Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kerajaan Halu dan Kucuran Dana dari Bank Swiss di Kesultanan Selacau

25 Januari 2020   18:51 Diperbarui: 25 Januari 2020   18:53 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena munculnya orang-orang yang menabalkan diri sebagai raja dan ratu dalam sebuah negara, di negara Indonesia, dengan beragam asesoris lengkap, menyerupai laiknya suatu istana yang seringkali diperlihatkan di televisi dalam lakon masa lalu,  dan klaim sebagai keturunan dinasti kerajaan-kerajaan era Majapahit dan semacamnya, menimbulkan banyak pendapat dan komentar dari berbagai sudut pandang ilmu, maupun yang asal bicara serupa epigon, bahkan plagiat yang sok paling tahu.

Barangkali hal itu pun, epigon dan plagiat yang disebutkan di atas, menjadi problem yang menggejala hampir serupa dengan mereka yang sekarang ini sedang jadi topik pembicaraan, yakni para pendiri kerajaan yang hanya berbekal sepotong sejarah masa lalu yang entah dibaca saat duduk di bangku sekolah, atawa dibaca sekedar sambil lalu saja.

Hanya saja mereka yang sampai mengangkat dirinya sendiri sebagai raja dan ratu, atawa juga semacam itu, bisa jadi mereka memiliki imajinasi yang tinggi, dan dipadu dengan halusinasi yang direkanya hingga menjadi nyata. Bahkan di balik itu pun, ternyata mereka memiliki maksud lain. Serupa modus demi memperkaya diri sendiri dengan melabrak ketentuan hukum yang berlaku, atawa juga sekedar mencari sensasi manakala frustasi kian membumbung tinggi.

Sebagaimana yang dilakukan pendiri Kerajaan Agung Sejagat (KAS), Toto Santoso, dengan iming-iming tentang kesejahteraan hidup bagi mereka yang memang selama ini penuh keterbatasan, baik sumber daya manusianya maupun ekonominya, dengan mudah terbuai oleh bujuk rayu Sang Raja. Apa lagi namanya kalau bukan penipuan yang termaktub dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).

Selain itu Raja Toto bersama Ratu Fanni Aminadia, menyebut berdirinya Keraton Agung Sejagat tersebut karena dengan berakhirnya perjanjian 500 tahun lalu antara kerajaan Majapahit dengan Portugis.

Konon perjanjian tersebut  dibuat tahun 1518, dan diteken oleh penguasa Majapahit, Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dengan negara Portugis yang mewakili bangsa Barat.

Sehingga dengan berakhirnya perjanjian itu, maka berakhir pula dominasi barat, yang dipimpin Amerika Serikat, dalam kontrol dunia. Dan kekuasaanpun harus kembali ke pemiliknya, yakni penerus kerajaan Majapahit, yang tak lain adalah Keraton Agung Sejagat.

Sebagai penguasa KAS, Toto Santoso mengklaim kerajaannya sebagai penguasa dunia. Bahkan disebutnya beberapa lembaga internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan alat kelengkapan kerajaannya. Negara Republik Indonesia pun demikian juga, diklaim berada di bawah kekuasaannya pula.

Begitupun  dengan gedung Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Pentagon, disebutnya bukanlah milik Amerika Serikat, melainkan berada di bawah kekuasaan Keraton Agung Sejagat.

Sedangkan mereka yang memproklamirkan Sunda Empire-Empire Earth (keren juga, ya!?), meskipun sejauh ini belum terdengar adanya pelanggaran yang bisa dijerat KUHP, akan tetapi melalui pernyataan-pernyataan yang disampaikan lewat akun media sosial miliknya, para petinggi kerajaan, atawa kekaisaran, atawa apalah namanya, cukup mencengangkan memang, sekaligus membuat dahi berkerut dalam beragam tanda tanya yang membutuhkan jawaban  berdasarkan fakta yang sesungguhnya, tentu saja.

Dari tayangan video di akun Facebooknya, salah seorang pendiri SE-EE yang mengaku bernama HRH Rangga, atawa Dr Syaikh Ki Ageng Ranggasasana Al Mursyid, LLM yang di setiap penampilannya selalu mengenakan atribut ala militer itu, bahkan lebih mencengangkan lagi.

Pria yang disebut tetangga bernama asli Edi Raharjo itu eksis lewat posting-an video yang ditautkan ke akun Facebook-nya. Pernyataan yang mengagetkan adalah meluncurkan empire system.

"Satu contoh yang tadi saya bilang, yang bisa hentikan atas nuklir tidak diledakkan adalah Sunda Empire dan saya akan umumkan itu, segera. Dan segera dalam waktu dekat ini akan diumumkan sebuah sistem, yaitu empire system dan Jack Ma dan Bill Gates ada di sana," ujar Raden Ranggasasana.

Ya, Jack Ma dan Bill Gates yang termasuk orang paling kaya di dunia ini, diklaim petinggi SE-EE berada di bawah kekuasaannya.

Perihal seperti itu juga yang membuat publik menaruh perhatian terhadap kiprah mereka yang menabalkan diri sebagai penguasa kerajaan-kerajaan baru yang baru-baru ini muncul di negeri ini.

Penulis pun bukannya hendak menjadi epigon dari mereka yang sudah terlebih dahulu memiliki pendapat terhadap hal tersebut. Hanya saja barangkali suatu kebetulan jika memiliki sudut pandang yang sama.

Baik Toto Santoso dan Fani Aminadia yang menidirikan KAS, maupun orang-orang yang berada di kelompok SE-EE, jelas mereka sedang berhalusinasi. Entah faktor apa yang melatarbelakanginya.

Hanya saja yang jelas, terlepas dari sekedar frustasi karena ekonomi, atawa disebabkan terlalu banyak membaca sejarah masa lalu yang dipadu dengan imajinasi tinggi, apabila sudah menyangkut kedaulatan RI, dan bicara politik "tingkat tinggi" sekalipun dianggap ngawur adanya, namun perlu kiranya pihak pemerintah mendalami kasus munculnya kerajaan itu secara serius.

Karena yang paling dikhawatirkan dari semua itu, adalah masalah integritas bangsa sekarang ini saja sudah terkoyak oleh politik para elit, ditambah dengan munculnya "model" kerajaan halu sekalipun, tidak menutup kemungkinan akan menjadi inspirasi pihak tertentu yang sejak lama berniat memisahkan diri dari negara kesatuan Republik indonesia (NKRI). Terlepas dari perlunya  dikaji lebih jauh lagi melalui riset yang panjang, dan membutuhkan banyak referensi dari berbagai keilmuan, maupun penyelidikan dan penyidikan yang intens dari pihak telik sandi negara.

Sebagaimana juga yang diklaim Kesultanan Selaco, atawa Selacau di Tasikmalaya. Menurut pendiri Kesultanan itu, Rohidin alias Sultan Patra Kusumah VIII, Kesultanan yang didirikan pada tahun 2004, dan sudah mendapat pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2018 lalu itu, perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah. Paling tidak dengan mengadakan penelitian yang melibatkan akademisi bidang kesejarahan, dan arkeolog.

Betapa tidak, Kesultanan yang diakui sebagai penerus kerajaan Pajajaran dalam pelarian, yakni Surawisesa yang dikudeta saudaranya sendiri, dan mengungsi ke wilayah yang sekarang ini termasuk Kecamatan Parungponteng, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, diakui Rohidin, hanya berdasarkan 2 (dua) literatur tentang leluhurnya itu, ditambah dengan komplek petilasan berupa tanah pemakaman.

Selain itu, yang tak kalah menyita perhatian, adalah ihwal dana yang dikucurkan selama ini yang diakui Rohidin berasal dari Bank Swiss, pihak pemerintah melalui lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) dipandang  perlu menelusuri keabsahannya.

Karena bukankah selama ini rumor di tengah publik maupun klaim Presiden Joko Widodo tentang harta dan kekayaan bangsa Indonesia yang disembunyikan di luar negeri jumlahnya sedemikian besarnya. Bahkan konon yang disebut Dana Revolusi di era Presiden Sukarno hingg sekarang belum jelas rimbanya. Sementara yang diklaim pendiri kesultanan Selaco, atawa Selacau itu begitu mudahnya digelontorkan.

Hanya melalui seorang Grantos, bernama  Bambang M Utomo yang konon memiliki proyek  Phoenix, atawa uang yang berasal dari luar negeri, tepatnya di Bank Swiss yang hanya dapat diambil oleh seorang Grantos.

Demikian juga ihwal legalitas pendirian kesultanan yang diklaim hanya menjunjung kebudayaan itu, begitu mudahnya mendapatkan SK dan Kemenkumham dan berkas surat pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sementara pihak Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Tasikmalaya, melalui Kepala Seksi Kewaspadaan Daerah, Piping Noviati, mengakui bahwa kesultanan itu tidak terdaptar dalam catatan di kantornya.

Padahal terkait suatu kesultanan, seyogyanya harus jelas asal-usulnya secara lengkap. Sebagaimana kesultanan-kesultanan yang sudah diketahui selama ini, seperti misalnya kesultanan Yogyakarta Hadiningrat, maupun kesultanan Cirebon. ***

sumber referensi:  1 dan 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun