Bisa jadi hal itu juga yang menjadi salah satu pemicu banyak guru abai terhadap kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Gaya hidup hedonis, atawa snob sudah menjadi bagian hidup para pendidik. Khususnya guru wanita.
Akibatnya mereka pun lupa diri. Uang tabungan anak didik terpaksa dipakai dulu untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
Padahal kesejahteraan para guru, selain mendapat gaji tetap sesuai jenjang pangkat dan golongannya, mereka pun medapatkan sertifikasi. Apakah belum cukup, atawa mereka tidak pandai-pandai mengaturnya?
Entahlah. Kalau untuk ukuran hidup di pelosok desa, sebenarnya penghasilan para pendidik itu sudah lebih dari cukup. Tapi mereka pun masih saja teriak-teriak jika gajinya tidak sebanding dengan tenaga dan pikiran yang mereka curahkan untuk mendidik anak bangsa.
Aneh memang. Masalah hak mereka tuntut. Sementara kualitas pendidikan pun dalam kenyataannya masih saja kedodoran. Sebagaimana ilustrasi di atas. Anak didik yang duduk kelas empat saja belum bisa membaca.
Maka mereka pun membela diri. "Jangan salahkan guru. Sistem yang diatur pemeritahlah yang amburadul. Sering berubah-ubah. Anak didik dan guru di sekolah terus-menerus dijadikan kelinci percobaan."
Benarkah?
Hujan telah reda. Saya harus segera pulang. Anak-anak di rumah harus diingatkan untuk belajar. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H