Halaman rumah ketua RT di lingkungan kami lumayan luas dibanding dengan halaman rumah warga di sekitarnya. Luasnya sekitar ukuran lapangan bulu tangkis. Sehingga tak pelak lagi kalau sore hari selalu digunakan anak-anak usia SD (sekolah dasar) untuk bermain bola.
Hanya saja setelah musim hujan tiba, maka ada di antara anak-anak itu yang menghentikan permainannya. Alasan mereka takut dimarahi orang tuanya jika hujan-hujanan. Anak-anak itu memilih ikut kongkow-kongkow dengan orang tua di teras rumah. Sembari menyaksikan teman-temannya yang masih asyik dengan permainannya.
Kebetulan sore itu saya pun ada di sana. Karena kebetulan diundang untuk persiapan rapat tahunan tingkat RT di lingkungan kami. Meskipun pembicaraan kami sudah tuntas, tapi berhubung hujan turun dengan lumayan derasnya, maka sambil ngobrol ngalor-ngidul saya pun menyaksikan keceriaan anak-anak yang mengingatkan kami, para orang tua saat seusia mereka.
Tanpa sengaja, di antara anak-anak yang ikut berlindung di teras, saya mendengar dua anak sedang meledek salah seorang temannya. Dua temannya itu menyuruh yang bersangkutan untuk membaca stiker yang menempel di kaca jendela. Hanya saja anak itu menolak suruhan teman-temannya,.
"Hayo, sudah kelas empat belum bisa baca!" ledek salah seorang anak itu.
Sekilas saya perhatikan ketiga anak tersebut. Karena merasa kaget mendengarnya. Masa sudah kelas 4 sekolah dasar belum bisa membaca. Lalu saya tanya anak itu.
"Apa iya kamu sudah kelas empat?" Si anak tersebut mengangguk.
Kebetulan di atas meja ada selembar koran. Saya perlihatkan koran itu kepadanya.\
"Coba baca ini," kata saya sambil menunjuk pada nama koran yang tulisannya cukup besar.
Sesaat mata anak tersebut memperhatikannya. Akan tetapi kemudian menoleh kepada dua temannya tadi. Dan kedua temannya itu malah cekikikan tertawa.
"Mana bisa dia membacanya, Pak. Di sekolah saja dia masih belum bisa membaca," tukas salah seorang.
Tiba-tiba anak yang disebut tidak bisa membaca itu berlari menerobos hujan. Tanpa pamit, atawa juga mengajak pergi dua temannya itu.
Saya hanya geleng-geleng kepala. Lalu, kami para orang tua pun terlibat obrolan maslah pendidikan di kampung kami.
Kenyataan seperti yang tadi disaksikan memang merupakan salah satu fenomena dalam dunia pendidikan tingkat dasar. Khususnya di pelosok. Bisa jadi di seluruh negeri ini seperti itu juga.
Meskipun anak didik banyak tertinggal pelajarannya, entah karena malas belajar entah disebabkan faktor lain, pihak sekolah, dalam hal ini para guru tetap saja di ahir tahun pelajaran menaikkan anak tersebut ke jenjang kelas selanjutnya.
Sehingga bagaimana jadinya apabila sampai tamat sekolah dasar, dan anak didik tersebut belum juga bisa membaca, namun tetap saja oleh pihak sekolah diberikan ijazah kelulusan?
Selain itu saya pun tidak menutup mata dengan para pendidik sendiri. Misalnya di setiap jelang akhir tahun pelajaran, uang tabungan anak didik yang biasa saban hari dikumpulkan oleh wali kelas masing-masing, biasanya harus dibagikan, atawa dikembalikan kepada masing-masing anak didik.
Namun entah bagaimana, uang tabungan anak didik itu seringkali tidak tepat waktu dibagikannya. Bahkan di antaranya seringkali juga anak didik sudah duduk di bangku SMP, uang tabungan pun baru diberikan kepada yang bersangkutan oleh mantan wali kelasnya.
Tidak jarang pula karena bisa jadi orang tua sangat membutuhkan uang yang ditabungkan anaknya selama enam tahun belajar di sekolah dasar, dengan tujuan untuk biaya melanjutkan pendidikan ke SMP misalnya, tapi karena telat dibagikan oleh pihak sekolah, maka para orang tua itupun ramai-ramai berunjuk rasa.
Pernah terjadi di satu sekolah dasar, karena mungkin sudah merasa jengkel, para orang tua itu selain melabrak ke sekolah, mereka pun sampai berani membongkar rumah wali kelas bersangkutan, dan mengambil setiap barang berharga untuk diuangkan.
Para orang tua anak didik itu dalam omelannya sering terdengar menuding para guru cenderung "gila belanja". Terutama guru wanita yang banyak terlihat berpenampilan berlebihan. Baik itu dalam mengenakan perhiasan, maupun dengan pakaian yang harga bahannya lumayan mahal.
Hal tersebut bukan rahasia lagi memang. Masih banyak guru yang tidak sesuai dengan kata guru yang diartikan dengan patut digugu dan ditiru. Gaya hidup sederhana barangkali sudah dianggap usang oleh mereka. Sebaliknya pamer kekayaan, dan saling bersaing dengan rekan sejawat guru perihal duniawi sudah bukan hal yang tabu lagi.
Bisa jadi hal itu juga yang menjadi salah satu pemicu banyak guru abai terhadap kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Gaya hidup hedonis, atawa snob sudah menjadi bagian hidup para pendidik. Khususnya guru wanita.
Akibatnya mereka pun lupa diri. Uang tabungan anak didik terpaksa dipakai dulu untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
Padahal kesejahteraan para guru, selain mendapat gaji tetap sesuai jenjang pangkat dan golongannya, mereka pun medapatkan sertifikasi. Apakah belum cukup, atawa mereka tidak pandai-pandai mengaturnya?
Entahlah. Kalau untuk ukuran hidup di pelosok desa, sebenarnya penghasilan para pendidik itu sudah lebih dari cukup. Tapi mereka pun masih saja teriak-teriak jika gajinya tidak sebanding dengan tenaga dan pikiran yang mereka curahkan untuk mendidik anak bangsa.
Aneh memang. Masalah hak mereka tuntut. Sementara kualitas pendidikan pun dalam kenyataannya masih saja kedodoran. Sebagaimana ilustrasi di atas. Anak didik yang duduk kelas empat saja belum bisa membaca.
Maka mereka pun membela diri. "Jangan salahkan guru. Sistem yang diatur pemeritahlah yang amburadul. Sering berubah-ubah. Anak didik dan guru di sekolah terus-menerus dijadikan kelinci percobaan."
Benarkah?
Hujan telah reda. Saya harus segera pulang. Anak-anak di rumah harus diingatkan untuk belajar. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H