I/
menemui waktu demi waktu. angin bergemuruh di udara.
hujanpun terpanggil memenuhi ruang gelap. dan petir
menyelubungi duka juga air mata. aku tertegun ;
menatap segala kemungkinan yang ditulis oleh waktu,
tubuhku menggigil kedinginan dan jantungmu tak pernah luruh mengingatku.
di jalan-jalan getir mimpiku
kau datang dengan sejumput alamat,
supaya dapat kularikan senyumku ke sudut-sudut arpa hatimu
sampai kugapai kakimu yang beralamatkan surga itu.
II/
pada senja, ashifat wajahmu memburai resah.
manifesto rindu tersirat pada retina matamu yang semakin memerah.
altokomulus pun pecah. dan matahari mengabu di batinmu
:lewat kelebat bayang dalam diam,
insecta langit beterbangan membawa kaleidoskop do'aku
dari hari ke hari,
kutengadahkan jemari sembari kuhimpun senyummu yang tulus itu.
kupejamkan mataku sembari kukekalkan namamu pada ruas-ruas batu
semisal aku kecil dulu.
III/
aku masih bersama senyummu yang semakin ranum menegaskan segala rindu.
memetak garis-garis takdir yang isyarat angka dan hurufnya membuatku lebih tabah.
dan ikhlas mematri hujan pada paras awan
ketika rona pipimu lebih jingga mewarnai semesta.
ibu,
kendati pun langit retak oleh petir dan bumi tandus oleh terik,
namun tak akan ada suatu apa yang sanggup membuatmu hilang dari ingatanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H