Menulis Sejarah
Suka tidak suka, bicara politik Indonesia dewasa ini tak bisa tidak kita perlu membuka lagi lembar sejarah negeri ini terutama seputar sidang Dokuritu (dibaca: Dokuritsu) Zyunbi Tyoosakai. Badan ini merupakan badan yang dibentuk Jepang, yaitu Rikugun (Angkatan Darat Jepang) Tentara ke XVI yang wilayahnya hanya meliputi Jawa dan Madura saja. Sehingga terjemahan tepatnya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (tanpa kata Indonesia). Sedangkan untuk Wilayah Sumatra yang dikuasai oleh Rikugun XXV mempunyai BPUPK sendiri sedangkan di Indonesia Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dipandang Jepang belum "matang" untuk merdeka. Uraian ini mau menandaskan bahwa gagasan Indonesia merupakan gagasan yang lahir dari hati, budi, dan pikir serta tindakan genuine para pendiri bangsa Indonesia, gagasan Indonesia itu tidak lahir dari Pemerintah Dai Nipon. (Untuk uraian lengkap tentang hal ini Lih. buku RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945-Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek2 Menyelidiki Oesaha persiapan Kemerdekaan-Badan Penerbit Fakultas Hukum Univesitas Indonesia 2004).
RM. A.B. Kusuma dengan sangat jitu karena memakai dokumen otentik yang tersimpan di Algemeen Rijksarchief (ARA) Den Haag dan materi lain di Rijks Instituut voor Oologs documentatie (RIOD), Amsterdam menunjukkan bahwa selama Orde Suharto ada informasi yang ditutupi tentang sidang-sidang BPUPK. Hal ini, sangat barangkali karena upaya de-sukarnoisasi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Suharto yang menamakan dirinya dengan Orde Baru  (Lih. RM. A.B.Kusuma: 2).
Sebenarnya pada sidang BPUPK terdapat ketegangan yang kemudian secara brilian dicari sintesa oleh para pendiri bangsa, dengan salah satu pencetus gagasan itu adalah Sukarno. Sukarno mampu membaca aliran pemikiran saat itu dan dengan piawai menyatukan berbagai unsur kebangsaan Indonesia.Â
Hal ini bisa dilihat dari peristiwa-peristiwa seputar sidang BPUPK itu sendiri. Setelah pidato Sukarno 1 Juni 1945, sidang ditutup dengan membentuk panitia kecil sebanyak delapan orang yang diketuai oleh Sukarno. (Catatan: dalam buku-buku resmi versi pemerintahan Orde Suharto, panitia 8 ini tidak pernah disebut dan hanya menyebut panitia 9). Sebenarnya Panitia 8 merupakan "Panitia Resmi" yang dibentuk oleh sidang BPUPK. Namun, Sukarno melihat bahwa komposisi panitia ini tidak menampung semua aliran pemikiran dari golongan Islam. Maka Sukarno atas inisiatifnya sendiri mengubahnya sehingga perbandingan antara golongan Nasionalis dan golongan Islam di Panitia Kecil seimbang; yang semula 6:2 (bentukan BPUPK) menjadi 5:4 bentukan Sukarno (RM A.B.Kusuma: 21). Â Atau bisa dibaca bahwa Panitia Kecil Sukarno ini dengan komposisi 4:4 dengan Sukarno sebagai penengah. Bila dilihat maka komposisi maka Panitia Kecil "Resmi" golongan nasionalis diwakili oleh Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. A. Maramis, R. Oto Iskandardinata, Mas Sutardjo Kartohadikusumo, sedangkan dari golongan Islam Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Wachid Hasjim. Sukarno memandang bahwa komposisi ini belum ideal, karena perwakilan kelompok Islam hanya diwakili golongan Islam tradisonalis dari Pesantren yakni Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Wachid Hasjim (RM A.B.Kusuma: 21)
Sukarno atas kehendaknya sendiri membentuk Panitia Kecil "Tidak Resmi" dimana golongan nasionalis diwakili oleh Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. M. Yamin, Mr. Maramis, Mr. Subardjo sedangkan "golongan Islam" diwakili K.H. Wachid Hasjim, K.H. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan R. Abikusno Tjokrosuyoso. Di sini, golongan Islam selain yang berlatar belakang Pesantren yaitu K.H. Wachid Hasjim, sedangkan Ki Bagus Hadikusumo (kemungkinan telah kembali ke Yogyakarta) diganti oleh K.H. Kahar Muzzakir tamatan dari Universitas Al Azahar (RM A.B. Kusuma:21)
Sukarno dan para pendiri bangsa ini dengan cara luar biasa telah menempatkan berbagai pertimbangan termasuk pertimbangan keagamaan diawal pembentukan negara ini. Agama yang berbeda dengan aliran pemikiran keagamaan yang beragam tidak menjadi kendala persatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Sangihe Talaud sampai ke Pulau Rote.
Semangat itulah yang perlu kita warisi ketika kita menghadapi Pemilu yang akan diselenggarakan di Tahun 2024. Semangat kita adalah semangat sebagaimana telah menjadi bagian dari sejarah negeri ini yaitu semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Merawat Idealisme
Hidup bersama hanya mungkin terjadi baik (bonum commune) bila masing-masing pribadi, komunitas, kelompok saling menghormati. Dalam sistem bernegara saling menghormati itu juga dipraktikan dalam pemilihan umum sebagai salah satu perwujudan dari praktik demokrasi (sila-4). Pemilihan umum merupakan salah satu cara yang tepat dan bermartabat untuk mempraktikan tindakan saling menghormati sebagai anak bangsa Indonesia.
Memang harus diakui bahwa setelah Pemilu 1955 yang demokratis maka Pemilu di era Orde Suharto tak mencerminkan budaya demokratis tersebut. Pemilihan umum di era orde Suharto (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) hanya menjadi momen dan ritus pelanggengan kekuasaan Suharto dan ordenya.