Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna
Siapa itu Robert Klitgaard dan Jack Bologna?
Sebelum kita bahas mengenai teorinya, yuk kita perkenalan dulu siapa sih Robert Klitgaard dan Jack Bologna itu?
Robert Klitgaard
Robert Klitgaard adalah seorang akademisi Amerika  di bidang ekonomi pembangunan dan kebijakan publik, khususnya dalam kajian korupsi, tata kelola pemerintahan, dan reformasi institusi. Robert Klitgaard dikenal sebagai salah satu pakar yang berkontribusi pada pemahaman teoretis mengenai korupsi melalui pendekatan matematis sederhana yang merumuskan hubungan antara monopoli, diskresi, dan akuntabilitas dalam penyebab korupsi.Â
Ia telah mengajar di berbagai universitas terkemuka, termasuk Harvard University dan Yale University. Klitgaard juga pernah menjabat sebagai presiden di Claremont Graduate University, sebuah universitas yang berfokus pada kebijakan publik dan penelitian interdisipliner. Selain di dunia akademik, ia juga aktif sebagai konsultan pemerintahan dan organisasi Internasional seperti Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Â
Salah satu buku karangan Robert Klitgaard adalah "Contolling Coruption" (1988)Â dan terkenal dengan teori CDMA nya. Klitgaard tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan solusi yang bersifat sistemik, seperti penguatan transparansi, reformasi kelembagaan, dan peningkatan kapasitas akuntabilitas.Â
Jack Bologna
Jack Peter Bologna (1755-1846) atau ysng dikenal dengan Jack Bologna merupakan seorang aktor dan penari Italia, yang menghabiskan banyak waktu di Inggris memopulerkan peran Harlequin dalam pantomim dan harlequinade Georgia pada awal tahun 1800-an di Sadler's Wells dan Covent Garden Theatres . Â
Jack Bologna juga merupakan seorang penulis dan ahli di bidang keuangan, khususnya yang berkaitan dengan penipuan (fraud). Ia dikenal sebagai pakar dalam pencegahan, pendeteksian, dan investigasi penipuan, serta telah menulis sejumlah buku dan artikel yang menjadi referensi penting bagi para profesional di bidang akuntansi, keuangan, dan hukum.
Salah satu buku karangan Jack Bologna yang terkenal adalah "Handbook of Corporate Fraud Prevention". Jack Bologna juga  berfokus pada pencegahan melalui penguatan sistem pengendalian internal, pelatihan karyawan, dan penggunaan teknologi untuk memonitor aktivitas yang mencurigakan. Ia juga membahas pentingnya etika dalam bisnis sebagai salah satu alat untuk mengurangi risiko penipuan.Â
Karya Jack Bologna sangat penting untuk membantu organisasi memahami risiko penipuan, memberikan strategi untuk mencegah, mendeteksi, dan menangani penipuan. serta membangun sistem akuntansi forensik yang lebih efektif.
Apa Saja Penyebab Korupsi Menurut Teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna?
Menurut teori Robert Klitgaard, korupsi dapat dijelaskan dengan rumus berikut ini:Â
C = D + M - A
Keterangan:
C = Corruption (Korupsi)
D = Dictionary (Diskresi/Keleluasaan)
M = Monopoly (Monopoli)
A = Acountability (Auntabilitas)
Yang dimaksud adalah
- Korupsi
Korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, contohnya dengan cara melanggar etika atau hukum. Rumus ini menunjukkan bahwa korupsi bisa diukur berdasarkan tiga faktor utama: Monopoli, Diskresi, dan Akuntabilitas.
- Diskresi
Hal ini merujuk pada keleluasaan yang dimiliki pejabat dalam membuat keputusan tanpa pengawasan ketat. Tingkat diskresi yang tinggi tanpa batasan atau pedoman yang jelas dapat membuka peluang untuk penyalahgunaan jabatan. contohnya seperti  kebijakan yang sengaja dibuat dengan tidak transparan.
- Monopoli
Jika satu pihak atau individu memiliki kontrol penuh atas suatu sumber daya atau layanan (monopoli), maka peluang untuk korupsi menjadi lebih besar. Contohnya ketika suatu perusahaan memiliki hak eksklusif untuk menambang sumber daya alam tanpa persaingan, maka kemungkinan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih tinggi.
- Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah mekanisme untuk mempertanggungjawabkan tindakan seseorang kepada publik atau atasan. Ketika mekanisme pengawasan lemah atau hukuman bagi pelaku korupsi rendah, pelaku korupsi akan merasa aman untuk melakukan tindakan ilegal.Â
Teori Klitgaard ini banyak digunakan untuk menganalisis kelemahan dalam tata kelola pemerintahan, organisasi, atau perusahaan. Pengelolaan yang baik harus dapat meminimalkan monopoli, membatasi diskresi, dan meningkatkan akuntabilitas agar dapat meminimalisir terjadinya korupsi.
Berdasarkan teori ini, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu:
1) Membatasi Diskresi
Salah satu cara nya adalah dengan membatasi dikresi, misalnya seperti menetapkan aturan yang jelas dan transparan dalam pengambilan keputusan dan  memastikan bahwa semua keputusan yang diambil sudah berdasarkan prosedur yang jujur dan adil.
2) Â Mengurangi Monopoli
Cara yang kedua yaitu dengan mengurangi adanya monopoli, misalnya seperti dengan meningkatkan persaingan dalam sektor layanan publik serta harus memastikan tidak ada aktor atau pemimpin tunggal yang mengendalikan sumber daya penting.
3) Meningkatkan Akuntabilitas
Terakhir, yaitu dengan cara meningkatkan akuntabilitas, misalnya seperti membentuk pengawasan sistem yng efisien dan efektif, mengajak masyarakat ikut serta dalam memantau kebijkan dari pemerintah, serta memberikan hukuman yang tegas dan seadil-adilnya bagi pelaku korupsi, karena telah merugikan banyak orang.
Maka dapat disimpulkan bahwa menurut seorang Robert Klitgaard, dalam hal Smengurangi korupsi, diperlukan langkah-langkah yang mengurangi monopoli dan diskresi serta meningkatkan akuntabilitas. Dengan kata lain, menciptakan transparansi, memperbaiki pengawasan, dan meningkatkan sistem pertanggungjawaban merupakan langkah penting dalam pemberantasan korupsi.Â
Jika sebelumnya ada teori CDMA yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard,  maka berikut ini adalah teori GONE yang dikemukakan oleh Jack Bologna. di mana:
G = Greed (Keserakahan)
O = Opportunity (Kesempatan)
N = Need (Butuh)
E = Exposure (Paparan)
Maksudnya ialah
- Greed (Keserakahan)
Keserakahan dalam konteks ini merujuk pada dorongan internal yang membuat seseorang ingin memiliki lebih banyak uang, kekuasaan, atau keuntungan pribadi, yang sering kali menginginkan melebihi kebutuhan dasar mereka. Orang yang didominasi keserakahan cenderung memanfaatkan celah dalam sistem untuk keuntungan mereka sendiri.Â
- Opportunity (Kesempatan)
Kesempatan muncul ketika sistem pengawasan atau kontrol lemah, sehingga memungkinkan seseorang melakukan korupsi tanpa risiko besar. Faktor ini mencakup kelonggaran aturan, kurangnya akuntabilitas, dan lemahnya penegakan hukum.Â
- Need (Kebutuhan)
Dalam hal ini, kebutuhan mencakup kondisi ekonomi, tekanan sosial, atau kebutuhan mendesak yang membuat seseorang merasa harus melakukan korupsi. Misalnya, kebutuhan untuk melunasi utang, menafkahi keluarga, atau mempertahankan status sosial.Â
- Exposure (Paparan)
Maksudnya yaitu bahwa paparan berkaitan dengan seberapa besar tindakan korupsi seseorang dapat diketahui oleh pihak lain. Semakin kecil risiko paparan, seperti lemahnya transparansi atau sistem pelaporan, maka semakin besar pula peluang korupsi terjadi.Â
Teori ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah individual, tetapi juga hasil dari kombinasi tekanan pribadi (need, greed) dan kelemahan sistem (opportunity, exposure). Jika keempat faktor ini terpenuhi dalam suatu situasi, maka korupsi memiliki kemungkinan besar untuk terjadi.Â
Berdasarkan teori ini, kita tahu bahwa korupsi dapat terjadi karena adanya keinginan dari diri sendiri atau dari faktor internal. Sehingga dapat diatasi hanya apabila memiliki kesadaran dari dalam diri untuk tidak melakukan perbuatan jahat atau melanggar aturan seperti korupsi. Namun, berikut ada beberapa cara terkait dengan teori GONE diatas:
1) Mengurangi sifat Keserakahan
Yang pertama yaitu dengan mengurangi sifat serakah, hal ini dapat dilakukan misalnya dengan pelaihan tentang pentingnya integritas dan etika dalam kehidupan profesional dan pribadi, menciptakan budaya anti korupsi yang menekankan kejujuran dan bertanggungjawab, serta memberikan penghargaan atau reward kepada karyawan berdasarkan prestasi untuk mengurangi hasrat akan keuntungan yang ilegal.
2) Mengabaikan Kesempatan
Cara yang kedua yaitu dengan mengabaikan segala kesempatan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran. Contohnya seperti menerapkan pengawasan ketat terhadap sistem keuangan dan operasional organisasi, seperti audit rutin oleh pihak independen, dan memastikan adanya pemisahan tugas (segregation of duties) dan prosedur kerja yang jelas untuk mengurangi celah dalam pengambilan keputusan. Â Â
3) Melengkapi Kebutuhan
berikutnya adalah dengan mengusahakan untuk melengkapi atau memenuhi segala kebutuhan yang dibutuhkan. Misalnya seperti memberikan gaji yang layak dan fasilitas yang mencukupi bagi pegawai agar mereka tidak tergoda untuk memenuhi kebutuhan finansial melalui korupsi, kemudian menyediakan akses ke bantuan finansial atau program pinjaman darurat resmi untuk pegawai yang menghadapi tekanan ekonomi.
4) Meningkatkan Resiko Paparan
Cara yang terakhir, yaitu dengan meningkatkan adanya resiko paparan seperti menerapkan transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa, pelaporan anggaran, serta pengambilan keputusan, dan membuat sistem pelaporan rahasia bagi karyawan atau masyarakat untuk melaporkan aktivitas mencurigakan tanpa takut akan pembalasan serta memberikan hukuman yang adil, tegas, dan sesuai hukum kepada pelaku korupsi untuk menciptakan efek jera dan tidak mengulangi tindak pidana yang sama.
Mengapa 2 Teori Ini Penting Bagi Kehidupan Sehari-Hari?
Teori CMDA
1) Mengidentifikasi dan Mengurangi Korupsi
Dalam kehidupan sehari-hari, korupsi bisa terjadi dalam banyak konteks---baik di pemerintahan, bisnis, bahkan dalam interaksi sosial. Teori CMDA membantu kita mengidentifikasi tiga faktor utama yang dapat memfasilitasi terjadinya korupsi: monopoli, diskresi, dan kurangnya akuntabilitas. Dengan memahami ini, kita dapat bekerja untuk mengurangi monopoli dalam berbagai sektor, membatasi diskresi yang tidak terkontrol, dan memastikan akuntabilitas dalam keputusan-keputusan penting.Â
2) Meningkatkan Transparansi dan Keadilan
Misalnya, dalam pemerintahan atau perusahaan, teori ini membantu mengarahkan kebijakan untuk menciptakan transparansi dan mengurangi peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan. Ketika ada sistem pengawasan yang baik dan aturan yang jelas, ini membantu mencegah terjadinya korupsi.Â
3) Mendorong Reformasi Sistemik
Pada level yang lebih luas, teori ini membantu masyarakat dan negara untuk merancang kebijakan yang lebih baik dan sistem yang lebih transparan. Hal ini sangat penting dalam pemerintahan yang berfungsi untuk melayani rakyat secara adil.Â
- Teori GONE
1) Pemahaman tentang Penyebab Penipuan dan Korupsi
Teori GONE menjelaskan empat faktor utama yang dapat memicu penipuan dan tindakan tidak etis: keinginan (greed) untuk mendapatkan lebih banyak, kesempatan (opportunity) untuk melakukan penipuan, kebutuhan (need) yang mendesak atau tekanan finansial, dan paparan (exposure) atau kesempatan untuk tindakan tersebut diketahui oleh orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali melihat bagaimana faktor-faktor ini berperan dalam keputusan seseorang untuk melakukan penipuan atau korupsi.
2) Mengurangi Risiko Penipuan
Dengan memahami teori GONE, individu dan organisasi dapat mengidentifikasi kondisi yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan atau penipuan, seperti peluang yang tidak diawasi atau kebutuhan finansial yang mendesak. Ini dapat digunakan untuk mengatur kontrol internal yang lebih baik, misalnya dengan memperkecil kesempatan orang untuk menyalahgunakan wewenang atau membuat kebijakan yang mengurangi kebutuhan ekonomi yang memaksa orang untuk mengambil jalan pintas.Â
3) Meningkatkan Keamanan dan Kepercayaan
Dalam dunia bisnis atau bahkan dalam hubungan personal, kesadaran terhadap teori GONE dapat membantu kita menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil, di mana orang merasa terdorong untuk berperilaku dengan integritas dan tidak tergoda oleh iming-iming keuntungan cepat. Â
Teori CMDA dan GONE memberi kita kerangka berpikir untuk memahami dan mengurangi praktik-praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penipuan dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya tidak hanya relevan dalam konteks pemerintahan atau organisasi besar, tetapi juga dapat diterapkan dalam interaksi sosial dan keputusan-keputusan yang kita buat sehari-hari. Dengan menggunakan prinsip-prinsip dari kedua teori ini, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih adil, transparan, dan bertanggung jawab.Â
Bagaimana Contoh Kasus Yang Menggambarkan Dua Teori Ini?
Kali ini saya mengambil contoh kasus korupsi pada tahun 2017 lalu, dimana kasus ini termasuk dalam kategori kasus korupsi yang cukup menggemparkan pada saat itu. Tentu itu adalah kasus korupsi Setya Novanto. Kasus ini tentu saja sudah tidak asing lagi, terutama bagi masyarakat Indonesia karena banyak nya "drama" dalam kasus penangkapan pelaku korupsi.
Setya Novanto adalah seorang politisi Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar. Ia dikenal sebagai tokoh berpengaruh di dunia politik, tetapi juga kontroversial karena berbagai kasus yang melibatkan dirinya, terutama kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP).Â
Kasus ini berawal dari tanggal 17 Juli 2017, dimana KPK pertama kali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus korupsi atas pengadaan e-KTP tahun 2011-2012.Tindakan ini melanggar Pasal 2 Â ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Setya Novanto diduga telah menyalahgunakan wewenang dan merugikan negara sebesar 2,3 triliun dalam pengaturan anggaran proyek e-KTP senilai 5,9 triliun. Setya Novanto sendiri merupakan tersangka keempat dalam kasus ini yang ditetapkan oleh KPK.
Namun setelah sebulan menjadi tersangka, pada tanggal 4 September 2017, Setya Novanto justru mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Setya Novanto meminta status tersangkanya untuk dibatalkan. Hingga pada 11 September, KPK memanggil Novanto untuk menjalani pemeriksaan perdana, namun ia tidak hadir dengan alasan sedang dirawat di RS Siloam Semanggi.Â
Kemudian panggilan kedua diberikan kembali oleh KPK kepada Novanto pada tanggal 18 September 2017, namun ia kembali tidak memnuhi panggilan tersebut dengan alasan yang sama, yaitu sakit. Pada saat itu, dikabarkan bahwa beliau sedang mejalani kateterisasi jantung di RS Premier Jatinegara Jakarta Timur.
Hingga pada 29 September 2017, setelah menjalani serangkaian sidang praperadilan, yang pada saat itu Hakim tunggal yang ditunjuk adalah Hakim  Chepi Iskandar memutuskan untuk mengabulkan permintaan Setya Novanto. penetapan KPK terhadap Setya Novanto sebagai tersangka dianggap tidak sah dan meminta agar KPK menghentikan penyelidikan terhadap Novanto.
Namun KPK tidak  berhenti sampai disitu saja, pada 10 November 2017, KPK dengan hati-hati kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Menurut KPK penetapan tersangka Setya Novanto telah melalui proses penyelidikan dan bukti yang cukup. Namun Setya Novanto kembali melayangkan gugatan praperadilan di Pengadilan Jakarta Selatan pada 15 November 2017. Tapi dihari yang sama, tim KPK mendatangi rumah Setya Novanto di Jakarta Selatan dengan membawa surat penangkapan karena Novanto lagi-lagi tidak hadir dalam persidangan sebagai tersangka. Namun pada saat itu, Setya Novanto tidak ditemukan dikediamannya.
Beberapa saat kemudian, Setya Novanto kembali dengan dramanya, yaitu mengalami kecelakaan di kawasan Permata Berlian, Jakarta Selatan dan dilarikan ke RS Medica Permata Hijau, sebelum akhirnya dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo. Â Pada tanggal 19 November 2017, Setya Novanto resmi dipindahkan ke rumah tahanan KPK.
Kemudian pada tanggal 30 November 2017, Pengadilan Jakarta Selatan akhirnya melakukan sidang praperadilan perdana Setya Novanto. Namun kali ini, pihak dari KPK tidak datang, karna alasan masih butuh waktu untuk melengkapi administrasi.Â
Hingga akhirnya, setelah melalui proses yang sangat panjang, pada 24 April 2018 Setya Novanto dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia divonis 15 tahun penjara, denda sebesar Rp 500 juta, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta atas keterlibatannya dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Vonis ini diberikan setelah serangkaian sidang yang membuktikan keterlibatannya dalam skandal yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Hingga sekarang, Setya Novanto masih menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Lapas ini dikenal sebagai tempat penahanan bagi sejumlah narapidana kasus korupsi di Indonesia.Â
Namun, meskipun sudah menjalani hukuman kasus Setya Novanto juga masih saja menjadi sorotan karena adanya dugaan fasilitas istimewa bagi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin. Terbukti ketika Najwa Shihab berkunjung ke tempat Setya Novanto, semua seakan-akan sudah dipersiapkan dan melihat dari penjara nya yang mempunyai fasilitas lengkap. Hal ini sempat memicu kritik terhadap sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Bagaimana keterkaitan kasus tersebut dengan teori CDMA dan teori GONE?
Teori GONE:
1) Greed
Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa seorang Setya Novanto didorong oleh sifat serakah, dimana ia memanfaatkan keadaan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang besar melalui proyek e-KTP
2) Opportunity
Hal ini juga merupakan pendorong utama, dimana yang kita tahu Setya Novanto memiliki jabatan sebagai Ketua DPR, sehingga ia memanfaatkan kesempatan yang ada dan dengan mudah memberi akses dan pengaruh untuk mengontrol proyek e-KTP tersebut.
3) Need
Dari kasus ini kita mengetahui bahwa Setya Novanto melakukan tindak pidana korupsi kemunngkinan karena adanya kebutuhan untuk menjaga kekuasaannya atau juga untuk memperkuat jaringan.
4) Exposure
Kita tahu bahwa sistem pengawasan dan keadilan dalam kasus korupsi di negara kita ini masih sangat lemah. Sehingga membuat tindakan korupsi yang dilakukan oleh Setya Novanto ini berlangsung sangat lama sebelum terungkap. Bhakan sesudah terungkap pun, masih harus melalui banyak drama.
- Teori CDMA:
1) Corruption
Kasus ini sudah jelas merupakan kasus korupsi proyek e-KTP yang dimana Setya Novanto telah menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya demi memenuhi keuntungan pribadi, dan merugikan banyak orang.
2) Discretion
Kasus ini kita tahu bahwa Setya Novanto memiliki jabatan sebagai Ketua DPR sehingga membuktikan bahwa Setya Novanto mungkin memiliki kebebasan dalam membuat keputusan sehingga ia bebas dalam bertindak dan melakukan kegiatan yang menguntungkan dirinya sendiri.
3) Monopoly
Dengan memiliki jabatan tinggi, maka kemungkinan besar ia memiliki kontrol penuh atas suatu layanan, sehingga Setya Novanto memiliki peluan bessar untuk melakukan tindak pidana korupsi.
4) Accountability
Akibat dari perbuatan nya, Setya Novanto akhirnya diberikan hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dengan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara serta membayar denda dan ganti rugi atas apa yang telah dilakukan dengan mengambil yang bukan hak miliknya. Ini mencerminkan penegakan akuntabilitas dalam hukum pidana.
Intinya, yang dapat kita lihat dari adanya kasus ini, yaitu bahwa Setya Novanto yang merupakan terpidana kasus korupsi telah melakukan kesalahan fatal dengan melakukan tindak pidana degan mengambil hak masyarakat yang pastinya hal ini dapat didorong oleh faktor internal seperti sifat dari keserakahannya, serta faktor eksternal dimana dia mempunyai jabatan yang tinggi, serta lemahnya pengawasan negara yang memungkinkan tindakannya berlangsung lama  sehingga dapat memanfaatkan kesempatan untuk melakukan korupsi.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat saya ambil, yaitu bahwa teori dari Robert  klitgaard dan teori dari Jack Bologna ini benar adanya dalam kehidupan nyata, contohnya dalam kasus yang saya ambil, dimana apabila tindakan korupsi atau mencuri dan mengambil hak yang bukan milik kita dapat didorong oleh banyak faktor baik dorongan dari faktor internal (dalam) atau faktor eksternal (luar). Ini tergantung kepada diri kita sendiri apakah kita dapat menahan atau malah menuruti nafsu untuk membuat kejahatan seperti korupsi. Karena setiap perlakuan tindak pidana atau yang melanggar hukum dan aturan yang berlaku pasti akan mendapatkan hukuman cepat atau lambat. sebab ada hukum tabur tuai, karena apa yang kamu tabur, akan kamu tuai kembali.
Referensi
1) Â Klitgaard, Robert. (1988). Controlling Corruption. Berkeley: University of California Press.Â
2) Wikipedia. (2020). Robert Klitgaard
(https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Klitgaard)
3) Wikipedia. (2018). Jack Bologna
(https://en.wikipedia.org/wiki/Jack_Bologna)
4) YouTube. (2018). Drama Setya Novanto di Kasus KTP Elektronik:KOMPASTV
(https://www.youtube.com/watch?v=4-4dMCWuOqQ)
5)Â Bologna, J. (1984). Corporate Fraud: The Executive's Guide to Internal Auditing and Management Control.Â
6) ACFE (Association of Certified Fraud Examiners) - Fraud Triangle Model
7) Â Jurnal.(2023) https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JAK/article/view/38847
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H