Penulis berpose di balik ritmik kuda menari (Polman, 12-05-2015)
Kuda penari itu, kaki-kakinya bergerak-gerak indah, mengikuti arus irama rebana dan tamborin. Kuda menari, nama familiarnya adalah Sayyang Patudduk. Seorang dara jelita, di atas pelana, memakai baju pokko', lipaq sabbeq Mandar, bermahkota, bergelang panjang keemasan, anting beruntaian bunga beruq-beruq, lengkap dengan kipasnya. Passawi tidak duduk sembarangan, ia wajib ikuti pakem, saat duduk di pelana, lutut menghadap ke atas sebagai simbol kebenaran/kekuatan (kanan), kakinya menginjak punggung kuda, sedang kaki kiri ditekuk dan lutut menghadap ke depan (bukan ke atas).
Gadis Mandar itukah yang menjadi sentrum ritual istimewa sayyang patudduk? Oh bukan! Ia hanyalah seorang sawi, pusat aktifitas itu justru pada seseorang yang duduk di belakang sawi.
Kedua gadis itu, kerap tersenyum saat seorang pria lantunkan puisi, alunan bait-bait indah itu disebut kalindaqdaq. Hadir aksara-aksara bersayap di sana, bermakna konotatif dan lugas. Etnik Mandar memang gemar berpuisi dan berpantun. Ragam pantunnya berkategori; pantun heroik, pantun anak muda, pantun pesan-pesan moral, pantun canda, pantun perendahan diri. dan pantun reliji. Serangkain pantun ini, mirip dengan alur puisi, empat baris. Hakikat puisi Mandar, sarat sindiran dalam kalimat-kalimat yang tetap santun. Karya sastra Mandari inilah yang paling populer di Tanah Mandar, ia adalah media mengungkap perasaan mendalam kepada seseorang ataukah kepada anak-anak, sahabat-sahabat bahkan pemerintah. Itulah sisi-sisi budaya yang masih tersisa di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. .
Salah satu pantun anak muda yang pernah di-qalindaqdaq-an, ciptaan Kompasianer Makassar ini:
Rappak tallo, bikke pesauq
Su'naimo lao
Na rappak tomi ateu
Maita kandi'u tomalolo
Artinya:
Pecah telur, retak  timba
Relakan sajalah
Sesaat akan retak pula hatiku
Memandang adinda cantik nan jelita
Â
Â

Â
Tekad Pelatih Kuda Menari
Penulis berjumpa dengan I Sulu, seorang pelatih kuda penari di kampung itu, tepatnya di Dusun Massanra, Desa Bonne, Kecamatan Mapilli, Polman: "Iyya tu'u sayyang pattunduk, dipacoa pai ada'ada'na", tutur I Suluq. Lelaki langka itu, bertekad merawat warisan budaya lokal yang nyaris punah. Tempo ritmik sang kuda penari itu, telah dilatihkan, di kesunyian malam, di tempat khusus pula. Inilah magnet inspirasi bagiku, untuk menuliskannya di Kompasiana ini. Miracle! Kuda menari itu, dimantra-mantra, dielus-elus tujuh kali, dibacakan doa-doa keselamatan dan kelembutan agar gerakannya menawan. Telapak tangan memukul-mukul ringan kaki-kaki sang kuda untuk bergerak.
Bila di tanah kelahiranku itu, orang-orang tertentu memilih pekerjaan dan jualan jasa semisal panjat kelapa berbayar, mengupas kelapa pun berbayar, bercocok tanam padi bergaji, menyiangi pohon di perkebunan, jualan atap rumbia dan seterusnya, semuanya berbayar demi mempertahankan hidup. Namun, bagi I Suluq, ia memilih pekerjaan unik-langka-kurang peminta! Yakni; memelihara kuda penari sekaligus bertekad merawat budaya etnik Mandar yang menurutnya, termaktub nilai-nilai kehidupan dan spiritual di balik atraksi kuda penari. Dipersembahkan pada saban upacara tradisional menunggang kuda cantik. Tentunya!
Saat penulis mencoba ajukan pertanyaan soal berapa bayaran yang diterima saat melayani permintaan warga untuk sebuah prosesi adat dengan menggunakan jasa kuda penarinya, I Suluq menjawab: "Alhamdulillah, andiani upikkirri sa'apa nabeiyaq. Sukkur sannlaq mua diang to tamma mangngaji. Apa ite'e dzi'e maiddin nanaeke andiang masiri muwaq andiani tammaq mangngaji". (Alhamdulillah, saya tiada memikirkan berapa upah. Saya bersyukur bila ada anak-anak tamat mengaji sebab jaman sekarang banyak anak-anak tidak malu kalau tidak tahu baca Al Qur'an).
Â
Â

Â
I Suluk menuturkan lagi bahwa kuda yang dipeliharanya itu dapat bermanfaat kepada elemen masyarakat. Tak mudah merawat dan melatih seekor kuda penari, untuk menjaga bulu kuda tetap halus, rapi, mengkilap, I Sulu menggunakan putih telur, memandikannya tidaklah sembarangan air, air mandi kuda dicampur dengan air rembulan. Maksud air rembulan ini, saat bulan purnama, I Suluq mengambil baskom, mengisinya, dan ditempatkan pada posisi yang tercahayai oleh bulan.
Kala kaki-kaki depan-belakang dilatih, cukup sulit awalnya bagi I Suluq, apatah lagi melatih kepala kuda untuk mengeleng-geleng, naik-turun, mendonga-menunduk. Yang tersulit adalah mensinergikan, mensinkronkan garakan kuda dengan tabuhan rebana dan tamborin. Belum lagi I Suluq menjaga unsur 'psikologik' sang kuda penarinya agar tetap nyaman, hingga 'rumah kuda' dijauhkan dari kebisingan, binatang-binatang dan juga lingkungan yang dapat mengancam ketentraman sang kuda penari.
Begitupun asesoris kuda penari tetap dibersihkan seusai dipergunakan pada ritual kuda penari, kelewat ulet memang seorang I Suluq. Di belantara era materialisme dan hedonisme, I Suluq justru memilih memberikan pelayanan kuda penari untuk pemenuhan ruhaniah, nilai-nilai religi, spiritualism, gigih menjaga keseimbangan dunia-ukhrawi lewat layanan jasa kuda penari. Berbayar atau tidak berbayar, I Suluq tetap melayani warga. "Ware'u manini uwalai di allo di boweq"; "Bagianku nanti akan kudapati di hari kemudian", tutupnya.
Tinggallah Literasi
Penulis tak bermaksud nightmare, namun budaya-budaya lokal yang edukatif-humanistik, pelan-pelan akan terjerembab dan pupus. Via Dayakan Indonesia, laksana mempertahakan sesuatu yang sudah sangat nyaris lepas, terbuang dan digeser aktif oleh budaya-budaya baru. Beruntung masih ada sosok I Suluq di kampung halamanku yang walau akan tergerus jua nantinya oleh perang besar budaya neo-modern yang bernama teknologi yang kesemuanya tinggal di-remote, di-set, dan dimekanisasi. Hingga suatu saat nanti, adat-adat, upacara-upacara tradisional telah lekang dan lapuk. Tinggallah literasi yang hanya akan dibaca oleh anak cucu kita nanti. Memiriskan dan memilukan sebenarnya! Sebab sesungguhnya tiap-tiap budaya mutlak mewariskan nilai-nilai kebaikan, kebersamaan, kebijaksanaan dan saling memanusiakan. Namun, kini. Kita boleh-boleh saja mengkritisi budaya mainstream, namun itu tinggallah protes. Pastinya, hanya satu pintu darurat yang kita wajib lewati yakni tekad bersama merawat budaya kita dari Sabang sampai Merauke, apapun nama budaya itu! Bila benar merindui kearifan lokal, dan bila benar hendak Dayakan Indonesia!
Salam Kompasiana Siang
-------
Ensiklopedia:
-Iyya tu'u sayyang pattudduk, dipacoa pai ada'ada'na: kuda penari itu, mesti diperlakukan dengan baik) -Lipaq sabbe: sarung sutra, sarung ini asli dari hasil tenunan perempuan Mandar -Beruq-beruq: bunga melati, bunga ini diuntai di kapas putih yang dilititkan -Sawi/passawi: penunggang kuda sekaligus pelindung bagi seseorang yang diritualkan -Qalindaqdaq: karya sastra etnik Mandar yang kerap didendangkan di depan kuda penari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI