Gusti adalah satu dari sekian laki-laki yang bersahabat dekat dengan Guru. Sebatas profesionalitas. Aku sempat cemburu dengan kehadirannya yang kata Guru mampu memberikan dinamika tersendiri pada organisasi. Semenjak lima tahun tak bertatap muka dengan perempuan itu, aku merasa sangat canggung tatkala bertemu. Terlebih lagi Guru sangat mudah bergaul dengan banyak orang. Padahal jelas, lima tahun yang lalu ia mengajakku untuk membina hubungan rumah tangga. Sama sekali bukan ajakan berbuat maksiat. Jadi, tak pantas rasanya jika aku harus merasa jengkel ketika ada laki-laki lain yang mencoba tuk mendekat. Terutama jika laki-laki itu adalah Gusti, seorang tokoh yang pemikirannya sekaliber dengan Guru.
 Akan tetapi, kematian Gusti beberapa waktu lalu masih menyisakan tanda tanya besar. Selain karena kopi beracun, aku tak melihat ada sedikitpun perasaan menyesal yang tersirat pada wajah Guru. Sungguh, aku tak pernah menemukan emosi selain senyuman di balik ribuan interaksinya dengan banyak orang. Perempuan itu jauh berbeda dengan apa yang selama ini kukenal. Sifat yang mudah panik serta periang kini tak lagi ada dalam dirinya. Hanya ketegangan serta sinisme yang dapat kurasakan. Aku tak ingin berspekulasi semakin panjang. Isak tangisnya dalam dekapanku seharusnya menjadi bukti jika ia masih mempunyai perasaan. Setidaknya hanya setengah jam sebelum Guru kembali pada tabiat aslinya. Dingin dan penuh rencana.
 Mobil sedan hitam yang dikendarainya bersamaku kini telah sampai di daerah Slipi, Jakarta Pusat. Aku menyesal tak dapat mengemudikan mobil sehingga Guru harus kelelahan menyetir selama empat belas jam. Anehnya, perempuan itu tak mengeluh sama sekali. Ia menunjuk sebuah rumah tua yang akan menjadi tempat tinggal kami selama tujuh hari. Aku merasa sedikit tak nyaman dengan bangunan tua. Takut kalau jangan-jangan ada penunggu berupa makhluk halus di dalamnya. Namun, Guru tak menunjukkan kekahawatiran sama sekali dengan hal-hal mistis di balik keberadaan bangunan buatan Belanda itu.
 Guru berencana mengenalkanku dengan tiga orang misterius. Mereka adalah ilmuwan sekaligus hacker handal kelas atas. Aku semakin terlena dengan imajinasi Sherlock Holmes, atau bahkan James Bond. Kami mungkin akan menjadi semacam agen rahasia sekaligus detektif pemecah masalah. Ketakutanku akan bangunan tua tadi seketika sirna. Ketiga teman misterius Guru adalah Niel yang berasal dari Israel; Marc, seorang keturunan Belanda-Indonesia; dan Leon yang merupakan percampuran darah suku Caniago Minangkabau dengan darah orang Jerman.
 Aku merasa sedikit inferior. Ketiganya adalah professor hebat dengan usia yang masih cukup muda. Bagaimana bisa guru berteman dengan orang-orang seperti mereka. Bagaimana pula mereka bisa berkolaborasi dengan seseorang yang hanya lulusan sarjana strata satu seperti Guru jika bukan karena pemikirannya. Decak kagumku tampaknya tak akan berlalu begitu saja. Perempuan itu berhasil membawaku dalam dinamika dunia yang melewati batas wajar.
 Niel dan Marc bersamaan menepuk bahuku. Sedangkan Leon memilih untuk bercengkrama dengan bahasa Minang. Ketiganya begitu ramah sampai-sampai aku lupa jika arsitektur di dalam rumah tua itu sangat berbeda dengan bagian luarnya. Penilaianku terhadap segala sesuatu ternyata masih terlalu dangkal. Aku masih perlu banyak belajar, terutama untuk memahami lebih dalam tentang perempuan yang bernama Guru.
 "Apakah kau tidak penasaran dengan kematian ketua Kertagama yang misterius itu, Uda?" Leon bertanya kepadaku.
 "Ah...  Itu...  ."Â
Sempat ingin kutanyakan hal itu meskipun aku masih takut jika Guru menolak untuk memberitahu. Leon memahami kegamanganku. Ia meyakinkan jika Guru tidak akan marah apabila aku bertanya. Baginya, sosok perempuan dengan pemikiran yang cukup tajam seperti Guru tak mungkin membawa sembarangan orang ke tempat ini. Niel dan Marc adalah salah satu contohnya. Kertagama didirikan oleh perempuan itu bersama Leon untuk kali pertama, tentu saja dengan bantuan Niel. Sedangkan Marc adalah sang negosiator bertemunya organisasi ini dengan Badan Intelejen Negara.
 Guru menghampiriku dengan membawa segelas teh madu. Senyumannya lagi-lagi membuat jangtungku berdegup tak menentu.
 "Minumlah. Badanmu sedikit panas tadi." Ucapnya dengan lembut.
 Marc sedikit terkejut tatkala Guru memberi perhatian kepadaku. Ia tak menyangka jika Guru bisa selembut itu pada makhluk bernama laki-laki. Sementara itu Niel tak menggubris perbincangan kami. Ia terfokus pada sebuah rekaman CCTV dimana terdapat gambar perkumpulan para anggota Kertagama.
 "Apa kau ingin melihat ini?" Niel memberiku instruksi untuk mendekat.
 "Em...  Boleh." Jawabku dengan ragu.
 Kudekati Niel bersama rekaman CCTV itu. Mataku terbelalak tatkala melihat kronologi sebuah peristiwa besar di dalam rekaman. Ada Guru beserta Gusti yang tengah bercengkrama. Lalu Guru beserta anggota lainnya meminta izin untuk pergi sebentar. Alangkah terkejutnya aku pada menit-menit tertentu melihat Gusti menaburkan bubuk racun pada minuman Guru. Aku tersentak karena terkejut bukan main. Bagaimana bisa laki-laki itu berkeinginan untuk membunuh rekan sejawatnya? Bagaimana mungkin?
 Tubuhku mulai terasa kaku. Guru kembali ke tempat duduk dan bercengkrama dengan Gusti seperti biasa. Irama jantungku mulai tak beraturan. Aku takut kalau Guru benar-benar meminum kopi beracun itu. Namun, aku tersadar jika perempuan itu masih hidup. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Gusti meminta izin ke toilet. Guru mengangguk dan membiarkannya pergi. Ada yang aneh dengan sikap perempuan itu. Ia justru tersenyum sinis dengan memandangi secangkir kopi miliknya. Gusti pun kembali dari toilet dan langsung meminum kopi yang ada di meja sembari menunggu Guru yang tak kunjung meminum kopinya. Laki-laki itu kemudian tampak mengejang, lalu ambruk seketika setelah meminum secangkir kopi yang ia bawa.
 "I...  ini. Guru, benarkah ini?" Tanyaku tak percaya. Perempuan itu hanya terdiam tak menjawab.
 Guru bukan tidak tahu jika kopi yang dihidangkan untuknya berisi racun. Ia justru telah menukar dengan kopi yang akan diminum oleh Gusti. Rekaman CCTV itu semakin meyakinkanku jika Gusti adalah mata-mata yang dikirim untuk menyelidiki keberadaan Kertagama. Pantas saja selama ini Guru tak pernah menunjukkan markas kedua kepada para Anggota sampai Gusti ingin menelusuri keberadaannya secara diam-diam. Guru, Niel, Marc, dan Leon adalah inti dari keberadaan Kertagama yang sesungguhnya. Mereka tersadar atas kemunafikan para profesional di balik atribut anti-politik. Aku benar-benar tak menyangka jika Guru memiliki pemikiran yang sangat-sangat antisipatif. Perjalanan panjangku lagi-lagi harus kumulai dengan sesuatu yang mendebarkan. Tidak sekarang, tidak pula lima tahun yang lalu. Perempuan itu masih sama, penuh teka-teki dan senyuman palsu.
 Bersambung di Kertagama;  Mata-Mata Istana (Part 2)
Â
Surabaya
Selasa, 1 November 2016
11:00
Â
Arupa Karsani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H