Mohon tunggu...
Andreas Doweng Bolo
Andreas Doweng Bolo Mohon Tunggu... Dosen - fides et ratio

Biodata: Nama: Andreas Doweng Bolo Pekerjaan: Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis Sejarah, Merefleksikan Pemilu 2024

24 Desember 2022   14:00 Diperbarui: 27 Desember 2022   10:47 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menulis Sejarah

Suka tidak suka, bicara politik Indonesia dewasa ini tak bisa tidak kita perlu membuka lagi lembar sejarah negeri ini terutama seputar sidang Dokuritu (dibaca: Dokuritsu) Zyunbi Tyoosakai. Badan ini merupakan badan yang dibentuk Jepang, yaitu Rikugun (Angkatan Darat Jepang) Tentara ke XVI yang wilayahnya hanya meliputi Jawa dan Madura saja. Sehingga terjemahan tepatnya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (tanpa kata Indonesia). Sedangkan untuk Wilayah Sumatra yang dikuasai oleh Rikugun XXV mempunyai BPUPK sendiri sedangkan di Indonesia Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dipandang Jepang belum "matang" untuk merdeka. Uraian ini mau menandaskan bahwa gagasan Indonesia merupakan gagasan yang lahir dari hati, budi, dan pikir serta tindakan genuine para pendiri bangsa Indonesia, gagasan Indonesia itu tidak lahir dari Pemerintah Dai Nipon. (Untuk uraian lengkap tentang hal ini Lih. buku RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945-Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek2 Menyelidiki Oesaha persiapan Kemerdekaan-Badan Penerbit Fakultas Hukum Univesitas Indonesia 2004).

RM. A.B. Kusuma dengan sangat jitu karena memakai dokumen otentik yang tersimpan di Algemeen Rijksarchief (ARA) Den Haag dan materi lain di Rijks Instituut voor Oologs documentatie (RIOD), Amsterdam menunjukkan bahwa selama Orde Suharto ada informasi yang ditutupi tentang sidang-sidang BPUPK. Hal ini, sangat barangkali karena upaya de-sukarnoisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Suharto yang menamakan dirinya dengan Orde Baru  (Lih. RM. A.B.Kusuma: 2).

Sebenarnya pada sidang BPUPK terdapat ketegangan yang kemudian secara brilian dicari sintesa oleh para pendiri bangsa, dengan salah satu pencetus gagasan itu adalah Sukarno. Sukarno mampu membaca aliran pemikiran saat itu dan dengan piawai menyatukan berbagai unsur kebangsaan Indonesia. 

Hal ini bisa dilihat dari peristiwa-peristiwa seputar sidang BPUPK itu sendiri. Setelah pidato Sukarno 1 Juni 1945, sidang ditutup dengan membentuk panitia kecil sebanyak delapan orang yang diketuai oleh Sukarno. (Catatan: dalam buku-buku resmi versi pemerintahan Orde Suharto, panitia 8 ini tidak pernah disebut dan hanya menyebut panitia 9). Sebenarnya Panitia 8 merupakan "Panitia Resmi" yang dibentuk oleh sidang BPUPK. Namun, Sukarno melihat bahwa komposisi panitia ini tidak menampung semua aliran pemikiran dari golongan Islam. Maka Sukarno atas inisiatifnya sendiri mengubahnya sehingga perbandingan antara golongan Nasionalis dan golongan Islam di Panitia Kecil seimbang; yang semula 6:2 (bentukan BPUPK) menjadi 5:4 bentukan Sukarno (RM A.B.Kusuma: 21).  Atau bisa dibaca bahwa Panitia Kecil Sukarno ini dengan komposisi 4:4 dengan Sukarno sebagai penengah. Bila dilihat maka komposisi maka Panitia Kecil "Resmi" golongan nasionalis diwakili oleh Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. A. Maramis, R. Oto Iskandardinata, Mas Sutardjo Kartohadikusumo, sedangkan dari golongan Islam Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Wachid Hasjim. Sukarno memandang bahwa komposisi ini belum ideal, karena perwakilan kelompok Islam hanya diwakili golongan Islam tradisonalis dari Pesantren yakni Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Wachid Hasjim (RM A.B.Kusuma: 21)

Sukarno atas kehendaknya sendiri membentuk Panitia Kecil "Tidak Resmi" dimana golongan nasionalis diwakili oleh Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. Maramis, Mr. Subardjo sedangkan "golongan Islam" diwakili K.H. Wachid Hasjim, K.H. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan R. Abikusno Tjokrosuyoso. Di sini, golongan Islam selain yang berlatar belakang Pesantren yaitu K.H. Wachid Hasjim, sedangkan Ki Bagus Hadikusumo (kemungkinan telah kembali ke Yogyakarta) diganti oleh K.H. Kahar Muzzakir tamatan dari Universitas Al Azahar (RM A.B. Kusuma:21)

Sukarno dan para pendiri bangsa ini dengan cara luar biasa telah menempatkan berbagai pertimbangan termasuk pertimbangan keagamaan diawal pembentukan negara ini. Agama yang berbeda dengan aliran pemikiran keagamaan yang beragam tidak menjadi kendala persatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Sangihe Talaud sampai ke Pulau Rote.

Semangat itulah yang perlu kita warisi ketika kita menghadapi Pemilu yang akan diselenggarakan di Tahun 2024. Semangat kita adalah semangat sebagaimana telah menjadi bagian dari sejarah negeri ini yaitu semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Merawat Idealisme

Hidup bersama hanya mungkin terjadi baik (bonum commune) bila masing-masing pribadi, komunitas, kelompok saling menghormati. Dalam sistem bernegara saling menghormati itu juga dipraktikan dalam pemilihan umum sebagai salah satu perwujudan dari praktik demokrasi (sila-4). Pemilihan umum merupakan salah satu cara yang tepat dan bermartabat untuk mempraktikan tindakan saling menghormati sebagai anak bangsa Indonesia.

Memang harus diakui bahwa setelah Pemilu 1955 yang demokratis maka Pemilu di era Orde Suharto tak mencerminkan budaya demokratis tersebut. Pemilihan umum di era orde Suharto (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) hanya menjadi momen dan ritus pelanggengan kekuasaan Suharto dan ordenya.

Gugatan masyarakat terhadap rezim ini mendapat momentum di tahun 1998, ketika Orde Suharto   tumbang oleh gelombang protes rakyat yang dimotori mahasiswa. Orde Suharto yang selama ini nyaman dalam ruang kekuasaan tak siap dengan situasi ini. Segala langkah pendekatan yang ditempuh untuk perbaikan semakin menghancurkan kekuasaannya sendiri. Puncaknya ketika Presiden Suharto, 21 Mei 1998 menyatakan berhenti.

Orde Suharto bila kita cermati melanjutkan warisan Sukarno yakni mengandalkan tentara/angkatan perang yang berada digarda depan melindungi kekuasaan diri. Namun, seperti kritik Moh. Hatta dalam Pamfletnya yang dimuat dalam Majalah Pandji Masyarakat 1960 berjudul  "Demokrasi Kita" cara seperti ini tak akan bertahan lama. Cara seperti ini akhirnya merusak sendi-sendi fundamen demokrasi itu sendiri. Hatta dalam karya 'Demokrasi Kita" mengritik tajam tentara dan partai politik di era itu karena kedua pihak akhirnya tidak lagi memikirkan nasib bangsa dan rakyat tetapi berorientasi pada diri sendiri. Sebuah kritik yang perlu tetap diwaspadai termasuk di era sekarang ini.

Hatta menulis seorang anggota tentara yang merasa telah berjasa bagi tanah air ini, kemudian juga meminta bagiannya demikian juga partai politik meminta bagiannya.  Cita-cita Kemerdekaan Indonesia sebagaimana ada dalam Pembukaan terabaikan. Pancasila terutama Sila Pertama yang menjadi fundamen moral dan Sila 2-5  sebagai fundamen politik yaitu peri kemanusiaan, Persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial dikhianati oleh kita sendiri (Hatta, Demokrasi Kita).

Kita berharap pada Pemilu 2024, tak hanya menjadi ajang peralihan kekuasaan tetapi juga menjadi ajang keugahariaan semua anak bangsa. Keugahariaan akan kekuasaan politik, ekonomi (uang), budaya, dan agama. Bahwa Pemilu sebagai salah satu praktik demokrasi menghasilkan para pemimpin yang sungguh bekerja untuk masa depan bangsa ini karena mereka juga lahir dari ekosistem politik yang adil, benar, jujur. Bila ekosistem politik ini tak segera kita ciptakan maka harapan perubahan menuju negeri yang beradab, maju, dan sejahtera lahir batin tampak masih jauh.

Tantangan ke depan yang dihadapi bangsa Indonesia mendorong semua anak bangsa dari rakyat sampai para pemimpinnya baik yang tua sampai yang muda. Dari Pemimpin politik hingga rakyat biasa. Dari para penyelenggara Pemilu hingga peserta Pemilu untuk tidak mengotori diri dengan politik uang, politik demagogi yang mengatasnamakan SARA. Hanya dengan keinsyafan seperti ini masa depan bangsa kita menuju seabad Indonesia akan semakin cerah dan membahagiakan seluruh warga bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun