Mohon tunggu...
Artani Hapsari
Artani Hapsari Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Berpraktik sehari-hari di Lembaga Psikologi Insania Indonesia Gresik. Tertarik pada bidang ilmu psikologi, terutama psikologi remaja dan dewasa awal. Semoga tulisan yang saya bagikan dapat bermanfaat :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Khawatir Sakit di Masa Pandemi, Wajarkah?

11 Oktober 2020   12:10 Diperbarui: 11 Oktober 2020   12:29 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://me.popsugar.com/

Sudah sekitar delapan bulan sejak tulisan ini dibuat, dunia dihebohkan oleh virus yang membuat semua orang repot. Kok repot? Seluruh aktivitas secara tiba-tiba harus dibatasi dan dilakukan dari rumah. 

Bekerja, sekolah, seminar, konseling, sampai belanja sayuran pun semuanya dilakukan secara daring. Beruntung virus ini muncul di era serba digital seperti sekarang. 

Coba bayangkan apabila ini semua terjadi di era kakek nenek kita yang semuanya masih serba analog? Tentu hidup akan berkali-kali lipat lebih repot. Bisa-bisa seluruh aktivitas terhenti, tidak ada lagi sumber pemasukan, dan anak sekolah tidak bisa memperoleh ilmu secara langsung dari bapak dan ibu gurunya.

Seperti mata uang koin yang memiliki dua sisi, era digital pun memiliki sisi pro dan kontranya sendiri. Disadari maupun tidak, seluruh kemudahan yang dapat kita nikmati sekarang tak bisa dipungkiri juga mendatangkan kerugian yang tak kalah besarnya. 

Informasi dari konten digital dapat diakses hanya dari genggaman tangan. Sekali sentuh sebuah tautan, kita sudah dapat membaca artikel atau menonton video apa pun yang kita mau. 

Apabila ingin tahu berita tentang Covid-19, tinggal ketik kata kunci yang diinginkan lalu kita dapat menemukan ribuan tautan yang bisa dipilih sesuai kebutuhan. Hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja, sekalipun bapak dan ibu saya yang sudah berusia lebih dari setengah abad.

Informasi Virus Covid-19 yang tersebar pun sangat sulit untuk dikendalikan. Beruntung apabila yang ditemui adalah informasi dari sumber yang terpercaya, sehingga sudah teruji kebenarannya. 

Sering kali, informasi yang beredar justru tidak jelas sumbernya. Tidak tahu siapa yang pertama kali membuat, tiba-tiba sudah ramai dibahas di grup aplikasi Whatsapp. Sayangnya, tidak semua orang (terutama orang Indonesia) kritis terhadap hal semacam ini. 

Beberapa tahun belakangan kita semua akrab dengan istilah hoax di mana kemudian muncul ancaman dari ranah hukum bahwa pelaku penyebaran berita bohong ini dapat dijerat Pasal 28 ayat 1 dan dapat diancam pidana menurut Pasal 45A ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Belum lagi informasi yang diperoleh dari media lainnya seperti televisi, radio, dan media cetak yang sering kali menyajikan data yang berbeda satu dengan yang lainnya. Banjir informasi inilah yang kemudian memunculkan kebingungan di tengah masyarakat Indonesia. 

Belum lagi ditambah dengan jumlah kasus positif yang terus meningkat setiap harinya. Hal ini semakin meresahkan, terutama untuk mereka yang lingkungan tempat tinggalnya termasuk dalam zona merah.

Beberapa minggu lalu saya berkesempatan mendampingi kelompok pengajian istri karyawan dari satu perusahaan tertentu yang tinggal di satu komplek perumahan. 

Di lingkungan perusahaan ini, terjadi lonjakan kasus positif Covid-19 yang cukup signifikan sehingga akses jalan menuju komplek dan gedung perkantoran sempat ditutup total untuk umum. 

Kondisi para istri ini sendiri beragam. Ada yang suaminya dinyatakan positif, ada yang tetangga samping rumahnya positif, ada pula yang asisten rumah tangganya dinyatakan positif.

Salah satu istri ada yang mencoba untuk menghubungi saya secara pribadi. Beliau bercerita bahwa salah satu rekan kerja yang satu ruangan dengan suaminya baru saja dinyatakan positif malam sebelumnya. Begitu mendengar kabar itu, ibu ini mengatakan sekujur tubuhnya mendadak kaku. 

Banyak sekali ketakutan yang muncul di dalam kepalanya. Apakah suaminya tertular? Kalau iya, lalu otomatis dirinya juga tertular karena kontak dekat dengan suaminya. 

Lalu bagaimana dengan anaknya yang masih balita? Semua pertanyaan tersebut muncul bersamaan. Ketika menunggu hasil swab test sang suami yang sudah dikarantina, beliau mengalami demam tinggi hingga 39°C. 

Dadanya sesak, kepalanya sakit, seluruh tulang dalam tubuhnya terasa nyeri, dan tidur pun gelisah. Beliau menitipkan anaknya kepada asisten rumah tangga dan tidak membiarkan anaknya mendekat. 

Saat itu juga, beliau percaya bahwa dirinya telah terjangkit virus ini, namun menolak untuk memeriksakan diri karena takut akan dikarantina. Setelah menunggu selama 2 hari, hasil swab test suami pun muncul dan akhirnya dinyatakan negatif. 

Setelah mendengar berita tersebut, ibu ini merasa seluruh tubuhnya lemas. Beribu-ribu ucapan syukur ia ucapkan sambil berbaring di atas ranjangnya dan kemudian tertidur hingga 3 jam kemudian. 

Saat terbangun, suhu tubuhnya turun hingga 37,6°C. Dadanya tidak lagi sesak, tulang dan persendiannya tidak lagi ngilu. Beliau ingat betul bahwa selama 2 hari demam, hanya satu kali beliau meminum obat penurun panas. Asisten rumah tangganya pun heran beliau bisa sembuh dalam hitungan jam setelah suaminya dinyatakan negatif.

Cerita yang sama juga datang di ruang praktik saya. Seorang wanita berusia awal 30-an mengeluhkan dadanya nyeri, berdebar-debar, dan sering muncul keringat dingin. Keluhan ini muncul setelah suaminya memperoleh hasil reaktif dari rapid test yang diadakan oleh kantornya. 

Meskipun ia sudah rapid test dan hasilnya non-reaktif, keluhan ini tetap muncul. Ia tidak percaya pada rapid test karena menonton berita di televisi yang menyatakan rapid test tidak akurat dan akhirnya memilih untuk melakukan swab test bersama suaminya dengan biaya yang tidak sedikit. 

Setelah keduanya dinyatakan negatif, kondisinya berangsur membaik tanpa ada konsumsi obat apapun. Mengutip kalimat dari klien tersebut, ia mengatakan “Akhirnya saya bisa kembali hidup normal.”. 

Klien berikutnya berjenis kelamin pria, berusia pertengahan 20-an sudah satu bulan sakit flu dan batuk yang tak kunjung membaik padahal sudah rutin minum obat dari dokter. Ia bahkan membeli sendiri obat-obatan tersebut setelah habis dikonsumsi. 

Dua minggu terakhir, muncul rasa nyeri di bagian dada setiap bangun tidur. Setelah digali lebih jauh, ternyata dia membaca hampir setiap artikel yang membahas tentang Covid-19 melalui sosial medianya. 

Ia pun menyadari bahwa keluhan fisik tersebut semakin intens rasa sakitnya setelah ia menemukan fakta yang “menyeramkan” terkait pandemi ini.

Dari beberapa contoh yang saya paparkan di atas, terjadi pola yang hampir sama yaitu muncul keluhan fisik (demam, flu, batuk, sesak nafas, nyeri dada, dsb) yang kemudian sudah ke dokter dan minum obat, tetapi kondisi tidak kunjung membaik.

Namun setelah sumber masalah (stressor) hilang, kondisi fisik berangsur membaik. Keluhan fisik jauh berkurang atau bahkan tidak muncul sama sekali. 

Fenomena munculnya keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis atau menyertai perasaan tertekan, di dalam istilah psikologi disebut dengan somatisasi (DSM-5).

Gejala Gangguan Somatisasi dalam DSM-5:

  1. Muncul satu atau lebih gejala somatik yang menyebabkan stress atau mengakibatkan gangguan yang signifikan pada kehidupan sehari-hari
  2. Pikiran, perasaan, atau perilaku yang berlebihan terkait dengan gejala somatik atau permasalahan kesehatan terkait seperti yang ditunjukkan oleh setidaknya satu gejala di bawah ini:
    • Pikiran yang berlebih dan terus-menerus tentang keseriusan gejala fisik yang dialami
    • Muncul rasa kecemasan yang tinggi dan terus-menerus tentang kesehatan atau gejala fisik
    • Terlalu banyak waktu dan energi dihabiskan untuk memikirkan gejala fisik atau masalah kesehatan ini
  3. Meskipun salah satu gejala somatik mungkin tidak muncul terus-menerus, keadaan mengalami gejala tetap ada (biasanya lebih dari 6 bulan).

Kondisi somatisasi ini bisa dialami oleh siapa saja, terutama pada mereka yang berada dalam kondisi stres dan tertekan. Penelitian yang dilakukan oleh Liuyi Ran, dkk tahun 2020 mengambil sampel 1770 orang dengan rata-rata usia 28 tahun di Cina saat masa puncak pandemi.

Hasilnya diperoleh sebanyak 45,9% sampel mengalami gejala somatisasi, terutama pada mereka dengan kadar resiliensi rendah. Tidak hanya masyarakat umum, tenaga kesehatan sekalipun mengalami gejala somatisasi di tengah kondisi pandemi seperti saat ini. 

Penelitian yang dilakukan oleh Teguh Santoso, dkk pada Bulan Juli 2020 lalu menyatakan bahwa para perawat di Cina yang memberikan pelayanan intensif pada pasien Covid-19 mengalami beberapa gangguan psikologis, salah satunya adalah somatisasi. 

Gejala yang muncul adalah kelelahan, insomnia, nafsu makan menurun, menangis, hingga badan terasa tidak nyaman. Mahasiswa yang harus menjalani perkuliahan secara daring pun terdampak gejala somatisasi. 

Diperoleh data dari penelitian Rizky Muharany Putri, dkk sebanyak 35,7% mahasiswa dari sampel penelitiannya yang mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) mengalami stres dan gejala somatisasi. 

Gejala fisik yang dialami adalah sakit kepala, mual, batuk, demam, sesak nafas, nyeri dada, nafsu makan menurun, tidur tidak nyenyak, dan berkeringat secara berlebihan. Setelah melakukan penyesuaian PJJ selama 2-3 minggu, kondisi mereka berangsur membaik.

https://naturalhealthscene.com/
https://naturalhealthscene.com/
Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Apabila kita mengalami beberapa gejala di atas karena terlalu banyak informasi tentang pandemi yang diperoleh, maka kita mulai harus berhati-hati dan mulai melakukan upaya pencegahan supaya kecenderungan gejala somatisasi tidak berkembang menjadi gangguan. 

Langkah paling sederhana adalah mematuhi protokol kesehatan agar kita terhindar dari kemungkinan tertular Virus Corona. Selain itu, berikut ini ada tips-tips sederhana dari saya yang dapat diikuti untuk menghindari atau mengurangi gejala somatisasi:

  1. Hadapi stressor : Tips ini terdengar klise, tetapi paling efektif. Perasaan tertekan akan menimbulkan reaksi fisik tertentu, seperti ketika hendak sidang skripsi perut terasa mulas atau mual. Namun setelah semua itu berlalu, mulas dan mual langsung menghilang. Usahakan untuk menemukan cara yang paling pas untuk menghadapi sumber ketegangan.
  2. Berpikir realistis, bukan berpikir positif : Berpikir positif belum tentu realistis. Berikan pertimbangan dan alasan yang masuk akal bagi setiap kekhawatiran yang kita alami. Menghindari sumber ketegangan bukanlah cara yang efektif untuk menghilangkan ketegangan.
  3. Terapkan pola hidup sehat : Olahraga, makan makanan dengan gizi seimbang, banyak minum air putih dan vitamin, cuci tangan, jaga jarak, dan pakai masker ketika keluar rumah.
  4. Sibukkan diri dengan kegiatan bermanfaat dan menyenangkan: Terkadang di tengah proses menghadapi stressor, kita juga perlu mengambil nafas untuk sejenak beristirahat. Tidak ada salahnya mengalihkan perhatian sebentar untuk melakukan hobi atau aktivitas lain yang dapat mengurangi ketegangan.
  5. Tingkatkan kualitas spiritual: Apabila kita termasuk orang yang religius, manfaatkan momen kerentanan ini untuk mendekatkan diri dengan Tuhan YME.
  6. Lakukan kegiatan relaksasi ringan: Selain mencari artikel tentang COVID-19, bekali juga diri kita dengan kemampuan lain yang lebih bermanfaat. Salah satunya kita bisa menonton video tentang relaksasi sederhana di Youtube yang dapat diterapkan ketika merasa cemas.
  7. Segera konsultasikan ke ahlinya: Apabila keluhan fisik berlangsung berkepanjangan, segera hubungi psikolog atau psikiater melalui online platform yang banyak tersedia saat ini. Jika keadaan sudah mulai kondusif, sesi konseling dapat dilanjutkan secara tatap muka

Semoga bermanfaat

Referensi:

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders: 5th Edition. Washington DC: American Psychiatric Publishing.

Kominfo. (2016). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016. Diakses pada tanggal 6 Oktober 2020

Putri, R.M., Oktaviani, A.D., Utami, A.S.F., Ni’maturrohmah., Addiina, H.A., & Nisa, H. (2020). Hubungan pembelajaran jarak jauh dan gangguan somatoform dengan tingkat stress mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Indoneisan Journal of Health Promotion and Behavior. 2020; 2(1): 38-45.

Ran, L., Wang, W., Ai, M., Kong, Y., Chen, J., & Kuang, L. (2020). Psychological resilience, depression, anxiety, and somatization symptoms in response to COVID-19: A study of the general population in China at the peak of its epidemic. Social Science & Medicine 262 (2020) 113261. DOI: 10.1016/j.socscimed.2020.113261.

Santoso, T., Sari, D.A., Junait., & Laely, A.J. (2020). Kondisi psikologis perawat yang memberikan asuhan keperawatan pada pasien COVID-19: Tinjauan Narasi. Journal of Clinical Medicine, Med Hosp 2020; Vol 7 (1A): 253-260. DOI: 10.36408/mhjcm.v7i1A.461.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun