Fenomena munculnya orang-orang yang menabalkan diri sebagai raja dan ratu dalam sebuah negara, di negara Indonesia, dengan beragam asesoris lengkap, menyerupai laiknya suatu istana yang seringkali diperlihatkan di televisi dalam lakon masa lalu, Â dan klaim sebagai keturunan dinasti kerajaan-kerajaan era Majapahit dan semacamnya, menimbulkan banyak pendapat dan komentar dari berbagai sudut pandang ilmu, maupun yang asal bicara serupa epigon, bahkan plagiat yang sok paling tahu.
Barangkali hal itu pun, epigon dan plagiat yang disebutkan di atas, menjadi problem yang menggejala hampir serupa dengan mereka yang sekarang ini sedang jadi topik pembicaraan, yakni para pendiri kerajaan yang hanya berbekal sepotong sejarah masa lalu yang entah dibaca saat duduk di bangku sekolah, atawa dibaca sekedar sambil lalu saja.
Hanya saja mereka yang sampai mengangkat dirinya sendiri sebagai raja dan ratu, atawa juga semacam itu, bisa jadi mereka memiliki imajinasi yang tinggi, dan dipadu dengan halusinasi yang direkanya hingga menjadi nyata. Bahkan di balik itu pun, ternyata mereka memiliki maksud lain. Serupa modus demi memperkaya diri sendiri dengan melabrak ketentuan hukum yang berlaku, atawa juga sekedar mencari sensasi manakala frustasi kian membumbung tinggi.
Sebagaimana yang dilakukan pendiri Kerajaan Agung Sejagat (KAS), Toto Santoso, dengan iming-iming tentang kesejahteraan hidup bagi mereka yang memang selama ini penuh keterbatasan, baik sumber daya manusianya maupun ekonominya, dengan mudah terbuai oleh bujuk rayu Sang Raja. Apa lagi namanya kalau bukan penipuan yang termaktub dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).
Selain itu Raja Toto bersama Ratu Fanni Aminadia, menyebut berdirinya Keraton Agung Sejagat tersebut karena dengan berakhirnya perjanjian 500 tahun lalu antara kerajaan Majapahit dengan Portugis.
Konon perjanjian tersebut  dibuat tahun 1518, dan diteken oleh penguasa Majapahit, Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dengan negara Portugis yang mewakili bangsa Barat.
Sehingga dengan berakhirnya perjanjian itu, maka berakhir pula dominasi barat, yang dipimpin Amerika Serikat, dalam kontrol dunia. Dan kekuasaanpun harus kembali ke pemiliknya, yakni penerus kerajaan Majapahit, yang tak lain adalah Keraton Agung Sejagat.
Sebagai penguasa KAS, Toto Santoso mengklaim kerajaannya sebagai penguasa dunia. Bahkan disebutnya beberapa lembaga internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan alat kelengkapan kerajaannya. Negara Republik Indonesia pun demikian juga, diklaim berada di bawah kekuasaannya pula.
Begitupun  dengan gedung Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Pentagon, disebutnya bukanlah milik Amerika Serikat, melainkan berada di bawah kekuasaan Keraton Agung Sejagat.
Sedangkan mereka yang memproklamirkan Sunda Empire-Empire Earth (keren juga, ya!?), meskipun sejauh ini belum terdengar adanya pelanggaran yang bisa dijerat KUHP, akan tetapi melalui pernyataan-pernyataan yang disampaikan lewat akun media sosial miliknya, para petinggi kerajaan, atawa kekaisaran, atawa apalah namanya, cukup mencengangkan memang, sekaligus membuat dahi berkerut dalam beragam tanda tanya yang membutuhkan jawaban  berdasarkan fakta yang sesungguhnya, tentu saja.
Dari tayangan video di akun Facebooknya, salah seorang pendiri SE-EE yang mengaku bernama HRH Rangga, atawa Dr Syaikh Ki Ageng Ranggasasana Al Mursyid, LLM yang di setiap penampilannya selalu mengenakan atribut ala militer itu, bahkan lebih mencengangkan lagi.