Bisakah mesin bermimpi? Apakah yang mereka mimpikan?
Di tengah dunia yang kacau, lantas hancur, sebab perang nuklir di masa lampau Dick membuat empati yang dimiliki oleh android dan juga manusia menjadi kabur.
Android itu tidak memiliki emosi. Kurangnya empati pada gangguan jiwa schizophrenia sama mengenaskannya dengan moral yang dimiliki oleh android. Bedanya, jika schizophrenia bertindak sesuai kehendak mereka, tetapi android bertindak sesuai dengan perintah tuannya. Ketidakmampuan mereka untuk melawan yang membuat mereka tidak bisa terbebas secara naluriah. Jika pada zaman sekarang android ialah wujud handphone yang kita kenal, maka Dick selaku penulis tak menggambarkan demikian. Android ialah ketika Skala VoightKampff tidak mampu mendeteksi adanya pergerakan otot-otot pada wajah, mata, juga pembuluh kapiler. Seperti yang Rick lakukan kepada Rachel. Rick menduga ia adalah android.
Percakapan Rachel dinilai tidak wajar dengan pengetahuannya yang kelewat batas. Ia adalah bagian dari Rosen Corporation, perusahaan yang memproduksi android Nexus-6. Hubungan dekatnya dengan teknologi ini semakin menimbulkan kecurigaan bagi Rick, terutama, Rachel terlihat memiliki akses dan pemahaman mendalam tentang android.
Sebenarnya untuk memecah scene novel tersebut menjadi lebih sederhana lebih efektif kalau menggunakan pendekatan; eksistensialisme, humanisme, dan di samping itu utilitarianisme adalah alasan mengapa android yang didesain seperti manusia termasuk salah satu ancaman global.
EKSISTENSIALISME
Berdasarkan pandangan eksistensialisme, sebenernya hampir mirip dengan konsep antara "chaos" dan "order" maka dunia digambarkan sebagai suatu sosok (dapat berupa kebendaan), manusia dinilai sebagai objek yang keluar (chaos) dari prosedur yang seharusnya (ought: menurut Kelsen, 1934). Manusia tidak lain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Sebagaimana keinginan manusia untuk bebas adalah hakikat yang mendasari humanisme. Namun di samping itu, bentrok dengan adanya aturan yang mengikat. Atau sebut saja, sebagai aturan yang "statis" menurut Kelsen. Suatu aturan adalah yang statis karena ditentukan oleh norma dasar baik validitasnya maupun materinya. Validitas aturan dan kualitasnya karena diderivasikan atau didedikasikan secara logis langsung dari norma dasar tertentu. Ketidaksesuaian terhadap "dasar" dinilai sebagai sesuatu yang keluar.
Maka, mendasari hal tersebut, artinya boleh saja jika kita menyebut semua aturan hukum didasarkan pada norma dasar, yaitu prinsip fundamental yang mengatur sistem hukum suatu negara. Norma dasar ini memberi validitas atau keabsahan bagi setiap aturan hukum yang ada, dan materi aturan tersebut (isi dari hukum) harus sesuai dengan norma dasar itu. Jadi, aturan itu disebut "statis" karena dia bersumber dari norma dasar yang tidak berubah.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran adanya keinginan untuk menghapuskan segala sesuatu yang dianggap "keluar" dari aturan (eks: keluar). Ialah pandangan utama mengapa terciptanya android atau kecerdasan buatan yang dinilai sedemikian rupa dalam novel "Do Androids Dream of Electric Sheep?" setelah kerusakan akibat perang. Perang nuklir dimaknai sebagai sesuatu yang "eks" atau "chaos" lantaran menciptakan kebinasaan terhadap makhluk hidup. Sebagai gantinya, diciptakanlah replika serta hewan elektrik. Alasan praktisnya, karena tuan rumah yang memiliki hewan, akan dinilai humanis. Tetapi kontroversi terjadi ketika Rick menyadari bahwa hewan elektrik tidak punya empati. Hingga ia mengatakan bahwa sama mirisnya dengan penderita schizophrenia. Sekejap, dalam 24 jam—setelah perang terjadi dan banyak orang memilih tinggal di Mars ia memilih untuk tetap di Bumi—Rick mempertanyakan mana yang benar dan salah.
Tes kecerdasan menilai bahwa Rick adalah seorang otak ayam, lantas dijauhi masyarakat. Menyelaraskan dengan pandangan "eks" maka sebut saja Rick dinilai sebagai wujud yang "keluar" dari apa yang ditetapkan.
Sebenarnya, manusia itu digambarkan sebagai sosok yang selalu dieksistensikan (atau diaktualisasikan) meskipun tak menyatakan secara langsung. Rick sempat mengulas kembali hasil tes kecerdasan yang ia ikuti. Sebab ia berpikir, dengan kemampuannya sebagai pemburu bayaran pun dapat memburu keenam Nexus-6. Ia mempertanyakan mengapa harus ada titik yang membedakan antara "otak ayam" dan "tidak otak ayam" maka eksistensialisme ingin membuat titik tersebut kabur: yang kemudian dikemas oleh Philip K. Dick dalam Do Androids Dream of Electric Sheep?
Akankah kondisi tersebut dapat disebut sebagai sesuatu yang menafikan Tuhan?
Untuk menjawabnya, mari kita pecah menjadi sebuah konsep yang telah diusulkan Nietzsche sebagaimana eksistensialisme telah dibahas di atas.
Agar lebih bisa dipahami secara sederhana, kita akan menggunakan kerangka Beyond Good and Evil karya Friedrich Nietzsche. Nietzsche mengkritik moralitas tradisional yang dibangun di atas dualisme kaku antara "baik" dan "jahat" arkian mendorong manusia untuk melampaui batasan tersebut dengan menciptakan nilai-nilai baru. Ia mendorong individu agar hidup sesuai dengan jati dirinya, bukan berdasarkan ekspektasi sosial atau aturan yang diwarisi. Nilai otentisitas berarti menolak kemunafikan moral dan bertindak berdasarkan kehendak pribadi yang mendalam. Rick harus menghadapi dilema moralnya sendiri dan memutuskan apa yang benar bagi dirinya, bukan hanya menjalankan perintah sebagai pemburu android. Secara berkesinambungan—Dick selaku menulis—perjuangan agar manusia hidup secara otentik di tengah aturan yang memaksakan definisi moralitas tertentu. Maka—Skala VoightKampff, dari perspektif Nietzsche—ialah bentuk mempertahankan validitas aturan yang menempatkan manusia sebagai makhluk unggul dengan empati sebagai fondasinya (di samping itu ialah melalui reaksi fisik yang tidak akan pernah dimiliki oleh hewan; reaksi berupa mimik). Namun, moralitas semacam ini pada akhirnya menjadi dogma yang mengontrol manusia. Nietzsche akan mendorong untuk melampaui skala tersebut, memungkinkan manusia untuk menciptakan nilai baru yang tidak terikat pada definisi empati yang sempit. Jika skala dihapus, Nietzsche mungkin melihat ini sebagai peluang untuk menciptakan nilai baru, meskipun berisiko. Kehilangan skala dapat menyebabkan kekacauan moral, tetapi juga membuka jalan bagi manusia untuk mendefinisikan ulang kemanusiaan mereka secara lebih autentik, tanpa bergantung pada hierarki tradisional. Maka, sebut saja Skala VoightKampff membuat kabur antara yang "baik" dan "buruk" (di dalamnya sudah terkandung: "mengontrol" atau "tidak mengontrol").
Hal tersebut sama halnya dengan kehendak manusia untuk berkuasa (didefinisikan melalui buku Beyond Good and Evil), Rick, meniti interaksinya dengan android, didorong untuk melampaui batas pemahaman tradisional tentang "manusia" dan "mesin". Sebut saja, Rick adalah produk penulis yang dimanifestasikan dari will to power, di mana Rick menciptakan pemahaman baru tentang nilai kemanusiaan. Awalnya, Rick melihat android hanya sebagai mesin tanpa jiwa, yang secara moral sah untuk dimusnahkan. Namun, melalui interaksinya, terutama dengan Rachael Rosen, ia mulai mempertanyakan apakah android benar-benar berbeda dari manusia, terutama dalam hal perasaan, tujuan, dan keberadaan mereka.
Perjalanan Rick mencerminkan apa yang disebut Nietzsche sebagai "manusia superior" (Übermensch), yang berani menghadapi kehancuran nilai-nilai lama dan mengambil tanggung jawab untuk menciptakan nilai baru.
Kembali lagi dipertanyakan apakah hal tersebut dapat dikatakan "menafikan Tuhan"?
Jelas, jawabannya ialah: YA. Seperti yang kita ketahui, memang sudah dijabarkan di awal bahwa karya Nietzsche salah satunya mempertanyakan mengapa manusia berusaha untuk mencari kesempurnaan. Ialah karena ketidakpuasan itu sendiri.
HUMANISME
Sudah ketemu jawabannya?
Kalau membahas di atas, yang di mana eksistensialisme digambarkan sebagai suatu hal yang "rebellious" maka akan muncul pula pertanyaan. Tapi kita buat saja menjadi hal yang lebih praktis.
Apakah eksistensialisme menentang humanisme?
Jawabannya ialah: TIDAK.
Humanisme, dalam pandangan praktis, adalah sebuah sistem pemikiran yang menekankan pada nilai dan martabat manusia sebagai pusat dari segala hal. Ia berfokus pada potensi manusia untuk berkembang, berkarya, dan mencapai kebahagiaan melalui rasio, etika, dan kebebasan. Di sisi lain, eksistensialisme, sebagaimana diajukan oleh Sartre dan Kierkegaard, mendalami pencarian individu untuk menemukan makna dalam hidup melalui pengalaman pribadi dan kesadaran akan absurditas dunia.
Nietzsche, dalam Beyond Good and Evil serta Thus Spoke Zarathustra, mengkritik pandangan moralitas tradisional yang berdasarkan pada dualisme seperti "baik" dan "jahat", yang bisa dianggap sebagai akar dari humanisme. Humanisme cenderung melanggengkan nilai-nilai ini, yang bagi Nietzsche adalah pembatas bagi kehendak manusia untuk berkembang dan mencapai potensi penuhnya. Humanisme mendeklarasikan bahwa manusia harus hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas yang diwariskan dan diterima oleh masyarakat. Di sinilah kritik Nietzsche bermula: bahwa manusia, untuk menjadi Übermensch (manusia superior), harus melampaui nilai-nilai moral yang ada dan membangun nilai-nilai baru yang lebih otentik dan bebas dari norma sosial yang membatasi.
Namun, meskipun Nietzsche mengkritik moralitas tradisional yang mendasari humanisme, ia tidak sepenuhnya menolak esensi dari kebebasan dan pencarian makna dalam hidup yang juga dijunjung tinggi oleh eksistensialisme. Humanisme mengakui kebebasan manusia untuk menentukan takdirnya, tetapi seringkali terjebak dalam kerangka moralitas yang baku dan universal, sedangkan eksistensialisme, seperti yang dijelaskan oleh Sartre, memberi kebebasan total bagi individu untuk menciptakan dirinya sendiri, tanpa terikat oleh aturan moral atau sosial yang sudah ada.
Nietzsche, lebih lanjut, menyatakan bahwa kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk mengikuti prinsip (jamak) yang diterima begitu saja oleh masyarakat, melainkan kebebasan untuk menanggalkan beban moralitas tersebut dan mengukir jalan hidup sendiri berdasarkan kehendak yang bebas. Inilah yang menjadi titik temu antara eksistensialisme dan Nietzsche, meskipun humanisme melihatnya lebih sebagai pembebasan dalam konteks moral yang sudah diterima oleh masyarakat.
Pada akhirnya, kedua pandangan ini, meski berbeda dalam kerangka etika dan moral, sebenarnya bisa berdampingan dalam satu kesadaran bahwa manusia, sebagai makhluk bebas, memiliki potensi tak terbatas untuk menemukan dan menciptakan makna hidupnya sendiri. Eksistensialisme lebih menekankan pada pencarian individual yang otentik, sementara humanisme mungkin memberikan konteks sosial dan moral di mana pencarian itu terjadi. Tetapi, dalam pemikiran Nietzsche, justru pencarian yang otentik itu lah yang mendobrak aturan yang ada dan membangun nilai-nilai baru yang lebih tinggi, yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh humanisme.
Dalam hal ini, eksistensialisme tidak menentang humanisme, tetapi lebih melanjutkan pandangan humanis dalam bentuk yang lebih radikal dan bebas dari belenggu nilai-nilai konvensional. Namun, dari perspektif Nietzsche, humanisme bisa menjadi penghalang bagi pengembangan individu, jika manusia terjebak dalam nilai-nilai moral yang statis dan tidak pernah melampaui mereka untuk menciptakan nilai-nilai baru yang lebih tinggi.
Lantaran demikian, akankah dapat dikatakan bahwa eksistensialisme ialah sesuatu yang baik? Karena melalui eksistensialisme dapat mendukung humanisme dalam novel Do Androids Dream of Electric Sheep? Faktanya, TIDAK.
Sebenarnya hal ini telah jelas diungkapkan melalui android atau mesin yang tersebar. Lalu di samping itu, ada "tuan" yang mengontrol. Setelah perang yang menciptakan radiasi, dibuatlah seolah dunia tak boleh ada kekacauan melalui kecerdasan buatan. Sama halnya dengan konsep utama utilitarianisme. Yakni,
INPUT - PROSES - OUTPUT.
Dalam hal ini, inputnya berupa kekacauan, prosesnya ialah gathering (ada yang menetap di Mars, ada juga yang memilih kembali ke Bumi). Lalu sebagai output dari "kekacauan" yang sebelumnya belum tuntas, maka Rosen Association membuat robot yang menyerupai manusia agar "kehancuran" akibat perang terminus bisa dibenahi kembali. Atau di samping itu, ialah untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Lalu pasti akan muncul lagi pertanyaan, yang sebenarnya berulang ditanyakan dalam novel. Penulis memang sengaja agar pembaca bingung. Tetapi saya akan menentang kembali.
Robot, mesin dan, android diciptakan serupa dengan wujud manusia dengan keinginan untuk bebas. Juga menampilkan jawaban serupa dengan ekspresi manusia. Lalu apa yang membedakan manusia dengan kecerdasan buatan tersebut?
Pertanyaan tersebut sungguh retoris dan praktis untuk dijawab. Maka itu saya menggunakan 3 pandangan. Yang di antara duanya memang berhubungan. Lalu yang di satunya lagi, ialah pembanding agar nampak perbedaan. Eksistensialisme itu didukung humanisme. Utilitarianisme? Akan menghambat keduanya.
Jika eksistensialisme adalah pandangan yang "rebel" dan menuntut kemanusiaan (humanisme), utilitarianisme ialah yang menetralkan agar tidak adanya kebebasan. Yakni "kebebasan" di sini tentu dimaksudkan kepada sesuatu yang "rebellious" menyelaraskan dari hal yang sebelumnya. Utilitarianisme harus bermanfaat, tanpa menimbulkan kerugian.
Paradoks? Tidak. Semua telah terjawab. Maka saya akan kembali menarik kesimpulan praktis melalui penjabaran berikut.
UTILITARIANISME
Apakah utilitarianisme berperan mengontrol dunia agar tidak terjadi kekacauan akibat eksistensialisme (yang didukung humanisme)?
Ya, sungguh berperan.
Kalau kita melihat di atas, saya sudah menuliskan banyak pandangan Nietzsche dalam novel dan menjabarkannya satu-satu.
Di sini, saya akan lanjut menganalisis,
Mengapa kecerdasan buatan yang dibentuk untuk "memenuhi kebutuhan" justru ingin dibantai oleh Rick melalui Skala VoightKampff?
Sebenarnya, saya hanya akan menganalisisnya melalui konsep sederhana.
Jawabannya tentu, sebab Nietzsche memang tidak suka utilitarianisme dan menentang utilitarianisme.
Lantas, penulis Do Androids Dream of Electric Sheep? ingin membentuk konsep tersebut ke dalam novelnya, atau dalam konsep lain ialah semacam chaos and order.
Utilitarianisme, sebagai prinsip moral yang berlandaskan pada pencapaian kebahagiaan terbesar: berfungsi sebagai alat kontrol sosial untuk membendung potensi chaos yang mungkin muncul dari pandangan eksistensialisme dan humanisme. Dalam konteks pemikiran Nietzsche, ada yang namanya "altruisme" sehingga demikianlah yang terjadi.
Apa itu altruisme (bentuk yang menjabarkan predikat nominal /; ialah yang predikatnya berupa kata benda/)? Altruisme dapat disebut sebagai atribut dari altruistik. Maka, ialah sebuah atribut dari kata benda (dalam konsep kebahasaan).
Untuk mengaplikasikannya menjadi sebuah kalimat, artinya diperbolehkan jika mengubah rumus tersebut menjadi kalimat:
Altruisme adalah ketika melakukan tindakan altruistik.
Kata "tindakan" berfungsi sebagai "kata benda" yang kemudian "altruistik" ialah atributnya.
Tindakan altruistik yang mendasari utilitarianisme dapat dilihat sebagai upaya untuk memaksakan tatanan yang terorganisasi pada dunia yang penuh dengan potensi kekacauan, dengan mengorbankan individualitas dan kebebasan yang menjadi ciri utama eksistensialisme. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa utilitarianisme memang berperan dalam mengontrol dunia agar tidak terjadi kekacauan akibat eksistensialisme.
Nietzsche sendiri, meskipun kritis terhadap moralitas yang didasarkan pada altruisme, tidak memungkiri bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mencari tatanan dalam kehidupan. Utilitarianisme, yang mendasarkan kebijakannya pada nilai-nilai kolektif, mengarahkan masyarakat pada pemikiran praktis di mana tindakan individu diukur berdasarkan manfaatnya bagi kelompok yang lebih besar. Dalam pemikiran Nietzsche, ini bisa dilihat sebagai bentuk "moralitas budak"—sebuah upaya untuk menekan will to power individu demi memprioritaskan stabilitas sosial. Altruistik dalam utilitarianisme, oleh karena itu, berfungsi untuk menjaga dunia dari potensi destruktif eksistensialisme yang merayakan kebebasan mutlak dan pemberontakan terhadap norma.
Eksistensialisme, terutama dalam bentuknya yang radikal, menekankan kebebasan individu untuk menciptakan nilai-nilainya sendiri tanpa terikat oleh aturan yang telah ada. Dari perspektif Nietzsche, ini adalah langkah menuju Übermensch—manusia yang melampaui batas-batas moralitas tradisional dan menciptakan dunianya sendiri. Namun, kebebasan semacam ini, jika tidak dikontrol, dapat menciptakan kekacauan dalam tatanan sosial, yang sering kali diatur oleh nilai-nilai utilitarian. Dalam konteks ini, utilitarianisme berfungsi sebagai rem yang membatasi potensi destruktif dari kebebasan individu dengan menuntut pengorbanan diri untuk kesejahteraan kolektif.
Tindakan altruistik dalam utilitarianisme, meskipun terlihat sebagai bentuk pengorbanan individual, sebenarnya adalah mekanisme kontrol yang menanamkan nilai stabilitas dalam masyarakat. Nietzsche mungkin melihat ini sebagai bentuk perlawanan terhadap will to power, tetapi pada saat yang sama, ia tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat membutuhkan tatanan agar tidak jatuh ke dalam anarki. Utilitarianisme, dengan mendorong tindakan yang bermanfaat secara kolektif, menciptakan struktur yang menekan potensi chaos akibat pemberontakan eksistensial terhadap norma yang mapan.
Dalam novel Do Androids Dream of Electric Sheep? prinsip utilitarianisme tampak jelas dalam penciptaan android dan hewan elektrik yang bertujuan untuk menggantikan fungsi-fungsi alami yang hilang akibat perang nuklir. Keberadaan android sebagai "alat" yang melayani manusia adalah manifestasi dari tindakan altruistik yang dirancang untuk menjaga kelangsungan hidup dan keseimbangan sosial. Android yang mulai menunjukkan keinginan untuk bebas mencerminkan ketegangan antara kontrol utilitarian dan kebebasan eksistensial. Dalam hal ini, utilitarianisme berperan untuk memastikan bahwa dunia tidak jatuh ke dalam kekacauan dengan menekankan pentingnya manfaat kolektif dibandingkan kebebasan individual android.
Akhirnya pemahaman inilah yang membentuk Nietzsche untuk berpikiran bahwa walau utilitarianisme mungkin membatasi potensi individu untuk melampaui nilai-nilai tradisional, ia punya peran agar punya sistem kontrol dunia terhadap kekacauan yang disebabkan oleh eksistensialisme. Tindakan altruistik diusung oleh utilitarianisme adalah stabilitas guna menciptakan dunia yang dianggap sempurna (bahagia), bahkan jika itu berarti mengorbankan kebebasan individu.
KIAN,
Sejauh ini kesimpulan saya tetap sama. Meskipun saya tak bisa memberikan saran terhadap masalah ini selain ... mengikuti aturan yang berlaku. Anggap saja itu sudah bentuk paling "sempurna" dari penyelesaian masalah antara pihak "pembangkang" atau "penjilat". Saya lebih setuju untuk menyebut bahwa utilitarianisme sebenernya justru dapat menjadi solusi. Kelemahannya cuma satu. Android dibikin seperti tidak dihormati di sini. Maka yang perlu dilakukan ialah mengkaji ulang antara hak dan kewajiban, supaya semuanya sama rata. Jika benar android memang termasuk ke dalam subjek hukum itu sendiri, diperjualbelikan, diperdagangkan, lantas dianggap "sah" dapat dideteksi oleh skala kuantitatif, juga ada yang bilang bahwa android digunakan untuk memakmurkan pasca kehancuran, saya justru akan bertanya mengapa tidak ada aturan yang melindunginya?
Hanya saja karena tokoh Rick yang dijauhi, terkesan utilitarianisme adalah penghambat keinginan manusia (tentu karena ia ingin membuat batasan tersebut kabur; sebab ia mempertanyakannya sendiri sepulang dari Mars). Saya ingin berikan "kesan" yang agak judgemental bahwa Rick itu hampir sama dengan tokoh pujaan remaja. Sebelas dua belas sama antagonis yang akan diberi label "anti-villain" senyampang menggrosir kata "Hak Asasi Manusia" di setiap langkahnya.
Novel Do Androids Dream of Electric Sheep? adalah medium bagi Philip K. Dick untuk menunjukkan paradoks antara kebebasan dan aturan. Rick Deckard itu kelinci percobaan bagi Dick. Kita diajak melihat bahwa tanpa aturan, dunia hanyalah arena "chaos" yang melahirkan kehancuran. Kehendak untuk bebas (will to power) yang dianut manusia dalam filsafat Nietzsche dihadapkan pada batasan utilitarianisme, yang pada akhirnya memaksa kita untuk bertanya: jika manusia kehilangan kebebasan dalam aturan yang terlalu ketat, apakah mereka masih manusia?
Lebih objektifnya, boleh jadi dikatakan bahwa,
ANOMIE. []
Banyak sekali aturan yang rumpang. Saya bilang di paragraf sebelumnya bahwa belum ada definisi yang jelas antara hak dan kewajiban dari kecerdasan buatan. Kalau di sebelumnya, di dalam novelnya, sering dikatakan bahwa tampak tidak ada perbedaan emosi antara kecerdasan buatan dan manusia, artinya masih belum ada definisi yang jelas antara empati dari keduanya.
Dilema oleh pertanyaan semacam "Siapa yang manusia dan siapa yang bukan?" adalah konyol ketika sudah menyandingkan ketiga konsep. Eksistensialisme, humanisme, dan di sampingnya pula menggunakan utilitarianisme sebagai pembanding (konsep chaos and order).
Masih banyak hal yang harus dikritik. Terutama "Jika kehilangan kebebasan terlalu ketat, apakah bukan manusia?" banyak proses yang akan menghasilkan output demikian. Kehilangan kebebasan dapat didefinisikan sebagai ketidakbebasan. Lalu ini sudah dijawab, sebenarnya.
Tidak semua yang kehilangan kebebasan itu kecerdasan buatan. Sebab Skala VoightKampff tidak hanya mengkaji melalui "bebas" atau "tidak bebas" tidak juga lalu mengkaji hanya melalui angka. Skala VoightKampff nyatanya telah mengkaji ulang: "Manusia atau kecerdasan buatan?" melalui gejala yang bisa ditangkap panca indra. Yakni melalui pembuluh serta syaraf pada mata. Ketika bereaksi jijik misalnya, syaraf akan memegang. Begitu juga sebaliknya.
Sejauh ini, kritik saya tetap hanya satu. Jika ada batasan yang jelas, semua tidak akan dipertanyakan sejauh ini. Namun kritik yang saya sampaikan, paradoksnya malah satu alur dengan tujuan Philip sendiri. Yang di mana, ia sengaja agar pembaca mempertanyakan moralnya sendiri. Justru, melalui kritik ini, yang harusnya kembali di kritik ialah tulisan saya. Do Androids Dream of Electric Sheep? susah dikritik. Karena memang benar tujuannya adalah membuat kabur. Tetapi beda lagi kalau yang dilihat adalah di sisi "membuat kabur"nya, ya bisa-bisa saja. Sebab output-nya memang ada dua. Yakni, "mendukung" pernyataan "membuat kabur" tersebut atau "menolak" pernyataan "membuat kabur" tersebut. Tetapi jelas, pasti ada nampak perbedaan. Karena jika ada batasan yang jelas, kecerdasan buatan masih sah-sah saja.
Jadi itulah keuntungannya wilayah yang dikategorikan sebagai anomie. Akan sulit diberi kritik sebab ketiadaan aturan, membuat semuanya jadi kabur, kacau, distopia. Itu memang tujuannya. Kekosongan kekuasaan itu pasti nampak jelas pada tatanan hukumnya. Tidak ada aturan yang mengatur, lantas pembaca pasti akan berpikir kembali itu salah atau benar. Wajar atau tidak.
Tetapi karena ada Skala VoightKampff, ada koefisiennya pula, di samping itu terdapat anomie. Maka seperti di sub-bab lain, saya katakan bahwa dalam novel ini masih terdapat bagian yang rumpang. Di situlah sebab kritik saya hadir.
Bisakah mesin bermimpi? Apakah yang mereka mimpikan?
Itu adalah pertanyaan yang saya ajukan di awal. Tentu saya tidak akan menulis sebanyak ini tanpa menjawab hal-hal yang sebelumnya dipertanyakan.
Jadi untuk menjawab "Bisakah mesin bermimpi?" tentu berkaitan dengan will to power seperti penjabaran di atas. Mesin dapat bermimpi. Mesin dalam Do Androids Dream of Electric Sheep? memimpikan keinginan untuk terbebas. Menjalankan hal berdasarkan hasratnya tanpa terbelenggu Skala VoightKampff.
Do Androids Dream of Electric Sheep?
Iya. Android memimpikan domba elektrik. Domba yang tidak bebas. Dalam kata lain, jawaban tetap sama. Iya, benar, android dan kecerdasan buatan lainnya selalu memimpikan kebebasan. Atau pula di sisi lain mereka memimpikan untuk mendominasi manusia, membodoh-bodohi. Sama seperti yang dialami domba elektrik dalam novel, tersiksa, terbelenggu, menggonggong.
Case closed. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H