatu hal yang mengguncang hati?? Sangat jarang Cantika temui pria seperti Arka. Meski, bagaimanapun juga, Arka adalah seorang kere, akan tetapi, status itu tampaknya tidak menghalangi diri Cantika untuk mengagumi orang itu." Jelas Cantika panjang lebar.
      Selama menjelaskan, pipi Cantika menyirah perlahan-lahan. Tatapannya, yang sedari tadi mengamati rembulan yang sedang purnama, tadi menunduk cukup dalam, seakan-akan dia sedang mengamati bunga-bunga yang sedang mekar di kebun bunganya. Ibunya pun juga memerhatikan putrinya itu dengan seksama. Suasana tenang pada malam itu, seakan-akan menyatu dengan pengakuan Cantika yang begitu tulus dan murni.
      "Hmmm, dasar, anak Ibu. Masih jauh memikirkan hal-hal yang tidak bisa kamu pahami di masa sekarang. Biarlah beberapa kejadian di masa depan menjadi misteri. Setidaknya, kamu tidak akan menjalani kehidupan ini dengan rasa bosan karenanya."
      "Hmm, maksud Ibu, apa ya?" Cantika tidak ngeh. Wajar lah, usianya masih terlalu muda untuk itu.
      "Maksud Ibu, sekarang tutup jendela ini dan segeralah tidur. Mentari masih ingin menyambut kamu di hari esok." Jelas Ibu sekali lagi.
      "Hmm, kalau mentari tidak mau lagi menyambut Cantika, gimana dong Bu??"
      Wualah. Kok jadi seperti ini arah pembicaraan antara ibu dan anak ini? Si Ibu terkejut, bahkan sedikit naik pitam tadinya. Lah, apa anaknya ini ingin segera cepat-cepat mati?? Mana mungkin rela ibu itu.
      "Sudah, sudah, jangan berkomentar lagi. Segera tidur sana."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H