Â
[caption id="attachment_330349" align="aligncenter" width="300" caption="flp-iain.bs"][/caption]
Harfiah OPINI adalah pendapat, gerakan pikiran, magma ide. Ber-opini di media sekaliber Kompasiana, itu tak mudah, tetapi juga tak sulit, pulalah tak rumit. Syaratnya pahami marka-marka dalam menulis opini, serupa:
1. Bagaimana cara Anda mengawali opini (lead)?
2. Apa sesungguhnya isi opini Anda?
3. Perseptual apa yang Anda kerahkan untuk sebuah cuplikan kejadian?
4. Sekuat apa Anda memobilisir opini Anda?
5. Apa Anda haqqul yakin bahwa cuplikan peristiwa itu benar-benar valid?
6. Bagaimanakah Anda mengakhiri opini itu?
7. Gaya bahasa apa yang Anda gunakan?
Tujuh rambu di atas, merindukan training untuk melakukannya, karena ini area pemberi pesan (sender) dan penerima pesan (receiver). Ini berlandaskan pada pesan-pesan komunikasi, menulis OPINI beda tipis dengan MENGAJAR. Keduanya bertepi pada sebesar apa pembaca/pendengar dapat dipengaruhi pikirannya -oleh tulisan/ulasan kita- sampai pada perubahan perilaku. Berapa banyak penulis mengatakan bahwa ini OPINI PRIBADIKU, itu mutlak benar, asalkan tetap bertanggungjawab (responsibility) terhadap apa yang diopinikan. Ada bias di sini, sebab menulis pendapat pribadi, tak berarti bahwa gagasan itu semau gue, sesuka-suka gue. Hingga tak sedikit penulis ketika opininya didebat, ia terbirit-birit sebab ia telah blunder, menuliskan opini pada sebuah peristiwa, yang ia sendiri belum melakukan penelitian cermat terhadap peristiwa itu sendiri.
Berikut beberapa hal yang harus menjadi perhatian Kompasianer yang gemar menulis opini:
Spesialisasi
Apa keahlian Anda? Topik apa yang Anda paling kuasai dari berbagai jenis menulis yang Anda suka? Tilikan psikologik, telah dipaparkan bahwa setiap penulis memiliki kesukaan lebih dari satu jenis menulis. Kompasianer pun demikian, bisa ber-opini soal medis, mampu menulis soal pendidikan, sanggup layangkan artikel bertema politik. pun mumpuni menyebarkan gagasan soal kuliner, sosial budaya, kesenian, fiksi, humor, remaja, dan perkara asmara. Kukatakan saja, Kompasianer itu serba bisa, multi talenta. Itulah yang disebut TREND alias kecenderungan. Anda wajib percaya kepadaku bahwa dari puluhan jenis rubrik yang kita sukai, maka hanya satu jenis tulisan yang paling Anda kuasai.
***
Opini itu mirip tulisan ilmiah, tatakan bahasa saja yang sedikit berbeda, sebab tulisan ilmiah rada-rada berat dipahami, istilahnya -umumnya- sophisticated. Kenapa bisa begitu? Jawabnya: segmen pembacanya homogen. Beda dengan opini di media massa atau di blog Kompasiana, pembacanya teramat variatif. Di sini dibutuhkan kejelian dalam berkomunikasi, memerlukan skill penggunaan bahasa, karena kelewat tinggi bahasanya, akan susah dijangkau oleh pembaca yang watak dasarnya pengen santai membaca, pengen relaksasi, dan tak perlu jidat berkerut-kerut.
Di sisi lain, bahasanya kelewat 'rendah' mengesankan penulis opini ini 'ngasal', sehingga pembaca yang pernah membaca artikel 'ngasal' menjadi trauma kecil untuk bertandang kembali atas tulisan baru kita. Artikel ringan tentu beda dengan tulisan 'ngasal'. Artikel ringan itu identik dengan kesederhanaan bahasa, soal topiknya hard atau soft, di situ bukan masalahnya. Masalahnya, sanggupkah kita menyederhanakannya dalam deretan paragraf yang komunikatif? Mampukah kita ungkapkan bahasa yang mudah dicerna, gampang dimengerti dan cepat dipahami pembaca?
Riset
Riset (research) artinya penelitian, melihat kembali, mencermati ulang, seksama. Opini itu, kita memberi gagasan-gagasan terhadap peristiwa, pendapat orang lain, kejadian faktual. Opini penulis, menghadirkan kesetujuan dan ketidaksetujuan atas suatu fakta atau berita. Tarulah kita membaca berita soal TKI di Indonesia, Menteri A berkata bahwa TKI itu skillnya rendah dengan beragam bukti yang disodorkan sang menteri. Kita boleh tidak setuju dengan pendapat Menteri A itu, bantahlah pendapatnya dengan argumentasi yang kuat, seperti: "Keterampilan TKI tidak rendah, sebab mereka telah diberi training, lagipula pelatihan-pelatihan itu telah diberikan di tanah air dan disesuaikan negara mana yang dituju. Bila Menteri A mengeluarkan pernyataan seperti itu, maka itu blundernya pemerintah, mengapa mengirim TKI yang nyata-nyata sudah dinyatakan keterampilannya rendah, yang loloskan mereka siapa? Tentu pemerintah kita juga. Karena tidak melakukan penyaringan yang ketat, istilahnya asal kirim"
Begitupun di artikel medis, soal mengkonsumsi air 8 liter sehari, ada yang setuju, pun ada yang tak setuju. Soal pemberian vaksin, ada yang yang setuju, pun ada yang menolaknya. Karena kita masing-masing memiliki hak berpendapat, memberi apresiasi, mendeskripsikan pikiran dan menyalurkan gagasan.
***
Pandangan kita ini, juga bisa didebat oleh pembaca, sebab jika ada artikel opini yang bebas bantahan dari pembaca/orang lain, maka yakinlah, itu bukan opini tetapi itu 'Kitab Suci'. Maksud saya, 'opini' Tuhan tak dapat dibantah oleh manusia. Wahyu Tuhan dapat dipertanyakan namun tak diizinkan untuk dibantah. Tuhan itu absolut. Tetapi selama itu opini manusia, maka manusia lain dapat mendebatnya, membantahnya, sebab manusia itu sederajat, boleh saling meluruskan, saling bertukar pendapat dan saling memerkayakan pendapat dengan beragam sudut pandang dan medan perseptual.
Di sini, penulis opini dan pendebat opini, keduanya membutuhkan riset, jangan sampai kita mendebat opini orang lain dengan asal mendebat tanpa riset juga, tanpa seksama menyatakan pendapat bantahan. Ini potensi untuk blunder juga bagi sang pendebat, komentator atau sang penyanggah atas artikel opini dari penulis opini. Komentator juga sedang unjuk kemampuan dalam berkomentar, penanggap pun sedang mengaplikasikan opininya, sebab komentar itu adalah miniatur opini. Malahpun, ada beberapa komentar dari Kompasianer, dengan berkomentar di lapak sahabat-sahabat Kompasiana, maka jadilah sebuah artikel.
Tujuan utama
Pernahkah Anda bertanya: "Apakah tujuan utamaku menulis opini?". Jawabannya bisa beragam, bisa jadi jawabannya seperti ini: Saya sedang latihan ungkapkan pendapat, saya memahirkan cara menganalisa peristiwa, saya sedang galau hingga saya menulis opini, saya ingin orang lain tahu cara berpikirku, saya ingin berinteraksi, ataukah saya ingin tunjukkan kepiawaianku dalam menulis opini. Dari seluruh alasan itu, hanya satu tujuan pokoknya yakni MEMPENGARUHI PEMBACA.
Menggurui atau Tidak Menggurui?
Ensiklopedi menggurui atau tidak menggurui, teramat sering dibahasakan oleh komentator di Kompasiana, pertanyaan besarnya: adakah artikel opini yang tidak menggurui? Penulis opini itu adalah 'guru' dan pembaca adalah 'murid'. Kenapa? Karena isi artikel itu sendiri, sangat memungkinkan ada informasi 'pengajaran' di sana, pemberitahuan, pembelajaran, hikmah, atau makna-makna atas opini penulis. Kita sebagai pembaca sering berkomentar 'nice post', artinya kita menerima atas apa yang diungkapkan oleh penulis opini itu. So, kita tak bisa terhindar dari urusan guru-menggurui, bila memang artikel kita harus menggurui, maka lakukanlah! Tak ada hukum yang dilanggar jika kesan menggurui tertuang di ruas-ruas artikel kita. Selanjutnya, di Kompasiana ini telah sukses menjalin pertemanan, interaksi sesama Kompasianer, persahabatan, sehingga lahirlah metakomunikasi. Ini fakta di Kompasiana, hubungan-hubungan emosional itu tercipta secara alamiah. Dan Kompasianer Makassar ini, telah digodam oleh unsur metakomunikasi, sekuat hati tersenyum walau dalam keadaan kesal akan sebuah komentar. Dan, lewat Kompasiana, saya banyak belajar makna persahabatan ketimbang kepopuleran, atau keterkenalan. Apalah arti jadi BINTANG KOMPASIANA, bila persaudaraan putus dan tak saling bertegur sapa. Itu slogan batinku. Hahaha... Ngerasa Bintang ni yeeee...
Sedikit tentang Penulis Opini dan Kolumnis
Apakah ada perbedaan antara penulis opini dengan kolumnis? Persamaannya adalah keduanya menulis opini, keduanya pun menguasai atas apa yang dituliskannya. Nyaris tiada beda dari keduanya, lalu bagaimana mencari tahu perbedaan dari keduanya? Padahal penulis opini dan kolumnis, isi yang disampaikan, sama saja. Keduanya menuliskan satu-dua-tiga gagasannya. Keduanya pun menyampaikan informasi bersumber dari aktifitas pikirannya, keduanya menyemai pola pikirnya, di tulisannya. Hanya ada satu perbedaan ekstrim dari keduanya. Penulis opini tak punya gaya tertentu dalam menuliskan opininya. Sedang kolumnis dalam menuliskan opini, memiliki cira khas pada cara bertutur, taktik mengartikulasi bahasa, teknik mengolah kata, kiat membunyikan kalimatnya, tampilan di setiap paragrafnya demikian smart, cair dan flamboyan.
Itulah kolumnis, gaya menulisnya mudah dikenali^^^
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H