Kalau kita bicara kebudayaan Islam di Indonesia maka yang terbayang adalah marawis, gambus, kasidah, nasyid, dan kesenian yang berbau Arab lainnya. Padahal kebudayaan adalah sesuatu yang melekat di masyarakat. Kebudayaan merupakan cara pandang masyarakat terhadap sesuatu. Kebudayaan lebih luas dari kesenian.Â
Kebudayaan meliputi agama, sistem sosial, ekonomi, politik, teknologi, ilmu pengetahuan, arsitektur, dan lain sebagainya. Kebudayaan merupakan denyut nadi sebuah masyarakat.
Di Indonesia, kebudayaan Islam telah berasimilasi dengan kebudayaan setempat. Pada mulanya Islam dibawa oleh pendakwah dan pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat. Mereka berdagang dan berasimilasi dengan penduduk sekitar. Penyebaran Islam di Indonesia dilakukan melalui aspek perdagangan dan kebudayaan. Islam menyebar dengan damai sehingga para ahli menyebutnya sebagai penetration pacifique. Memang ada peperangan namun berskala kecil.Â
Para pendakwah Islam menyebarkan dakwah Islam lewat berbagai cara, seperti perkawinan, kesenian, dan politik. Dengan menggunakan medium kesenian lokal seperti gamelan, wayang, randai, dan sebagainya, para pendakwah Islam menyelipkan pesan-pesan Islam dengan halus. Akidah Tauhid disampaikan dengan mudah dan menggunakan simbol-simbol kebudayaan lokal. Kesenian wayang kulit telah dimodifikasi oleh para dai dengan menyisipkan nilai-nilai Islam. Â Bentuk wayang kulit telah direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak menyerupai makhluk hidup karena itu terlarang dalam Islam. Cerita-cerita wayang telah digubah sedemikian mungkin dengan menyisipkan ajaran-ajaran Islam.
Para penyebar ajaran Islam di Pulau Jawa yang dikenal dengan Wali Sembilan atau Wali Songo menggunakan idiom-idiom lokal untuk menjelaskan konsep-konsep dan ajaran Islam.  Hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah lain di Nusantara seperti di  Melayu, Bugis, Sasak, Lombok, dan lain sebagainya. Kebudayaan lokal 'diislamkan' atau disusupi dan disisipi oleh nilai-nilai Islam. Islam telah menjadi ruh kebudayaan Nusantara.
Masa depan kebudayaan Islam kini menjadi tanda tanya besar. Mau bagaimanakah kebudayaan Islam di tengah serbuan budaya pop dari luar? Tampaknya kebudayaan Islam tertatih memasuki era milenials ini. Bahkan nyaris tidak ada yang berbicara mengenai kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam tetap dianggap tradisional dan ketinggalan zaman.Â
Upaya untuk merevitalisasi kebudayaan Islam nyaris tidak ada. Memang ada budaya pop Islam namun itu tidak bertahan lama sesuai dengan sifat budaya pop yang sementara. Sejumlah penyanyi dan musisi menyanyikan lagu-lagu Islam pada saat menjelang lebaran. Namun lirik-liriknya sangat dangkal. Islam nyaris berhenti sebagai sebuah kebudayaan.
Di bidang sastra ada kemajuan. Novel-novel bertema Islami bermunculan menyemarakkan khazanah sastra tanah air. Sastra Islam kembali muncul sebagai salah-satu genre. Namun novel-novel itu cenderung bernuansa pop dan tidak lepas dari percintaan anak-anak muda. Islam cenderung menjadi bumbu saja.Â
Membaca novel memang menjadi salah-satu kegemaran anak muda. Dan generasi muda adalah pangsa pasar yang besar. Dalam segi perfilman beberapa buah film bertema Islam menarik sejumlah penonton. Film-film ini pada umumnya digarap dengan baik. Jumlah penonton bertambah, khususnya anak muda. Â
Tapi jumlah film-film Islami sangat kecil dibandingkan film-film bertema horor, laga, dan percintaan. Film "Emak ingin naik Haji" menyajikan pesan-pesan Islami dan kehidupan dengan sangat apik. Selain itu ada film berjudul "Perempuan berkalung Sorban"yang lebih banyak melakukan kritik sosial tehadap kehidupan di pesantren.
Generasi millenial memang pecandu industri budaya. Mereka adalah penikmat novel dan film. Mereka merupakan ceruk pasar yang besar. Para pelaku industri budaya dengan cerdik memanfaaatkan mereka. Keuntungan besar pun diraih.
Politik hampir mematikan kebudayaan Islam. Saat ini seluruh energi umat Islam terserap ke dunia politik. Organisasi-organisasi Islam berupaya turut serta dalam kontestasi politik. Para kandidat presiden dan wakil rakyat berupaya untuk memanfaat suara umat Islam untuk kepentingan politiknya.Â
Partai-partai Islam berupaya menggaet konstituen muslim. Islam tidak mengharamkan politik bahkan menyerukan umat Islam untuk berpolitik demi kemaslahatan bersama. Sayangnya, politicking lebih banyak dilakukan untuk menjegal lawan-lawan politik. Politik Islam di Indonesia sangat riuh dengan berbagai kepentingan.Â
Kebudayaan Islam nyaris tidak digubris. Sementara itu tokoh-tokoh kebudayaan Islam yang lebih muda tidak lagi bermunculan. Sebagian besar telah meninggal. Dulu kita mengenal sastrawan muslim seperti cerpenis Kuntowijoyo, Umar Kayam, Mohammad Diponegoro dan sebagainya; sineas dan dramawan muslim seperti Asrul Sani dan Arifin C. Noer, dan lain sebagainya. Sayangnya, mereka tidak mewariskan keterampilan dan kepandaian mereka kepada kader-kader penerusnya. Kebudayaan Islam mati suri.
Penulis-penulis muda memang bermunculan. Namun jumlah mereka sangat sedikit. Penulis-penulis Islam bahkan lebih sedikit lagi. Sebagian bahkan sudah berusia senja. Salah-satu kelemahan dari kebudayaan Islam Indonesia adalah minimnya kaderisasi. Â Tokoh-tokoh kebudayaan Islam tidak melakukan kaderisasi sejak dini.Â
Sedangkan para cendekiawan Islam lebih banyak menciptakan kader-kader yang akan meneruskan perjuangan mereka. Sebut saja, almarhum Nurcholish Madjid yang gencar mensosialisasikan pemikirannya kepada generasi muda. Ketika Kuntowijoyo dan Mohammad Diponegoro meninggal, tidak banyak generasi muda yang meneruskan pemikiran dan kerja-kerja mereka.Â
Belum lagi kebudayaan daerah. Pegiat kebudayaan Islam di berbagai daerah di Indonesia sangat sedikit dan tidak berarti. Kebudayaan Islam dianggap tidak fashionable dan tidak menjual.
Industri kebudayaan pun cenderung menolak produk-produk budaya bernuansa Islami karena tidak marketable. Lihat saja di televisi. Sangat sedikit kebudayaan Islam yang ditampilkan di sana. Sekadar pengisi waktu saja. Kebanyakan budaya pop yang ditampilkan. Budaya pop Islam memang muncul namun peminat dan penikmatnya amat kurang dibandingkan budaya pop dari Barat, Korea, dan Jepang.
Kebudayaan Islam dianggap sebagai kebudayaan elit. Kebudayaan bercita-rasa tinggi yang mengandung nilai-nilai luhur dan mulia. Sedangkan masyarakat Indonesia saat ini lebih menyenangi budaya populer yang dangkal dan cenderung norak. Generasi muda Islam Indonesia telah lama terbaratkan.Â
Mereka lebih memilih menikmati produk kebudayaan pop dari luar dibandingkan kebudayaan Islam. Hal ini diakibatkan kebudayaan pop Barat telah berhasil mengubah selera dan gaya hidup generasi muda Islam Indonesia. Ini bagian dari imperialisme kebudayaan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS). Â
AS menggunakan pendekatan kebudayaan dan politiknya untuk memuluskan penjajahan ekonominya. Generasi muda menjadi target empuk karena mereka masih labil secara kejiwaan. Budaya pop Barat menjadi senjata ideologis yang amat empuk untuk menguasai pikiran dan hati generasi muda. Dengan menguasai generasi muda, mereka ingin menguasai Indonesia seutuhnya di masa depan.Â
Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa menyebabkan AS dan negara-negara Barat tergiur. Mereka melakukan berbagai macam cara untuk menguasai SDA Indonesia dengan cara mencuci otak generasi muda Indonesia agar patuh pada keinginan AS dan negara-negara Barat. Dengan demikian, bangsa Indonesia hanya menjadi konsumen yang bertindak pasif dan mudah diperdaya bangsa-bangsa asing sementara kekayaan alam Indonesia diangkut ke negara-negara lain. Ini adalah tantangan bangsa Indonesia ke depan.
Kebudayaan Islam bukan hanya tidak berkembang di Indonesia, tapi di seluruh dunia Islam. Saat ini dunia Islam sedang menghadapi masalah serius. Kebijakan 'perang melawan teror' yang dilancarkan AS dan negara-negara Barat telah membuat banyak negara Islam takut. Selain itu banyak negara Islam diguncang konflik politik yang parah antara kaum radikal, moderat, dan sekuler.Â
Tak jarang situasi ini mengakibatkan terjadinya kekerasan. Kemiskinan dan keterbelakangan juga melanda negeri-negeri Islam. Hal ini menyebabkan terputusnya umat Islam dengan dunia luar. Rezim-rezim otoritarian yang memimpin negara-negara Islam mengakibatkan kebudayaan Islam mandek. Hampir tidak ada kebebasan berekspresi di negara-negara Islam yang dipimpin rezim otoriter. Setiap gerakan untuk menuntut kebebasan berekspresi selalu dikekang oleh rezim berkuasa dan para pemuka agama yang konservatif.
Sebagai contoh di Iran, pembuatan film selalu dikerangkeng berbagai macam aturan atas nama fikih. Film-film Iran berkebanyakan bertema rakyat kebanyakan. Selain itu ada film tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sangat ketat aturan pembuatannya. Wajah Nabi Muhammad SAW tidak boleh ditampakkan karena beragam alasan. Sensor film berlaku amat ketat. Film-film Holywood tidak boleh masuk ke Iran. Perkembangan film Islam terkendala oleh aturan fikih yang ketat. Â
Umat Islam di Indonesia boleh jadi lebih beruntung dibandingkan umat Islam di tempat-tempat lain. Umat Islam di Indonesia mempunyai kebebasan berekpresi lebih baik. Umat Islam dan ulama di Indonesia cenderung moderat. Justru praktik keislaman yang kaku dan keras tidak mendapat tempat di negeri ini. Banyak penyanyi, musisi, seniman, budayawan Islam yang bebas mengekspresikan dirinya dalam batas-batas tertentu. Ekspresi budaya lokal dan budaya Islam berpadu. Di Indonesia, ada grup musik 'Kiai Kanjeng' yang dipimpin oleh budayawan Emha Ainun Nadjib, grup musik sufi 'Debu', penyanyi Opick dan lain sebagainya. Namun ekspresi tersebut lebih banyak unsur hiburannya dibanding nilai-nilai agama.
Masa depan kebudayaan Islam kini tergantung pada generasi millenial yang sedang tumbuh dan melewati masa remajanya. Kebangkitan kelas menengah muslim saat ini berada di puncaknya. Acara-acara keagamaan laris manis dikunjungi oleh mereka. Mereka mempunyai pendapatan yang lebih dari cukup. Kelas menengah muslim dimanjakan dengan banyaknya mal, pasar swalayan, dan supermarket yang tumbuh di berbagai kota besar di Indonesia.
Generasi millenial agaknya sangat kreatif, inovatif, Â namun kadang egoistik. Kebangkitan generasi millenial akan turut mewarnai masyarakat Islam di Indonesia. Mereka melek internet, gaul, dan modis. Mereka tidak melewati masa-masa seperti yang dialami generasi tuanya. Generasi millenial akrab dengan gawai dan internet. Mereka tidak bisa lepas dari teknologi. Mereka bekerja pada perusahaan-perusahaan bonafid atau bersekolah di lembaga pendidikan modern. Harapan kita patut kita sandarkan kepada mereka.
Dakwah Islam di Indonesia semakin semarak. Kebutuhan rohani masyarakat perkotaan memang besar. Mereka yang cenderung berkutat dengan materialisme kini mendambakan kedamaian dan ketenangan. Dan agama menyediakan itu semua. Gerakan-gerakan sufi modern bermunculan. Pengajian-pengajian ramai didatangi oleh generasi millenial dan orang-orang tua mereka. Â Umat Islam telah menemuka momentumnya untuk bangkit kembali.
Namun menurut almarhum Cak Nur dan Gus Dur, kebangkitan umat Islam di Indonesia cenderung simbolik dan tidak mendalam. Umat Islam di Indonesia masih berkutat pada simbol-simbol keagamaan bukan makna hakiki dari keberagamaan. Umat Islam masih bagaikan buih di lautan. Masih belum berkualitas. Mayoritas muslim di Indonesia berada pada kelas menengah ke bawah. Dan metode dakwah kepada mereka pun berlainan.
Umat Islam di Indonesia memang beragam dilihat dari suku, ras, pekerjaan, lokasi tempat tinggal dan status sosial ekonomi serta afiliasi politiknya. Umat Islam di Indonesia tidak pernah satu. Definisi umat Islam sendiri menjadi kabur. Apakah umat Islam itu semua orang yang beragama Islam? Umat Islam di Indonesia memang rentan dengan perpecahan. Ada NU dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam terbesar di negeri ini. Kedua organisasi melakukan dakwah kultural kepada masyarakat Islam Indonesia. Â
Kebudayaan-kebudayaan lokal nyaris punah. Kebanyakan karena tidak ada lagi penerusnya. Ini lonceng kematian bagi kebudayaan-kebudayaan lokal. Hanya sedikit generasi milenials yang mau melestarikan budaya adiluhung bangsa Indonesaia.
Globalisasi telah menghempas Indonesia. Bangsa Indonesia sudah sedemikian terbaratkan. Beragama media dari stasiun televisi dan internet bahkan nyaris tidak pernah menayangkan kebudayaan-kebudayaan asli bangsa Indonesia. Dominasi budaya Barat sedemikian dalam bercokol di dalam alam bawah sadar generasi muda Indonesia. Pemerintah sepertinya tidak memiliki strategi kebudayaan untuk melawan kebudayaan Barat. Indonesia telah mengadopsi demokrasi liberal yang sebenarnya tidak berakar dari kebudayaan Indonesia. Akibatnya di bidang kebudayaan, budaya liberal a la Barat terus menjadi panutan generasi muda Indoenesia.
Ini PR besar bagi para elit politik dan pejabat di pemerintahan. Sebenarnya Indonesia mempunyai budaya politiknya sendiri. Indonesia adalah negara yang multikultural. Seharusnya pemerintah berupaya untuk merevitalisasi kebudayaan-kebudayaan lokal. Agama seharusnya tidak perlu menjadi perintang bagi perkembangan budaya-budaya tradisonal. Jepang, sebagai contoh, berhasil mempertahankan nilai-nilai kejepangannya dengan tetap bertumpu pada kebudayaan tradisional Jepang. Bahkan mereka memproduksi budaya pop dengan tetap berpijak pada nilai-nilai kejepangannya. Sedangkan industri budaya Indonesia malah cenderung melupakan tradisi dan masa lalu bangsa kita.
Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan Indonesia yang melupakan aspek seni-budaya dalam kurikulumnya. Anak-anak hanya dilatih intelektualitasnya namun melupakan aspek seni yang bisa menghaluskan perangai generasi muda. Akibatnya generasi muda Indonesia kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Tawuran pelajar terjadi dimana-mana. Kekerasan di antara murid-murid SMU mempermalukan dunia pendidikan Indonesia. Bangsa Indonesia kini tidak lagi dikenal santun dan sopan. tapi bahkan beringas. Para politisi mempertunjukkan adu jotos dan korupsi yang sudah sedemikian kronis. Apakah itu yang disebut sebagai budaya bangsa yang demokratis? Pada kenyataanya, ekonomi menjadi salah-satu pilar dasar bagi pembangunan bangsa Indonesia. Tak heran, masyarakat lebih mementingkan perekonomian ketimbangan kebudayaan. Selama ini telah terjadi transformasi sosial yang sangat masif di Indonesia. Nilai-nilai kekeluargaan dan persaudaraan tidak lagi dipegang. Diganti dengan sifat individualistik dan mau menang sendiri. Bangsa Indonesia masih berbudaya okol (kekerasan) bukan otak. Masyarakat Indonesia masih harus mempersiapkan diri untuk masa depan gemilang dengan bertumpu pada kebudayaannya.
PenutupÂ
Untuk menghidupkan kebudayaan Islam, masyarakat Indonesia harus diberitahu bahwa Islam bukan agama ritual an sich. Lebih dari itu, Islam mencakup nilai-nilai kebudayaan yang adiluhung. Budaya Islam berakulturasi dengan budaya-budaya tradisional. Dakwah Islam di Indonesia harus memperhatikan aspek kebudayaan setempat. Bukan mengubah masyarakat Indonesiaa menjadi masyarakat Timur Tengah. Nabi Muhammad SAW sendiri mengatakan tidak ada kelebihan orang Arab dibanding orang non Arab, kecuali karena takwanya. Manusia secara harkat dan martabat pada hakikatnya sama. . Pendekatan terhadap budaya haruslah lemah lembut.
      Dakwah melalui kesenian menjadi suatu hal yang penting bahkan lebih elok. Seni-budaya bukan tabu dalam Islam. Islam pun datang pada masyarakat yang berbudaya Arab. Namun bukan berarti umat Islam harus menjadi kearab-araban. Banyak nilai Islam yang bersifat universal. Islam turun di Timur Tengah namun risalahnya bersifat universal.
      Regenerasi dan kaderisasi di bidang kebudayaan harus terus dilakukan. Kita harus mengajak generasi mencintai dan mempelajari kebudayaan asli Indonesia tanpa harus menanggalka kemodernannya. Contohlah Jepang yang berhasil mempertahankan kejepangannya di antara arus deras kebudayaan Barat. Kita tidak perlu mengekor Barat untuk mencapai kejayaan bangsa Indonesia. Kita harus menciptakan kreasi dan inovasi sendiri. Kita perlu belajar ke Barat tapi bukan menjadi Barat. Wallhu a'lam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H