Bagi banyak orang, demokrasi seolah tidak ada hubungannya dengan lingkungan hidup. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang didasarkan atas kebebasan dan kemerdekaan seorang individu.
Banyak negara yang mengaku demokratik namun lingkungan hidupnya rusak parah. Tapi di negara-negara maju isu lingkungan menjadi isu politik yang sering meenyedot perhatian publik. Â Isu lingkungan menjadi komoditas politik yang menjadi perhatian publik. Publik ingin mengetahui visi dan misi seorang kandidat dan calon legislatif mengenai lingkungan hidup.
Namun di Indonesia, isu lingkungan hidup tidak bergema sama sekali. Isu ini nyaris tidak mendapat perhatian publik. Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi daripada memperbaiki lingkungan hidup. Isu ini nyaris terpinggirkan dari perbincangan politik terhadap di televisi.
Hampir tidak ada calon legislatif yang berani menjual isu lingkungan hidup kepada konstituennnya. Isu ini dianggap ekslusif dan kurang dipahamai oleh masyarakat luas. Isu-isu yang sering dipermasalahkan adalah politik dagang sapi, korupsi, masalah moral calon legislatif dan lain sebagainya.
Padahal isu lingkungan hidup tidak kalah pentingnya dengan masalah ekonomi, bahkan lebih penting. Hal ini disebabkan isu lingkungan hidup meliputi banyak aspek seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya. Isu ini berkaitan biosfer tempat kita hidup dan berkembang. Kondisi lingkungan hidup yang sehat  akan menyehatkan pula rakyat yang hidup di sekitarnya.
Isu ini tidak pernah menjadi bola liar dalam perpolitikan di Indonesia. Politik Indonesia diwarnai dengan politik identitas yang menjemukan. Masalah SARA masih menghantui politik Indonesia. Demokrasi Indonesia sesungguhnya belum matang. Demokrasi Indonesia belum memasuki fase kedewasaan dalam politik. Sudah semestinya isu lingkungan hidup menjadi agenda penting politik bangsa.
Kondisi lingkungan hidup di Indonesia semakin lama semakin parah. Terlalu sering kita mendengar isu pemanasan global, pencemaran lingkungan hidup, penebangan hutan liar, penipisan sumber daya alam, keanekaragaman hayati, pembuangan limbah dan sebagainya. Namun sepertinya publik Indonesia tidak menyukai hal ini. Â Media pun menganggapnya kurang seksi dibandingkan isu-isu politik yang lain.
Para aktivis dan wartawan yang sering meliput kondisi lingkungan hidup sering mendapat teror dari perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan karena dianggap mengganggu produksi mereka. Baru-baru ini kita mendengar pembantaian orangutan di Kalimantan secara massal  karena dianggap menghalangi pengembangkan hutan sawit.
Orangutan itu dibantai dengan keji, padahal mereka telah menghuni hutan tersebut sejak nenek moyang mereka. Namun pemerintah menanggapi masalah ini dengan santai dan nyaris tanpa reaksi apa pun dari masyarakat. Baru ketika media mengangkat masalah ini, masyarakat pun mulai ramai memperbincangkannya.
Kondisi lingkungan hidup di Indonesia sungguh diperhatikan. Alam dieksploitasinya seenaknya tanpa ada upaya rehabilitasi. Penebangan hutan menyisakan lahan rusak yang menyebabkan banjir bandang dan situasi makin panas.
Dapatkah demokrasi bisa memperbaiki hal ini? Sesungguhnya di era demokratisasi ini, masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai lingkungan hidup. Menurut menteri kehutanan dan lingkungan hidup, isu lingkungan sejajar dengan isu HAM dan demokrasi. Hal ini disebabkan isu lingkungan hidup mencakup kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya.
Keterlibatan masyarakat dalam melestarikan lingkungan hidup sangat penting. Masyarakat adalah pemangku kepentingan utama dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya bisa memberdayakan masyarakat untuk mengembangkan lingkungan yang berkualitas. Pemerintah sendiri juga merupakan salah-satu aktor utama dalam pengembangan lingkungan hidup yang berkualitas.
Sayangnya, banyak pemerintah daerah yang lebih suka membangun gedung-gedung bertingkat yang dianggap melambangkan kemakmuran daerah mereka. Ruang-ruang publik digantikan dengan mal-mal dan supermarket. Pabrik-pabrik dibiarkan mencemari tanah dan sungai. Mereka menganggap itu sebagai pembangunan yang menghasilkan pendapatan daerah yang besar.
Memang di setiap daerah ada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) namun birokrasi mudah mengeluarkan izin untuk pembangunan mal dan pabrik tanpa meneliti dampak jangka panjangnya. Kolusi antara pengusaha dan penguasa sering terjadi terutama di daerah-daerah.
Badan legislatif seharusnya melakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif. Namun mekanisme check and balances nyaris tidak berfungsi di daerah-daerah. Isu lingkungan tertutupi oleh isu-isu lain.
Demokrasi seharusnya melahirkan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang concern terhadap masalah ini. Â Namun keberadaan LSM seringkali dihalangi oleh birokrasi dan aparat keamanan. Mereka takut LSM dan media akan mengekspose masalah pencemaran lingkungan hidup ke publik.
Di pemilihan presiden 2019 ada baiknya kita mengangkat kembali isu lingkungan hidup sebagai wacana publik. Sampai saat ini belum ada visi dan misi dari para kontestan mengenai lingkungan hidup. Isu ini harus menjadi perhatian utama bangsa Indonesia. Â Kita harus menarik perhatian masyarakat terhadap isu lingkungan hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H