Politik hampir mematikan kebudayaan Islam. Saat ini seluruh energi umat Islam terserap ke dunia politik. Organisasi-organisasi Islam berupaya turut serta dalam kontestasi politik. Para kandidat presiden dan wakil rakyat berupaya untuk memanfaat suara umat Islam untuk kepentingan politiknya.Â
Partai-partai Islam berupaya menggaet konstituen muslim. Islam tidak mengharamkan politik bahkan menyerukan umat Islam untuk berpolitik demi kemaslahatan bersama. Sayangnya, politicking lebih banyak dilakukan untuk menjegal lawan-lawan politik. Politik Islam di Indonesia sangat riuh dengan berbagai kepentingan.Â
Kebudayaan Islam nyaris tidak digubris. Sementara itu tokoh-tokoh kebudayaan Islam yang lebih muda tidak lagi bermunculan. Sebagian besar telah meninggal. Dulu kita mengenal sastrawan muslim seperti cerpenis Kuntowijoyo, Umar Kayam, Mohammad Diponegoro dan sebagainya; sineas dan dramawan muslim seperti Asrul Sani dan Arifin C. Noer, dan lain sebagainya. Sayangnya, mereka tidak mewariskan keterampilan dan kepandaian mereka kepada kader-kader penerusnya. Kebudayaan Islam mati suri.
Penulis-penulis muda memang bermunculan. Namun jumlah mereka sangat sedikit. Penulis-penulis Islam bahkan lebih sedikit lagi. Sebagian bahkan sudah berusia senja. Salah-satu kelemahan dari kebudayaan Islam Indonesia adalah minimnya kaderisasi. Â Tokoh-tokoh kebudayaan Islam tidak melakukan kaderisasi sejak dini.Â
Sedangkan para cendekiawan Islam lebih banyak menciptakan kader-kader yang akan meneruskan perjuangan mereka. Sebut saja, almarhum Nurcholish Madjid yang gencar mensosialisasikan pemikirannya kepada generasi muda. Ketika Kuntowijoyo dan Mohammad Diponegoro meninggal, tidak banyak generasi muda yang meneruskan pemikiran dan kerja-kerja mereka.Â
Belum lagi kebudayaan daerah. Pegiat kebudayaan Islam di berbagai daerah di Indonesia sangat sedikit dan tidak berarti. Kebudayaan Islam dianggap tidak fashionable dan tidak menjual.
Industri kebudayaan pun cenderung menolak produk-produk budaya bernuansa Islami karena tidak marketable. Lihat saja di televisi. Sangat sedikit kebudayaan Islam yang ditampilkan di sana. Sekadar pengisi waktu saja. Kebanyakan budaya pop yang ditampilkan. Budaya pop Islam memang muncul namun peminat dan penikmatnya amat kurang dibandingkan budaya pop dari Barat, Korea, dan Jepang.
Kebudayaan Islam dianggap sebagai kebudayaan elit. Kebudayaan bercita-rasa tinggi yang mengandung nilai-nilai luhur dan mulia. Sedangkan masyarakat Indonesia saat ini lebih menyenangi budaya populer yang dangkal dan cenderung norak. Generasi muda Islam Indonesia telah lama terbaratkan.Â
Mereka lebih memilih menikmati produk kebudayaan pop dari luar dibandingkan kebudayaan Islam. Hal ini diakibatkan kebudayaan pop Barat telah berhasil mengubah selera dan gaya hidup generasi muda Islam Indonesia. Ini bagian dari imperialisme kebudayaan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat (AS). Â
AS menggunakan pendekatan kebudayaan dan politiknya untuk memuluskan penjajahan ekonominya. Generasi muda menjadi target empuk karena mereka masih labil secara kejiwaan. Budaya pop Barat menjadi senjata ideologis yang amat empuk untuk menguasai pikiran dan hati generasi muda. Dengan menguasai generasi muda, mereka ingin menguasai Indonesia seutuhnya di masa depan.Â
Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa menyebabkan AS dan negara-negara Barat tergiur. Mereka melakukan berbagai macam cara untuk menguasai SDA Indonesia dengan cara mencuci otak generasi muda Indonesia agar patuh pada keinginan AS dan negara-negara Barat. Dengan demikian, bangsa Indonesia hanya menjadi konsumen yang bertindak pasif dan mudah diperdaya bangsa-bangsa asing sementara kekayaan alam Indonesia diangkut ke negara-negara lain. Ini adalah tantangan bangsa Indonesia ke depan.