Gugatan masyarakat terhadap rezim ini mendapat momentum di tahun 1998, ketika Orde Suharto  tumbang oleh gelombang protes rakyat yang dimotori mahasiswa. Orde Suharto yang selama ini nyaman dalam ruang kekuasaan tak siap dengan situasi ini. Segala langkah pendekatan yang ditempuh untuk perbaikan semakin menghancurkan kekuasaannya sendiri. Puncaknya ketika Presiden Suharto, 21 Mei 1998 menyatakan berhenti.
Orde Suharto bila kita cermati melanjutkan warisan Sukarno yakni mengandalkan tentara/angkatan perang yang berada digarda depan melindungi kekuasaan diri. Namun, seperti kritik Moh. Hatta dalam Pamfletnya yang dimuat dalam Majalah Pandji Masyarakat 1960 berjudul  "Demokrasi Kita" cara seperti ini tak akan bertahan lama. Cara seperti ini akhirnya merusak sendi-sendi fundamen demokrasi itu sendiri. Hatta dalam karya 'Demokrasi Kita" mengritik tajam tentara dan partai politik di era itu karena kedua pihak akhirnya tidak lagi memikirkan nasib bangsa dan rakyat tetapi berorientasi pada diri sendiri. Sebuah kritik yang perlu tetap diwaspadai termasuk di era sekarang ini.
Hatta menulis seorang anggota tentara yang merasa telah berjasa bagi tanah air ini, kemudian juga meminta bagiannya demikian juga partai politik meminta bagiannya. Â Cita-cita Kemerdekaan Indonesia sebagaimana ada dalam Pembukaan terabaikan. Pancasila terutama Sila Pertama yang menjadi fundamen moral dan Sila 2-5 Â sebagai fundamen politik yaitu peri kemanusiaan, Persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial dikhianati oleh kita sendiri (Hatta, Demokrasi Kita).
Kita berharap pada Pemilu 2024, tak hanya menjadi ajang peralihan kekuasaan tetapi juga menjadi ajang keugahariaan semua anak bangsa. Keugahariaan akan kekuasaan politik, ekonomi (uang), budaya, dan agama. Bahwa Pemilu sebagai salah satu praktik demokrasi menghasilkan para pemimpin yang sungguh bekerja untuk masa depan bangsa ini karena mereka juga lahir dari ekosistem politik yang adil, benar, jujur. Bila ekosistem politik ini tak segera kita ciptakan maka harapan perubahan menuju negeri yang beradab, maju, dan sejahtera lahir batin tampak masih jauh.
Tantangan ke depan yang dihadapi bangsa Indonesia mendorong semua anak bangsa dari rakyat sampai para pemimpinnya baik yang tua sampai yang muda. Dari Pemimpin politik hingga rakyat biasa. Dari para penyelenggara Pemilu hingga peserta Pemilu untuk tidak mengotori diri dengan politik uang, politik demagogi yang mengatasnamakan SARA. Hanya dengan keinsyafan seperti ini masa depan bangsa kita menuju seabad Indonesia akan semakin cerah dan membahagiakan seluruh warga bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H