Â
Â
Â
I Suluk menuturkan lagi bahwa kuda yang dipeliharanya itu dapat bermanfaat kepada elemen masyarakat. Tak mudah merawat dan melatih seekor kuda penari, untuk menjaga bulu kuda tetap halus, rapi, mengkilap, I Sulu menggunakan putih telur, memandikannya tidaklah sembarangan air, air mandi kuda dicampur dengan air rembulan. Maksud air rembulan ini, saat bulan purnama, I Suluq mengambil baskom, mengisinya, dan ditempatkan pada posisi yang tercahayai oleh bulan.
Kala kaki-kaki depan-belakang dilatih, cukup sulit awalnya bagi I Suluq, apatah lagi melatih kepala kuda untuk mengeleng-geleng, naik-turun, mendonga-menunduk. Yang tersulit adalah mensinergikan, mensinkronkan garakan kuda dengan tabuhan rebana dan tamborin. Belum lagi I Suluq menjaga unsur 'psikologik' sang kuda penarinya agar tetap nyaman, hingga 'rumah kuda' dijauhkan dari kebisingan, binatang-binatang dan juga lingkungan yang dapat mengancam ketentraman sang kuda penari.
Begitupun asesoris kuda penari tetap dibersihkan seusai dipergunakan pada ritual kuda penari, kelewat ulet memang seorang I Suluq. Di belantara era materialisme dan hedonisme, I Suluq justru memilih memberikan pelayanan kuda penari untuk pemenuhan ruhaniah, nilai-nilai religi, spiritualism, gigih menjaga keseimbangan dunia-ukhrawi lewat layanan jasa kuda penari. Berbayar atau tidak berbayar, I Suluq tetap melayani warga. "Ware'u manini uwalai di allo di boweq"; "Bagianku nanti akan kudapati di hari kemudian", tutupnya.
Tinggallah Literasi
Penulis tak bermaksud nightmare, namun budaya-budaya lokal yang edukatif-humanistik, pelan-pelan akan terjerembab dan pupus. Via Dayakan Indonesia, laksana mempertahakan sesuatu yang sudah sangat nyaris lepas, terbuang dan digeser aktif oleh budaya-budaya baru. Beruntung masih ada sosok I Suluq di kampung halamanku yang walau akan tergerus jua nantinya oleh perang besar budaya neo-modern yang bernama teknologi yang kesemuanya tinggal di-remote, di-set, dan dimekanisasi. Hingga suatu saat nanti, adat-adat, upacara-upacara tradisional telah lekang dan lapuk. Tinggallah literasi yang hanya akan dibaca oleh anak cucu kita nanti. Memiriskan dan memilukan sebenarnya! Sebab sesungguhnya tiap-tiap budaya mutlak mewariskan nilai-nilai kebaikan, kebersamaan, kebijaksanaan dan saling memanusiakan. Namun, kini. Kita boleh-boleh saja mengkritisi budaya mainstream, namun itu tinggallah protes. Pastinya, hanya satu pintu darurat yang kita wajib lewati yakni tekad bersama merawat budaya kita dari Sabang sampai Merauke, apapun nama budaya itu! Bila benar merindui kearifan lokal, dan bila benar hendak Dayakan Indonesia!
Salam Kompasiana Siang
-------