Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Istrimu Kok Seperti Jelangkung?

16 Desember 2019   05:30 Diperbarui: 16 Desember 2019   05:42 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Problema kehidupan sepasang suami istri, sepertinya bukan hanya 1001 macam sahaja. Akan tetapi bisa jadi ibarat bintang yang berkelip di langit saking banyaknya. Sedangkan untuk menyelesaikan satu masalah saja terkadang begitu rumit, bagaikan benang kusut saja laiknya.

Mulai dari urusan nafkah yang berupa sandang, pangan, papan, uang, sampai nafkah bathin yang tempatnya di atas ranjang, di dalamnya masih juga ditemukan anak dan cucu hingga cicitnya (Kayak BUMN saja, euy!) dari masalah yang disebutkan.

Betapa tidak. Karena masalah nafkah juga seorang istri buntutnya bisa berlari ke pria idaman lain. Baik disebabkan oleh masalah nafkah lahir maupun bathin. Barangkali itu yang disebut anak masalahnya. Lalu bila perselingkuhan itu diketahui hingga terjadi keributan, maka bisa jadi dikatakan sebagai cucunya. Sedangkan buntut dari keributan itu sampai terjadi perceraian, bolehlah kita namakan cicitnya problema itu.

Sebagaimana yang dialami teman sekampung saya. Belakangan ini, katanya, istrinya selalu saja pergi tanpa berpamitan, dan bila kembali tanpa mengucap salam. Apa lagi sampai mencium tangan. Sama sekali tak pernah dilakukan.

"Kok seperti mantra jelangkung saja, ya?" komentar saya secara spontan, "Hanya bedanya mungkin kalau mantra jelangkung datang tak diundang dan pulang tidak diantar."

Teman saya hanya tersenyum kecut. Sementara saya meras geli sendiri. Tapi tidak. Saya harus berempati kepadanya. Paling tidak bersikap  sebagai pendengar yang baik dari segala curahan hatinya. Siapa tahu setelah semua unek-uneknya dikeluarkan semuanya akan hilang. Malahan kalau bisa, saya ikut membantu mencari jalan keluar dari masalahnya itu.

"Saya jadinya merasa terasing di rumah sendiri, Kang," keluhnya kemudian.

"Sejak kapan istrimu berubah seperti itu?"

"Pokoknya sejak saya di PHK. Sampai sekarang mungkin sudah sekitar lima tahun sikap istri saya jadi begitu."

"Sudah cukup lama juga. Dan selama itu kamu tidak pernah menanyakan, kenapa istrimu bersikap demikian? Pergi kemana saja, atawa untuk apa kepergiannya itu?"

Dia menggeleng pelan. Lalu dengan suara bergetar, ia bicara lagi.

"Saya takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Watak keras istri saya, tidak menutup kemungkinan akan semakin menambah runyam persoalan. Tak terbayangkan kalau sampai terjadi keributan, hingga akhirnya terjadi perceraian. Bagaimana jadinya dengan nasib anak-anak kami?"

"Tapi kalau tetap dibiarkan seperti sekarang, tokh kamu juga yang merasa tersiksa. Siapa tahu istrimu pun merasa tersiksa juga dengan sikapmu yang sudah membiarkan persoalan jadi mengambang tidak karuan. Coba kalau ada komunikasi. Kamu dengan istrimu berbicara dari hati ke hati, " saya menyodorkan saran.

Lagi-lagi dia menggeleng.

"Tidak semudah itu, Kang. Harga diri saya sebagai seorang suami benar-benar sudah tak ada lagi. Seakan sudah dibuang ke tengah lautan. Nyali saya pun sebagai lelaki rasanya sudah lama hilang sama sekali.

Coba saja bayangkan, Kang. Ketika saya di PHK, saya merasa terpuruk, dan kehilangan rasa percaya diri. Sementara sikap istri saya, jangankan memberi dorongan semangat agar saya  bangkit kembali. Sebaliknya justru malah menyebut saya sebagai banci. Mungkin sampai saat ini yang tidak pernah, atawa belum keluar dari mulutnya itu mengusir saya secara terus-terang, agar saya angkat kaki dari rumah kami.

Menyikapi sikapnya yang pergi dan datang sesuka hatinya, meskipun dalam hati terkadang ada kecurigaan, jelasnya jangan-jangan melakukan perselingkuhan, akan tetapi saya senantiasa mencobanya untuk disimpan dalam hati saja. Belum pernah sekalipun saya menegurnya.

Pokoknya kami seperti orang asing di dalam rumah kami sendiri. Segala sesuatunya pun dilakukan masing-masing. Mulai dari tidur, kami pisah kamar masing-masing. Sampai urusan makan, masing-masing memenuhi keperluan sendiri saja. Bahkan cuci pakaian pun demikian."

"Bagaimana dengan anak-anakmu?"

"Entahlah. Apakah mereka tidak mengetahuinya, atau memang menyadari, tapi pura-pura tidak terjadi sesuatu. Soalnya kehidupan mereka normal-normal saja. Berjalan seperti sebelum terjadi perselisihan di antara kedua orang tuanya. Tapi kalau keadaan saya yang jadi pengangguran, anak-anak kelihatan sudah menyadarinya.

Hanya saja terus terang. Saya merasa prihatin dengan anak-anak kami. Mungkin di luar mereka bersikap seperti biasanya. Tapi bila seperti saya, disimpan dalam hatinya, saya khawatir akan mengganggunya juga."

Gila. Saya menggerutu. Tapi hanya dalam hati, tentu saja. Sebenarnya dia sendiri menyadari dengan akibat dari keadaan hubungan ayah dan ibunya yang tidak harmonis itu.

Jangan-jangan dia sendiri sudah tahu, bagaimana jalan keluar dari persoalan yang dihadapi selama ini.

"Kalau begitu, lalu apa yang akan kamu lakukan demi menyelamatkan keluargamu itu, khususnya anak-anak darah dagingmu itu?"

"Itulah masalahnya. Pikiran saya jadi buntu jika sudah memikirkan nasib anak-anak..."

"Kalau begitu, ya sudahlah. Diberi saran untuk melakukan pembicaraan dari hati ke hati, kamu menampiknya. Lalu ditanya soal anak-anak, kamu seperti orang kehilangan akal.

Sepertinya kalau demikian kamu sendiri pantas disebut jelangkung. Sama seperti istrimu.."

"Jangan, Kang. Jangan sebut saya seperti jelangkung. Saya akan berusaha untuk berkomunikasi dengan istri setelah pulang dari sini. Itu pun kalau kebetulan istri saya sedang ada di rumah. Kalau tidak,  bagaimana ya... Mungkin besok hari akan saya usahakan." Cetusnya seraya berpamitan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun