Mohon tunggu...
Arupa Karsani
Arupa Karsani Mohon Tunggu... -

I'm not telling the truth. I'm just a word without heart. More stories http://arupakarsani.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kertagama; Mata-mata Istana (Part 1)

2 November 2016   16:33 Diperbarui: 2 November 2016   16:40 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gusti adalah satu dari sekian laki-laki yang bersahabat dekat dengan Guru. Sebatas profesionalitas. Aku sempat cemburu dengan kehadirannya yang kata Guru mampu memberikan dinamika tersendiri pada organisasi. Semenjak lima tahun tak bertatap muka dengan perempuan itu, aku merasa sangat canggung tatkala bertemu. Terlebih lagi Guru sangat mudah bergaul dengan banyak orang. Padahal jelas, lima tahun yang lalu ia mengajakku untuk membina hubungan rumah tangga. Sama sekali bukan ajakan berbuat maksiat. Jadi, tak pantas rasanya jika aku harus merasa jengkel ketika ada laki-laki lain yang mencoba tuk mendekat. Terutama jika laki-laki itu adalah Gusti, seorang tokoh yang pemikirannya sekaliber dengan Guru.

 Akan tetapi, kematian Gusti beberapa waktu lalu masih menyisakan tanda tanya besar. Selain karena kopi beracun, aku tak melihat ada sedikitpun perasaan menyesal yang tersirat pada wajah Guru. Sungguh, aku tak pernah menemukan emosi selain senyuman di balik ribuan interaksinya dengan banyak orang. Perempuan itu jauh berbeda dengan apa yang selama ini kukenal. Sifat yang mudah panik serta periang kini tak lagi ada dalam dirinya. Hanya ketegangan serta sinisme yang dapat kurasakan. Aku tak ingin berspekulasi semakin panjang. Isak tangisnya dalam dekapanku seharusnya menjadi bukti jika ia masih mempunyai perasaan. Setidaknya hanya setengah jam sebelum Guru kembali pada tabiat aslinya. Dingin dan penuh rencana.

 Mobil sedan hitam yang dikendarainya bersamaku kini telah sampai di daerah Slipi, Jakarta Pusat. Aku menyesal tak dapat mengemudikan mobil sehingga Guru harus kelelahan menyetir selama empat belas jam. Anehnya, perempuan itu tak mengeluh sama sekali. Ia menunjuk sebuah rumah tua yang akan menjadi tempat tinggal kami selama tujuh hari. Aku merasa sedikit tak nyaman dengan bangunan tua. Takut kalau jangan-jangan ada penunggu berupa makhluk halus di dalamnya. Namun, Guru tak menunjukkan kekahawatiran sama sekali dengan hal-hal mistis di balik keberadaan bangunan buatan Belanda itu.

 Guru berencana mengenalkanku dengan tiga orang misterius. Mereka adalah ilmuwan sekaligus hacker handal kelas atas. Aku semakin terlena dengan imajinasi Sherlock Holmes, atau bahkan James Bond. Kami mungkin akan menjadi semacam agen rahasia sekaligus detektif pemecah masalah. Ketakutanku akan bangunan tua tadi seketika sirna. Ketiga teman misterius Guru adalah Niel yang berasal dari Israel; Marc, seorang keturunan Belanda-Indonesia; dan Leon yang merupakan percampuran darah suku Caniago Minangkabau dengan darah orang Jerman.

 Aku merasa sedikit inferior. Ketiganya adalah professor hebat dengan usia yang masih cukup muda. Bagaimana bisa guru berteman dengan orang-orang seperti mereka. Bagaimana pula mereka bisa berkolaborasi dengan seseorang yang hanya lulusan sarjana strata satu seperti Guru jika bukan karena pemikirannya. Decak kagumku tampaknya tak akan berlalu begitu saja. Perempuan itu berhasil membawaku dalam dinamika dunia yang melewati batas wajar.

 Niel dan Marc bersamaan menepuk bahuku. Sedangkan Leon memilih untuk bercengkrama dengan bahasa Minang. Ketiganya begitu ramah sampai-sampai aku lupa jika arsitektur di dalam rumah tua itu sangat berbeda dengan bagian luarnya. Penilaianku terhadap segala sesuatu ternyata masih terlalu dangkal. Aku masih perlu banyak belajar, terutama untuk memahami lebih dalam tentang perempuan yang bernama Guru.

 "Apakah kau tidak penasaran dengan kematian ketua Kertagama yang misterius itu, Uda?" Leon bertanya kepadaku.

 "Ah...  Itu...  ." 

Sempat ingin kutanyakan hal itu meskipun aku masih takut jika Guru menolak untuk memberitahu. Leon memahami kegamanganku. Ia meyakinkan jika Guru tidak akan marah apabila aku bertanya. Baginya, sosok perempuan dengan pemikiran yang cukup tajam seperti Guru tak mungkin membawa sembarangan orang ke tempat ini. Niel dan Marc adalah salah satu contohnya. Kertagama didirikan oleh perempuan itu bersama Leon untuk kali pertama, tentu saja dengan bantuan Niel. Sedangkan Marc adalah sang negosiator bertemunya organisasi ini dengan Badan Intelejen Negara.

 Guru menghampiriku dengan membawa segelas teh madu. Senyumannya lagi-lagi membuat jangtungku berdegup tak menentu.

 "Minumlah. Badanmu sedikit panas tadi." Ucapnya dengan lembut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun