Di suatu daerah, di dunia yang luas ini, terdapat banyak bentuk kehidupan yang tidak terjamah oleh alam pikiran kita. Banyak yang mengatakan bahwa segala sesuatu harus diukur berdasarkan sesuatu yang rasional. Itu benar, bagi takaran pikiran manusia. Akan tetapi, tidak kah kita berusaha memahami beberapa hal yang tidak bisa diterjamahkan oleh alam pikiran kita yang terbatas?
Daerah di sekitaran wetland, sesuai namanya, basah dan lembab sepanjang tahun. Aneh, padahal tempat ini terletak di daerah yang beriklim tropis. Setidaknya, selama empat bulan tempat ini dihajar oleh hujan deras tiada henti. Jika ada manusia yang hidup di sana, pasti mereka telah berteriak, "Banjir!!! Banjir!!! Banjir!!!" sepanjang hari. Namun, kenyataan yang ada sangat menggelitik raga. Pasalnya, yang hidup di sana adalah kodok-kodok yang membentuk suatu koloni yang kemudian mengalami evolusi menjadi sebuah kerajaan.
Mengapa "volusi"?? Setidaknya sejauh pemikiran penulis yang sederhana ini, Â terma tersebut merujuk kepada suatu perubahan yang memakan waktu cukup lama. Ya, setidaknya "kerajaan" yang didirikan oleh para kodok itu tidak timbul dalam waktu semalam. Perlu waktu, setidaknya menurut para tetua mereka, waktu 100 kali musim hujan. Kalau dikalkulasikan lagi, berarti, dibutuhkan waktu 400 bulan secara kasar untuk membangun monarki ini.
Tidak banyak informasi yang terpercaya tentang keadaan sosial-masyarakat kodok-kodok yang hidup di era pra-kerajaan. Ada yang mengatakan semua berjalan seperti apa adanya; tanpa pemimpin dan tanpa adanya semacam hukum buatan yang mengikat mereka. Ada juga yang menambahkan, bahwa gangguan dari bangsa bertaring lah yang telah menyatukan para leluhur untuk membentuk suatu kerajaan.Â
Dikatakan, bahwa terdapat 10 keluarga besar kodok pada masa itu, yang mendiami sepanjang sungai yang jernih ini. Bangsa bertaring tidak terlalu banyak jumlahnya, tetapi mereka telah membawa banyak bencana kepada para kodok. Mereka sering menculik para kodok petualang, menyerang rombongan kodok yang sedang berenang ke arah hilir, atau membuat lumpuh beberapa kodok dengan cairan "misterius" mereka.
Hal ini sangat menganggu, bahkan sampai-sampai berita ini terdengar oleh Chazak, seorang kodok yang begitu kuat. Dia diceritakan sebagai sesosok figur yang mewarisi kekuatan alam, yang dikatakan juga sebagai awatara dari suatu wujud yang begitu perkasa. Dia, Chazak, berbeda daripada kodok-kodok lainnya, memiliki tubuh kekar dan berotot seperi manusia. Beberapa laporan pernah mengatakan bahwa dia bisa mengangkat sebuah bongkahan batu di dalam air. Dia, bagaimanapun juga, dikatakan sebagai seorang pejuang yang begitu kuat dan sakti.
Suatu hari, Chazak ikut bersama rombongan yang berenang menuju hilir sungai.
"Apa berita itu benar, kalian sering diganggu oleh bangsa yang tubuhnya panjang dan memiliki taring?" tanya Chazak.
"Betul tuan. Makhluk-makhluk itu sering menyerang kami dengan senyap. Tanpa kami sadari, mereka sudah ada di bawah kami. Beberapa dari kami berhasil lolos. Akan tetapi, sisanya harus merelakan jiwanya. Kami sangat takut, karena kejadian itu selalu terjadi berulang-ulang kali. Jika kali ini juga terjadi demikian, kemungkinan, tidak akan ada lagi rombongan yang berani pergi ke hilir," jelas salah satu kodok.
Chazak, yang langsung membara jiwanya, begitu penasaran dengan kekuatan dari bangsa bertaring ini. Dengan gagah dia mengatakan, "Jangan begitu khawatir. Aku ada di sini untuk melindungi kalian. Berusaha lah berenang secepat mungkin. Meski bangsa bertaring itu akan menyerang kita, aku akan berada di belakang untuk menghambat mereka. Ketika hal itu terjadi, kalian semua, segeralah berenang dengan cepat ke hilir sungai. Jangan pedulikan diriku. Selamatkan diri kalian masing-masing."
      ------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah setengah hari rombongan itu berenang. Keadaan kemarau membuat kedalaman sungai sedikit surut. Tepian sungai bisa terlihat dengan jelas, terdiri atas batuan dan beberapa batang kayu yang hanyut terbawa sungai sewaktu musim hujan. Tidak ada yang aneh, sejauh ini.
"Tuan, kelihatannya bangsa bertaring itu tidak menganggu kita kali ini. Ini sudah setengah perjalanan, tetapi belum nampak sosok mereka sedikitpun," ujar salah satu kodok. Dari perawakannya yang besar, mungkin dia petarung yang lain, meski tidak sebesar dan seberotot Chazak tubuhnya.
"Jangan lengah!!! Dalam sekejap engkau bisa mati!"
Bayangan hitam, sekitar dua buah, merayap di antara aliran sungai yang tidak begitu deras. Para kodok, terutama para peziarah yang lemah, terkejut dan langsung takut diri mereka. Segera mereka menyelam, dari dalam, terlihat dengan jelas dua ekor bangsa bertaring sedang berputar-putar mengitari rombongan itu. Mereka, bangsa bertaring itu, memang terlihat panjang dan tidak memiliki kaki. Meliuk-liuk seakan-akan mengikuti arah arus sungai. Warna mereka gelap, entah itu alami atau semacam sihir yang digunakan untuk menipu penglihatan para kodok.
Rombongan itu, kecuali Chazak dengan petarung tadi, panik dan berenang dengan kacau, ke arah yang berlainan satu sama lainnya. Minim koordinasi, sangat mudah bagi bangsa bertaring itu untuk menyerang para kodok. "Kalian, jangan berpencar!!! Bodoh!!! Kalian cari mati!!?" teriak Chazak. Tapi, semuanya memang terlambat. Rombongan kodok yang telah tercerai-berai tidak merespon peringatan itu, mendengarkan pun mungkin tidak. "Sia-sia tuan. Lebih baik, kita urus sendiri dua makhluk itu," usul petarung yang dengan setia berada di sisi Chazak. "Ide bagus."
      -------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Sebelumnya, adalah tidak terhormat bagiku untuk tidak mengenal namamu. Setelah perjalanan panjang ini, engkau masih memanggilku 'Tuan' sementara aku tidak tahu panggilan untukmu. Berkenankah engkau?" pinta Chazak dengan lembut.
"Dasar, padahal kita berdua sama-sama berada di keadaan yang gawat. Tapi, masih bisa-bisanya dirimu menanyakan namaku terlebih dahulu."
"Jawab saja. Jangan sungkam.
 "Aku Pistos. Senang berada di sampingmu ketika maut hampir menyapa diriku."
Dengan sekejap, Pistos berenang dengan begitu kencangnya ke arah salah satu makhluk itu. Arus air yang terbentuk karena kecepatan kodok itu, begitu kencang bahkan sempat membuat Chazak terpental ke belakang. "Kodok itu gila."
Bruak....
Salah satu makhluk itu terhempas. Pukulan Pistos cukup kuat juga, meski tubuhnya tidak terkesan begitu kuat. "Hati-hati!!! Di belakangmu!!!" Pistos terperajat, dilihatnya makhluk yang satu lagi berenang ke arahnya dengan kecepatan yang tidak kalah cepat. "Mati aku!!!"
 Duarrr!!!
"Eh, apa yang terjadi???"
Pistos, dia hanya bisa terdiam di tengah aliran sungai yang begitu bergemuruh. Di hadapannya, tidak ada yang terlihat, kecuali gelembung-gelembung yang begitu banyak jumlahnya.
"Dasar. Menjadi petarung muda memang mendekatkan seseorang kepada kematian."
"Ini tidak mungkin. Bagaimana ada bisa....?"
Mata Pistos tidak membohonginya saat ini. Makhluk yang tadi berenang ke arahnya dengan kecepatan yang begitu cepat, sekarang telah mati. Darah merah mengalir dari kepalanya yang telah bolong. Daging segar juga menyembul keluar dari tempat semestinya. Mata makhluk itu, entah apa yang terjadi, yang telihat hanya ruang kosong.
"Jarak kita masih terlalu jauh. Berjuanglah lebih keras lagi," jelas Chazak. Tubuhnya terlihat begitu maco dan maskulin.
"Baik lah. Jangan terlalu pamer di sini."
Dari kejauhan, terdengar suara rintihan.
"Ti...Tidak mungkin. Bagaimana... bagaimana bisa ini terjadi. Tidak mungkin kami bisa dikalahkan seperti itu. Apa... apa  yang kau lakukan kepada saudaraku??? Siapa KAU!!?" teriak makhluk bertaring yang masih hidup.
"Ups!!! Sepertinya kita lupa bahwa masih ada satu lagi di sana, Tuan Chazak."
 "Dua hal yang harus kau ketahui. Pertama, jangan pernah menyematkan 'tuan' untuk memanggilku. Kedua, aku tahu dan segera makhluk itu juga akan mati."
Pistos hanya tersenyum. Dalam sekejap, aliran air kembali bergemuruh.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
 "Wow!!! Ceritakan lagi!!! Ceritakan lagi Kakek!!! Tuan Chazak begitu kuat. Aku suka, aku suka. Aku begitu ingin seperti dirinya."
"Fufufufu. Terlalu naif untuk seorang pangeran kodok muda sepertimu untuk menyerupai Tuan Chazak, meski pada kenyataannya dia adalah leluhur dari kita semua."
"Jangan begitu Kakek. Aku akan kuat, menjadi semakin kuat. Lihat saja, suatu hari nanti aku juga akan mengalahkan bangsa bertaring dengan sekali pukulan."
Ruangan itu terlihat begitu heboh sekarang. Cukup luas ruangannya, dan tempat ini terletak di bawah air. Tidak seperti beberapa bangunan lain di lingkungan yang sama, tempat ini tidak memiliki lumut sedikitpun.
"Katakan Kakek, apa yang terjadi setelah itu?" pinta pangeran kodok yang lain. Yang satu ini terlihat lebih besar badannya. Pembawaanya pun lebih dewasa dan terlihat begitu berpaham.
"Tentu, kekuatan Chazak yang begitu besar, seakan-akan menjadi suatu simbol kekuatan bagi 10 keluarga yang tinggal di hulu sungai. Beberapa saat setelahnya, ke sepuluh keluarga tersebut saling bersatu dan membentuk persatuan yang mirip dengan para moo-Zahr. Diketahui, bangsa moo-Zahr telah terlebih dahulu membentuk suatu bentuk pemerintahan dengan seorang pemimpin bergelar 'raja' sebagai pimpinannya. Ditunjuklah Chazak sebagai raja pertama dari kerajaan itu, atau ini. Dan begitu lah asal-usulnya. Sampai era kita, 100 kali musim hujan setelahnya." Jelas Kakek kodok dengan jelas.
"Kakek, kakek. Apa itu moo-Zahr??" tanya pangeran kodok yang lebih muda.
Kakek kodok hanya menghela nafas panjang.
"Entahlah. Tidak ada informasi pasti tentang mereka. Bahkan di era kita, tidak ada satu pun kodok yang mengaku pernah bertemu dengan bangsa itu. Akan tetapi, dari catatan kuno, moo-Zahr adalah suatu bangsa yang berwujud seperti belut tetapi lebih pendek dari itu. Memiliki sepasang tangan dan semacam mahkota selaput di kepala mereka. Hanya itu yang kita ketahui."
"Kakek, sebagai pengganti dari ayah, Raja Chazak ke-92, jika bangsa moo-Zahr memang ada, apakah mereka akan menjadi ancaman bagi kita?" tanya pangeran yang lebih tua.
Kakek kodok tidak langsung menjawab pertanyaan cucunya tersebut. Dia kemudian berenang ke arah salah satu "jendela". Ikan-ikan kecil terlihat berenang dengan gembira di luar. Bagaimanapun juga, kakek yang dahulunya Raja Chazak ke-91 itu telah menanggung banyak beban dan pengalaman hidup.
"Entahlah cucuku. Jangan kan moo-Zahr, bangsa bertaring tetap mengancam kita kapan pun. Lebih baik persiapkan dirimu untuk menghadapi ancaman yang lebih nyata daripada sekedar bangsa mitos."
"Baiklah. Terima kasih atas sarannya."
 -----------------------------------------------------------------------------------------------------
Di tepi sungai, dua ekor kodok sedang melompat-lompat dengan santai. Mereka mungkin dua orang prajurit garnisum yang sedang menjaga daerah perbatasan.
"Aku berharap musim hujan segera datang. Dan kemudian kita tidak perlu melompat-lompat lagi di atas bebatuan ini."
 "Ya, aku juga menantikannya."
Srrrtttt....
Suara mencurigakan terdengar tidak jauh dari mereka.
"Siapa!!?"
Dari belakang, sesuatu bergerak dengan cepat.
"Argggh!!!"
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H