Di sini, penulis opini dan pendebat opini, keduanya membutuhkan riset, jangan sampai kita mendebat opini orang lain dengan asal mendebat tanpa riset juga, tanpa seksama menyatakan pendapat bantahan. Ini potensi untuk blunder juga bagi sang pendebat, komentator atau sang penyanggah atas artikel opini dari penulis opini. Komentator juga sedang unjuk kemampuan dalam berkomentar, penanggap pun sedang mengaplikasikan opininya, sebab komentar itu adalah miniatur opini. Malahpun, ada beberapa komentar dari Kompasianer, dengan berkomentar di lapak sahabat-sahabat Kompasiana, maka jadilah sebuah artikel.
Tujuan utama
Pernahkah Anda bertanya: "Apakah tujuan utamaku menulis opini?". Jawabannya bisa beragam, bisa jadi jawabannya seperti ini: Saya sedang latihan ungkapkan pendapat, saya memahirkan cara menganalisa peristiwa, saya sedang galau hingga saya menulis opini, saya ingin orang lain tahu cara berpikirku, saya ingin berinteraksi, ataukah saya ingin tunjukkan kepiawaianku dalam menulis opini. Dari seluruh alasan itu, hanya satu tujuan pokoknya yakni MEMPENGARUHI PEMBACA.
Menggurui atau Tidak Menggurui?
Ensiklopedi menggurui atau tidak menggurui, teramat sering dibahasakan oleh komentator di Kompasiana, pertanyaan besarnya: adakah artikel opini yang tidak menggurui? Penulis opini itu adalah 'guru' dan pembaca adalah 'murid'. Kenapa? Karena isi artikel itu sendiri, sangat memungkinkan ada informasi 'pengajaran' di sana, pemberitahuan, pembelajaran, hikmah, atau makna-makna atas opini penulis. Kita sebagai pembaca sering berkomentar 'nice post', artinya kita menerima atas apa yang diungkapkan oleh penulis opini itu. So, kita tak bisa terhindar dari urusan guru-menggurui, bila memang artikel kita harus menggurui, maka lakukanlah! Tak ada hukum yang dilanggar jika kesan menggurui tertuang di ruas-ruas artikel kita. Selanjutnya, di Kompasiana ini telah sukses menjalin pertemanan, interaksi sesama Kompasianer, persahabatan, sehingga lahirlah metakomunikasi. Ini fakta di Kompasiana, hubungan-hubungan emosional itu tercipta secara alamiah. Dan Kompasianer Makassar ini, telah digodam oleh unsur metakomunikasi, sekuat hati tersenyum walau dalam keadaan kesal akan sebuah komentar. Dan, lewat Kompasiana, saya banyak belajar makna persahabatan ketimbang kepopuleran, atau keterkenalan. Apalah arti jadi BINTANG KOMPASIANA, bila persaudaraan putus dan tak saling bertegur sapa. Itu slogan batinku. Hahaha... Ngerasa Bintang ni yeeee...
Sedikit tentang Penulis Opini dan Kolumnis
Apakah ada perbedaan antara penulis opini dengan kolumnis? Persamaannya adalah keduanya menulis opini, keduanya pun menguasai atas apa yang dituliskannya. Nyaris tiada beda dari keduanya, lalu bagaimana mencari tahu perbedaan dari keduanya? Padahal penulis opini dan kolumnis, isi yang disampaikan, sama saja. Keduanya menuliskan satu-dua-tiga gagasannya. Keduanya pun menyampaikan informasi bersumber dari aktifitas pikirannya, keduanya menyemai pola pikirnya, di tulisannya. Hanya ada satu perbedaan ekstrim dari keduanya. Penulis opini tak punya gaya tertentu dalam menuliskan opininya. Sedang kolumnis dalam menuliskan opini, memiliki cira khas pada cara bertutur, taktik mengartikulasi bahasa, teknik mengolah kata, kiat membunyikan kalimatnya, tampilan di setiap paragrafnya demikian smart, cair dan flamboyan.
Itulah kolumnis, gaya menulisnya mudah dikenali^^^
Â
Â
Â