Mohon tunggu...
Arta Yenta Harefa
Arta Yenta Harefa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana/ NIM (43223010204)

Mahasiswa Sarjana S1-Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kuis 4 - Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Inodnesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna

21 November 2024   13:05 Diperbarui: 21 November 2024   13:05 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri, Prof. Apollo UMB

Hingga pada 29 September 2017, setelah menjalani serangkaian sidang praperadilan, yang pada saat itu Hakim tunggal yang ditunjuk adalah Hakim  Chepi Iskandar memutuskan untuk mengabulkan permintaan Setya Novanto. penetapan KPK terhadap Setya Novanto sebagai tersangka dianggap tidak sah dan meminta agar KPK menghentikan penyelidikan terhadap Novanto.

Namun KPK tidak  berhenti sampai disitu saja, pada 10 November 2017, KPK dengan hati-hati kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Menurut KPK penetapan tersangka Setya Novanto telah melalui proses penyelidikan dan bukti yang cukup. Namun Setya Novanto kembali melayangkan gugatan praperadilan di Pengadilan Jakarta Selatan pada 15 November 2017. Tapi dihari yang sama, tim KPK mendatangi rumah Setya Novanto di Jakarta Selatan dengan membawa surat penangkapan karena Novanto lagi-lagi tidak hadir dalam persidangan sebagai tersangka. Namun pada saat itu, Setya Novanto tidak ditemukan dikediamannya.

Beberapa saat kemudian, Setya Novanto kembali dengan dramanya, yaitu mengalami kecelakaan di kawasan Permata Berlian, Jakarta Selatan dan dilarikan ke RS Medica Permata Hijau, sebelum akhirnya dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo.  Pada tanggal 19 November 2017, Setya Novanto resmi dipindahkan ke rumah tahanan KPK.

Kemudian pada tanggal 30 November 2017, Pengadilan Jakarta Selatan akhirnya melakukan sidang praperadilan perdana Setya Novanto. Namun kali ini, pihak dari KPK tidak datang, karna alasan masih butuh waktu untuk melengkapi administrasi. 

Hingga akhirnya, setelah melalui proses yang sangat panjang, pada 24 April 2018 Setya Novanto dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia divonis 15 tahun penjara, denda sebesar Rp 500 juta, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta atas keterlibatannya dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Vonis ini diberikan setelah serangkaian sidang yang membuktikan keterlibatannya dalam skandal yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

Hingga sekarang, Setya Novanto masih menjalani hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Lapas ini dikenal sebagai tempat penahanan bagi sejumlah narapidana kasus korupsi di Indonesia. 

Namun, meskipun sudah menjalani hukuman kasus Setya Novanto juga masih saja menjadi sorotan karena adanya dugaan fasilitas istimewa bagi narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin. Terbukti ketika Najwa Shihab berkunjung ke tempat Setya Novanto, semua seakan-akan sudah dipersiapkan dan melihat dari penjara nya yang mempunyai fasilitas lengkap. Hal ini sempat memicu kritik terhadap sistem pemasyarakatan di Indonesia.

Bagaimana keterkaitan kasus tersebut dengan teori CDMA dan teori GONE?

  • Teori GONE:

1) Greed

Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa seorang Setya Novanto didorong oleh sifat serakah, dimana ia memanfaatkan keadaan untuk memperoleh keuntungan pribadi yang besar melalui proyek e-KTP

2) Opportunity

Hal ini juga merupakan pendorong utama, dimana yang kita tahu Setya Novanto memiliki jabatan sebagai Ketua DPR, sehingga ia memanfaatkan kesempatan yang ada dan dengan mudah memberi akses dan pengaruh untuk mengontrol proyek e-KTP tersebut.

3) Need

Dari kasus ini kita mengetahui bahwa Setya Novanto melakukan tindak pidana korupsi kemunngkinan karena adanya kebutuhan untuk menjaga kekuasaannya atau juga untuk memperkuat jaringan.

4) Exposure

Kita tahu bahwa sistem pengawasan dan keadilan dalam kasus korupsi di negara kita ini masih sangat lemah. Sehingga membuat tindakan korupsi yang dilakukan oleh Setya Novanto ini berlangsung sangat lama sebelum terungkap. Bhakan sesudah terungkap pun, masih harus melalui banyak drama.

  • Teori CDMA:

1) Corruption

Kasus ini sudah jelas merupakan kasus korupsi proyek e-KTP yang dimana Setya Novanto telah menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya demi memenuhi keuntungan pribadi, dan merugikan banyak orang.

2) Discretion

Kasus ini kita tahu bahwa Setya Novanto memiliki jabatan sebagai Ketua DPR sehingga membuktikan bahwa Setya Novanto mungkin memiliki kebebasan dalam membuat keputusan sehingga ia bebas dalam bertindak dan melakukan kegiatan yang menguntungkan dirinya sendiri.

3) Monopoly

Dengan memiliki jabatan tinggi, maka kemungkinan besar ia memiliki kontrol penuh atas suatu layanan, sehingga Setya Novanto memiliki peluan bessar untuk melakukan tindak pidana korupsi.

4) Accountability

Akibat dari perbuatan nya, Setya Novanto akhirnya diberikan hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dengan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara serta membayar denda dan ganti rugi atas apa yang telah dilakukan dengan mengambil yang bukan hak miliknya. Ini mencerminkan penegakan akuntabilitas dalam hukum pidana.

Intinya, yang dapat kita lihat dari adanya kasus ini, yaitu bahwa Setya Novanto yang merupakan terpidana kasus korupsi telah melakukan kesalahan fatal dengan melakukan tindak pidana degan mengambil hak masyarakat yang pastinya hal ini dapat didorong oleh faktor internal seperti sifat dari keserakahannya, serta faktor eksternal dimana dia mempunyai jabatan yang tinggi, serta lemahnya pengawasan negara yang memungkinkan tindakannya berlangsung lama  sehingga dapat memanfaatkan kesempatan untuk melakukan korupsi.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat saya ambil, yaitu bahwa teori dari Robert  klitgaard dan teori dari Jack Bologna ini benar adanya dalam kehidupan nyata, contohnya dalam kasus yang saya ambil, dimana apabila tindakan korupsi atau mencuri dan mengambil hak yang bukan milik kita dapat didorong oleh banyak faktor baik dorongan dari faktor internal (dalam) atau faktor eksternal (luar). Ini tergantung kepada diri kita sendiri apakah kita dapat menahan atau malah menuruti nafsu untuk membuat kejahatan seperti korupsi. Karena setiap perlakuan tindak pidana atau yang melanggar hukum dan aturan yang berlaku pasti akan mendapatkan hukuman cepat atau lambat. sebab ada hukum tabur tuai, karena apa yang kamu tabur, akan kamu tuai kembali.

Referensi

1)  Klitgaard, Robert. (1988). Controlling Corruption. Berkeley: University of California Press. 

2) Wikipedia. (2020). Robert Klitgaard

(https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Klitgaard)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun