Tadi siang, seorang tetangga yang memiliki kebun di sebelah utara kebun saya, menghampiri saat istirahat di dangau.
Tetangga kebun itu menanyakan persediaan air minum yang saya bawa, apa masih ada, atawa sudah habis -- karena akunya kalau persediaan air minumnya sendiri kebetulan sudah habis.
Dengan senang hati saya mempersilahkannya untuk mengambil sendiri air minum dalam galon yang kami bawa dari rumah. Maklum karena pekerjaan di kebun saya dibantu oleh beberapa orang yang kami upah. Sehingga persediaan makanan dan air minum pun harus ekstralebih dari biasanya.
Sementara tetangga kebun saya itu tampaknya hanya membawa persediaan air minumnya di dalam satu botol kemasan satu literan saja. Dan digunakan hanya oleh dirinya sendiri.
Hal itu pula yang membuat saya keheranan. Tidak biasanya tetangga saya itu bercocok tanam sendirian saja. Karena sebelum-sebelumnya saya selalu melihat selain bersama istrinya, juga selalu mengajak  orang lain yang diupahnya.
Memang sebagaimana biasa, seiring tibanya musim hujan, warga di kampung kami beramai-ramai mengolah kebun masing-masing untuk ditanami palawija.
Adapun jenis palawija yang lazim ditanam, antara lain jenis kacang-kacangan, jagung, dan lain-lainnya, yang berusia pendek, sehingga bila nanti tiba musim kemarau sudah dapat dipanen.
Oleh karena itu jangan heran, bila tiba musim hujan, maka sejak pagi hingga sore, kampung kami akan tampak sepi. Penghuninya kebanyakan pergi ke kebun masing-masing. Untuk bercocok tanam. Sementara yang tampak di perkampungan haya anak-anak dan orang tua yang sudah jompo saja.
Setelah menghabiskan beberapa teguk air, tampak tetangga saya itu menghela napas panjang. Matanya jauh menerawang. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
Saya pun menawarinya rokok kretek yang biasa disediakan untuk orang yang bekerja. Tapi dengan halus ia menampiknya. Katanya sudah setahun ini berhenti mengisap rokok.
"Mengapa hanya sendirian saja, kemana istrinya?" tanya saya sejurus kemudian.