Udara telah membawaku pergi ke ranahku yang baru. Aku kembali diperkenalkan dengan peradaban dan orang-orang baru. Di kota ini, di mana langit telah menuliskan Jeddah di depan mataku, akan kuperbaiki hidup dan pribadiku demi orang-orang yang mungkin masih beberapa tahun lagi akan menyambut kedatanganku. Ya... aku akan bersabar untuk itu.
Di sini, aku meraba-raba detik dan jam yang lambat. Aku mengkhidmati hari-hari agung yang meng-isyaratkan masaku yang akan datang. Di sini, aku berusaha keras mewujudkan tekad yang kubawa dari perkampungan rumahku.
Setelah lama kupatuhi keseriusanku, tiba-tiba aku melihat sosok wanita cantik bergelayut di pikiranku. Dia tak asing, aku pun terlalu mengenalnya. Zora Lianna. Rupanya aku merindukannya  setelah satu waktu yang kuhabiskan dengannya tiga bulan yang lalu.Â
Untuk menepisnya, aku pun mencoba meneleponnya dengan menulis nomor teleponnya di layar ponselku. Tak lama, kudengar sayup suaranya yang agak serak.
"Halo, inikah kau, Al?" tanya Ra.
"Iya Ra. Ini aku. Bagaimana kabarmu?"
"Baik. Aku harap kau di sana juga baik-baik saja. Doaku selalu bersamamu."
"Terimakasih, Ra!"
Sekadar bertukar kabar dan rindu, aku dan Ra bertemu dalam frase suara meski dari jarak ratusan kilometer beberapa menit saja. Aku harap dengan begitu, dia bisa sedikit memberikan senyumnya kepada orang-orang setelah kudengar berita dari kawan-kawanku di sana bahwa seusai kepergianku, dia lebih banyak diam dan menyendiri daripada bersenda gurau dengan teman-temannya. Sungguh, aku kalut dibuatnya. Aku sempat menyalahkan diriku sendiri karena mengenalnya dan membuatnya nyaman bersamaku.
Maafkan aku, Ra.
***