Pikiranku penat dan lelah dengan banyaknya tugas sekolah yang harus kukerjakan termasuk tugas bimbel di dalamnya. Saat ini aku berada di semester akhir di kelas 12. Wajar bila banyak tugas yang menggunung menunggu untuk diselesaikan dan banyak hal yang harus dipersiapkan. Ujian masuk perguruan tinggi, misalnya. Sayangnya, malam ini aku tak bisa mengerjakannya ada adik perempuanku yang duduk dengan wajah cemberut. Nadin, namanya. Dia, adik bungsuku yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sepertinya aku harus menyempatkan diri untuknya.
"Kenapa, Din?" tanyaku padanya yang berbaring nyaman di ranjang sambil melipat kedua tangannya di dada. Tampak sekali wajah kesalnya.
"Aku sedang kesal," sahutnya yang terdengar lucu di telingaku.
Aku berdeham guna meredam tawaku. Kemudian membalasnya, "Kesal dengan siapa, sih?"
“Fitra!”
“Ada apa dengannya? Bukankah kamu berteman baik dengannya, ya?”
Nadin menggeleng. “Kata siapa?”
Aku tersenyum seraya berkata, “Kakak dong.” sambil mengacak-ngacak rambutnya.
“Tuhkan poniku jadi rusak!” sungut Nadin kesal memerotes tindakanku tadi.
“Coba cerita ada apa?“ bujukku padanya setelah dia selesai membenarkan poninya yang membuatku gemas.
Nadin menarik napas sebelum ia mulai bercerita. "Di sekolah guruku mengumumkan hasil nilai ulangan kemarin. Tebak, siapa yang nilainya paling besar?" Aku menggeleng tidak tahu membuat adikku berdecak kesal.
"Siapa lagi kalau bukan Fitra!"
“Loh, bagus dong. Terus apa masalahnya?“ tanyaku heran.
"Aku kesal dengannya. Apa-apa dia selalu yang nomor satu,” katanya penuh emosi.
Aku mengangguk-angguk mengerti. "Jadi, kamu iri sama keberhasilan dia?"
Nadin menggeleng. "Tidak bukan begitu."
"Bukan bagaimana?"
Aku terkekeh melihatnya terdiam tak bisa menjawab. "Begini, Kakak punya cerita kamu mau dengar?"
Dengan bersemangatnya Nadin berseru, “Mau!”
Aku pun mulai bercerita.
“Pada suatu hari, ada seekor ulat pemalas, kerjanya tidur sepanjang hari di dahan pohon. Tetapi, tidak dengan hari itu ia tidak bisa tidur karena terganggu dengan bisingnya serangga-serangga yang berada di seberang dahan pohonnya.“
“Memang di seberang dahan pohon ulat, ada apa?“ Nadin tiba-tiba menyela.
Aku tersenyum saja menanggapinya. “Kamu akan tahu.“
“Karena terganggu Ulat itu menjadi penasaran dan mengintip dari dahan pohonnya. Ia melihat banyak serangga tengah mengerubungi seekor kupu-kupu yang sayapnya sangat indah. Secara tidak sengaja ulat itu mendengar serangga-serangga itu tengah memuji kecantikan si Kupu-kupu dan menjelekkannya yang sudah lama menjadi ulat. Ia merasa kesal dan dongkol dengan kupu-kupu dan serangga-serangga itu. Dalam hatinya ia berkata, “Aku bisa jadi seperti dia.“
Aku berhenti memberi jeda sebentar dan melirik adikku, kulihat dia diam saja menyimak ceritaku. “Kenapa diam saja?” tanyaku mengerjainya.
“Loh apa salahnya? Katanya kemudian memaksaku melanjutkan ceritanya. “Kamu ingin tahu, tapi sekarang sudah jam 9 malam. Ini waktunya tidur, besok kamu harus bersekolah, kan?“ Aku mengingatkannya.
“Oh ayolah, sebentar saja. Aku belum mengantuk kok.“
Aku menggeleng tidak setuju. “Tidak, Tuan Puteri. Sekarang waktunya tidur dan bermimpi indah. Karena besok kamu bisa mengalahkan Fitra.“
“Mengalahkan Fitra bagaimana? Ini tidak ada hubungannya Kakak!“ Adikku berteriak manja.
“Eit! Ada dong, kamu saja yang tidak tahu.“ Aku mencubit hidung kecilnya merasa gemas. “Ayo sana tidur di kamarmu,” kataku mengusirnya.
Nadin langsung cemberut. “Ish, Kakak curang! Aku kan belum selesai mendengar cerita ulat dan kupu-kupu itu …”
“Please … 5 menit saja, ya, Kak. Setelah itu aku langsung pergi ke kamarku dan tidur,” pintanya memohon.
Aku menghela napas. “Baiklah. Benar ya selesai cerita ini kamu langsung tidur di kamarmu.“ Adikku mengangguk mantap meyakinkanku. Lalu, aku kembali melanjutkan.
“Seperti pada umumnya ulat akan bermetamorfosis sempurna menjadi kupu-kupu. Hal itu pun terjadi pada si Ulat.“
“Bermetamorfosis itu apa Kakak?“ tanyanya bingung.
“Metamorfosis itu proses perubahan atau peralihan bentuk hewan dari fase awal pertumbuhan menuju fase terakhirnya. Contohnya kupu-kupu. Kupu-kupu mengalami metamorfosis sempurna. Sebenarnya kupu-kupu dulunya adalah ulat.“
“Apa? Kok, bisa?“ tanya Nadin terkejut. “Apa ulat itu langsung menjadi kupu-kupu?“
“Tentu tidak.“ Aku pun melanjutkan ceritaku lagi. “Agar bisa menjadi kupu-kupu. Ulat itu selalu bangun pagi. Setiap hari ia akan memanjat dahan ke dahan mencari daun-daun muda dan segar untuk ia makan. Ia memakan banyak sekali dan lama kelamaan waktunya tiba. Perlahan-lahan tubuhnya ditutupi benang-benang putih yang lembut hingga ke seluruh tubuhnya.“
“Apa benang-benang itu akan menjadi sayap nantinya?“ selanya penasaran.
“Tentu tidak. Benang-benang itu bukan sayapnya melainkan semacam selimut yang melindunginya selama proses perubahannya. Selimut itu disebut kepongpong,” jelasku padanya.
“Jadi, ulat itu berubah jadi kepongpong?“
Aku mengacungkan jempolku padanya. “Benar sekali. Selama berhari-hari, ulat itu menjadi kepompong. Siang dan malam terus berganti, hujan dan panas terus dilewati. Selimut itu melindungi ulat dari semua perubahan cuaca.“
“Wah! … Hebat sekali,” seru Nadin merasa takjub.
“Tentu, dong. Ulat itu tak gentar ataupun takut dalam kantong kepompongnya. Ia terus bertahan.“
“Hingga waktunya tiba, kantong kepompong itu perlahan terbuka dan si Ulat yang ada di dalamnya perlahan keluar. Di balik punggungnya ada sayap. Ketika mengepakkannya sayapnya terlihat sangat besar dan sangat indah lebih dari sayapnya si Kupu-kupu.”
“Begitu si Ulat yang berubah jadi kupu-kupu, ia terbang di suatu siang melewati serangga-serangga yang dulu menjelekkannya. Mereka terkejut sekaligus takjub melihat kecantikan yang dimilikinya. Termasuk si Kupu-kupu yang juga ada di sana yang menjadi saingannya merasa kagum dengan perubahan si Ulat.“
Aku pun menutup cerita itu dengan senyuman yang tak luntur ketika menceritakan bagian akhir dari kisah si Ulat dan Kupu-kupu. Kulihat adikku sudah mulai mengantuk. Dia beberapa kali ketahuan menguap. Tetapi, ia berusaha untuk menahannya agar tetap menyimak ceritaku sampai tuntas.
“Nah, ceritanya sudah selesai.“ Aku mengingatkannya. “Waktunya tidur.“
“Nanti dulu kak … masih banyak pertanyaan di kepalaku.“
“Apa hubungannya kupu-kupu dengan masalahku?“
Aku menggelengkan kepala “Tidak-tidak, Tuan Puteri. Simpan saja pertanyaanmu untuk besok.”
“Kamu akan mengerti nanti. Sekarang ayo pergi ke kamarmu.” Aku pun mengantar Nadin ke kamarnya.
“Kak, apakah aku bisa menjadi kupu-kupu yang indah itu?“ ucap Nadin masih bertanya, meski sudah sampai di tempat tidurnya.
Aku mengangguk dan segera menyelimutinya tak lupa mengucapkan selamat malam padanya.
“Jadilah dirimu sendiri dan berusahalah. Kamu akan menjadi kupu-kupu yang sangat cantik seperti yang kamu inginkan, Adikku.“
-TAMAT-
Diselesaikan pada 16 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H