Marc sedikit terkejut tatkala Guru memberi perhatian kepadaku. Ia tak menyangka jika Guru bisa selembut itu pada makhluk bernama laki-laki. Sementara itu Niel tak menggubris perbincangan kami. Ia terfokus pada sebuah rekaman CCTV dimana terdapat gambar perkumpulan para anggota Kertagama.
 "Apa kau ingin melihat ini?" Niel memberiku instruksi untuk mendekat.
 "Em...  Boleh." Jawabku dengan ragu.
 Kudekati Niel bersama rekaman CCTV itu. Mataku terbelalak tatkala melihat kronologi sebuah peristiwa besar di dalam rekaman. Ada Guru beserta Gusti yang tengah bercengkrama. Lalu Guru beserta anggota lainnya meminta izin untuk pergi sebentar. Alangkah terkejutnya aku pada menit-menit tertentu melihat Gusti menaburkan bubuk racun pada minuman Guru. Aku tersentak karena terkejut bukan main. Bagaimana bisa laki-laki itu berkeinginan untuk membunuh rekan sejawatnya? Bagaimana mungkin?
 Tubuhku mulai terasa kaku. Guru kembali ke tempat duduk dan bercengkrama dengan Gusti seperti biasa. Irama jantungku mulai tak beraturan. Aku takut kalau Guru benar-benar meminum kopi beracun itu. Namun, aku tersadar jika perempuan itu masih hidup. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Gusti meminta izin ke toilet. Guru mengangguk dan membiarkannya pergi. Ada yang aneh dengan sikap perempuan itu. Ia justru tersenyum sinis dengan memandangi secangkir kopi miliknya. Gusti pun kembali dari toilet dan langsung meminum kopi yang ada di meja sembari menunggu Guru yang tak kunjung meminum kopinya. Laki-laki itu kemudian tampak mengejang, lalu ambruk seketika setelah meminum secangkir kopi yang ia bawa.
 "I...  ini. Guru, benarkah ini?" Tanyaku tak percaya. Perempuan itu hanya terdiam tak menjawab.
 Guru bukan tidak tahu jika kopi yang dihidangkan untuknya berisi racun. Ia justru telah menukar dengan kopi yang akan diminum oleh Gusti. Rekaman CCTV itu semakin meyakinkanku jika Gusti adalah mata-mata yang dikirim untuk menyelidiki keberadaan Kertagama. Pantas saja selama ini Guru tak pernah menunjukkan markas kedua kepada para Anggota sampai Gusti ingin menelusuri keberadaannya secara diam-diam. Guru, Niel, Marc, dan Leon adalah inti dari keberadaan Kertagama yang sesungguhnya. Mereka tersadar atas kemunafikan para profesional di balik atribut anti-politik. Aku benar-benar tak menyangka jika Guru memiliki pemikiran yang sangat-sangat antisipatif. Perjalanan panjangku lagi-lagi harus kumulai dengan sesuatu yang mendebarkan. Tidak sekarang, tidak pula lima tahun yang lalu. Perempuan itu masih sama, penuh teka-teki dan senyuman palsu.
 Bersambung di Kertagama;  Mata-Mata Istana (Part 2)
Â
Surabaya
Selasa, 1 November 2016