Baru-baru ini, media ramai memberitakan dugaan pemalsuan pelat nomor kendaraan roda empat yang dilakukan anggota DPR RI dari fraksi PDIP, Arteria Dahlan. Publik pun menunggu sikap kepolisian untuk menindaklanjutinya.
Bukan hanya kasus tersebut, lantaran sikap arogansi yang dilakukan Arteria Dahlan, seperti yang dipertontonkannya baru-baru ini yang dianggap telah bersikap rasis terhadap urang Sunda, publik pun menantikan ketegasan dari ketua umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Sebab bukan kali ini saja yang bersangkutan bersikap seperti preman, jumawa, dan merasa dirinya sebagai orang yang sedang berkuasa, hingga berani melanggar aturan perundang-undangan dalam dugaan pemalsuan pelat nomor kendaraan, melainkan sudah tercatat beberapa kali.
Berdasarkan catatan, sikap kontroversial yang cenderung arogan, demi menolak lupa, adalah sebagai berikut:
1. Maret 2018, Hina Kemenag
Arteri menggunakan kata 'Bangsat' saat membahas soal kasus penipuan ibadah umrah dalam rapat kerja antara Komisi III dengan Jaksa Agung RI, Muhammad Prasetyo."Ini Kementerian Agama bangsat pak, semuanya pak. Saya buka-bukaan," ujar Arteria di Gedung DPR RI di Jakarta pada Rabu (28/3/2018) lalu.
Arteria mengaku, ungkapan kata itu terlontar lantaran dirinya kecewa dengan kinerja Kemenag dalam menangani kegiatan perjalanan umrah selama ini. Menurut Arteria, Kemenag tidak berhasil melakukan pencegahan terhadap keberadaan biro perjalanan umrah yang gagal memberangkatkan jamaahnya. Belakangan Arteria telah meminta maaf atas pernyataan tersebut.
Terlepas dari permintaan maaf yang akhirnya disampaikan oleh yang bersangkutan, dan itu pun setelah pihak Kemenag melaporkan sikap Arteria Dahlan kepada MKD, akan tetapi kata "bangsat" yang dilontarkan dari mulut Arteria Dahlan, tak lebih dan tidak kurang merupakan kata yang sering terdengar dilontarkan preman di terminal dan di pasar.
2. Oktober 2019, Tunjuk-Tunjuk Emil
Dalam program "Mata Najwa episode Ragu-ragu Perppu", Arteria menunjukkan sikap yang meluap-luap, sampai menunjuk-nunjuk Emil Salim.
Pada mulanya, Arteria bicara soal operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK yang dinilainya dipandang publik berlebihan. Padahal, menurut dia, banyak janji KPK yang tidak tercapai.
Pernyataan Arteria itu kemudian dibalas Emil dengan menyinggung soal ketua partai yang terjerat kasus di KPK. "Apa semua ketua partai masuk penjara, apa itu tidak bukti keberhasilan KPK?" ujar Emil.
Tetapi menurut Arteria, penangkapan ketua partai itu sebagian kecil dari kerja KPK. Arteria menyoroti sejumlah hal mulai dari monitoring hingga pencegahan. Arteria bahkan 'menguliahi' profesor di almamaternya sendiri. "Prof, gini loh, Prof dengan segala hormat saya sama profesor, profesor bacalah tugas fungsi kewenangan KPK, tidak hanya melakukan penindakan tapi bagaimana pencegahan," ucap Arteria.
"Bagaimana penindakannya, bagaimana juga supervisi, monitoring ini dan koordinasi ini tidak dikerjakan Prof, tolong jangan dibantah dulu Prof," ujar dia melanjutkan.
Arteria pun bicara soal alasan pembentukan dewan pengawas hingga sejumlah kasus korupsi yang menurut dia tak diangkat KPK, misalnya dana bencana, kasus KONI hingga kasus pasar Sawit. Emil Salim lantas mengatakan, ada kewajiban dalam UU KPK untuk menyampaikan laporan. Namun Arteria menepis hal tersebut.
"Mana Prof, saya di DPR, Prof. Tidak boleh begitu Prof, saya yang di DPR saya yang tahu, mana Prof? Sesat, ini namanya sesat," kata Arteria memotong pernyataan Emil dengan menunjuk-nunjuk Emil dengan posisi setengah berdiri, ddisertai suara yang tinggi.
Terlepas merasa dirinya benar, dan Profesor Emil Salim keliru, tapi sikap temperamental dan arogansi yang ditunjukkan Arteria Dahlan terhadap seorang yang usianya mungkin sepantaran kakeknya sendiri, dan disaksikan langsung oleh jutaan pasang mata, dianggap sebagai suatu sikap yang kurang ajar, sama sekali tidak memiliki tatakrama kesopanan. Terlebih lagi semua orang pun tahu. Siapa Emil Salim itu.
Pertanyaannya, apakah seorang Arteria Dahlan ini anggota DPR RI dari fraksi PDIP, atau preman pasar yang dipelihara, dan diasuh Megawati. Terhadap orang tua yang sudah sepuh saja sudah bersikap kurang ajar seperti itu.
3. Oktober 2021, Aparat tak Boleh di-OTT
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan, dalam kunjungan kerja di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (12/10/2021), menegaskan tidak setuju adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap aparat penegak hukum seperti Jaksa, hakim, dan polisi.
Menurut pria kelahiran 45 tahun silam ini, dengan melakukan OTT terhadap hakim, jaksa maupun polisi tidak bisa menjamin masalah terselesaikan. “Bayangkan kalau polisi kalian tangkap, kalau jaksa kalian tangkap, kalau hakim kalian tangkap, runtuh Republik. Masih banyak cara-cara untuk memperbaiki mereka,” ujar Politikus PDI-Perjuangan itu.
Pernyataannya itu memberikan kesan, bahwa aparat memiliki hak istimewa, dan berbeda dengan masyarakat biasa. Padahal asas hukum yang berlaku di Indonesia ini, tidak pandang bulu, dan tidak tebang pilih. Mau pejabat, aparat, maupun aparat penegak hukum sendiri diperlakukan sama. Tidak ada perbedaannya. Kecuali... Ya, praktik kongkalikong masih berlaku... Entahlah!
4. Januari 2022, Sindir Kajati Bahasa Sunda
Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan, melontarkan permintaan kontroversial setelah meminta Jaksa Agung mencopot salah satu kajati karena menggunakan bahasa Sunda dalam rapat. Permintaan itu disampaikan Arteria dalam rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin hari ini.
"Ada kritik sedikit Pak JA ada Kajati pak dalam rapat dalam raker itu ngomong pakai bahasa Sunda," kata Arteria di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/1).
Politikus PDIP itu mendesak Jaksa Agung untuk mencopot Kajati tersebut. Namun Arteria tidak menyebut siapa Kajati yang ia dimaksud.
"Ganti pak itu. Kita ini Indonesia pak. Nanti orang takut, kalau pake bahasa Sunda ini orang takut, ngomong apa, sebagainya. Kami mohon yang seperti ini dilakukan tindakan tegas," ungkapnya.
Tampaknya Arteria Dahlan ini masih harus belajar sejarah dan budaya dari setiap daerah di Indonesia. Atau jangan-jangan di partai berlogo kepala banteng dengan moncong putih ini tidak diajarkan sejarah dan tatakrama kesopanan yang sesuai adat ketimuran?
Suku Sunda menurut Badan Pusat Statistik, merupakan suku bangsa kedua terbesar setelah Jawa.
Dengan sikap rasis terhadap urang Sunda, silahkan bagaimana reaksi mereka terhadap Arteria Dahlan maupun PDIP sendiri. Silahkan periksa di media sosial, maupun dalam percakapan sehari-hari baik di kota maupun di pelosok desa.
PDIP yang memang dalam Pemilu dan Pilpres 2019 lalu kalah telak dari Gerindra, tidak menutup kemungkinan di Pemilu dan Pilpres 2024 akan semakin terpuruk saja.
Betapa masyarakat Sunda merasa dihina dan dimarjinalkan oleh seorang kader PDIP. Sehingga dengan demikian, sikap arogansi Arteria Dahlan bisa jadi bumerang bagi partainya pimpinan Megawati ini.
Ditambah lagi dengan munculnya dugaan pemalsuan pelat nomor kendaraan roda empat sekarang ini.
Sehingga publik pun mengarahkan perhatiannya terhadap Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Bagaimana tindak lanjut pihak kepolisian terhadap kasus yang sudah menyebar viral ini. Bukankah polisi biasanya juga baru bertindak setelah masalahnya viral di media sosial?
Publik saja sudah tahu banyak jika ada kasus seperti ini:
Perbuatan Arteria Dahlan memalsukan plat nomor kendaraan itu melanggar ketentuan UU. Pemalsuan pelat nomor dapat dikenakan pasal penipuan 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal tersebut berbunyi, "Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun,"
Selain itu, pemalsuan pelat nomor kendaraan juga melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sanksi pidana itu sebagaimana diatur dalam UU sebagai berikut:
1. Pasal 280, melanggar tidak dipasangi tanda nomor kendaraan bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.
2. Pasal 287 Ayat 1, melanggar larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas, pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.
3. Pasal 288 Ayat 1, melanggar tidak dilengkapi dengan STNK atau surat tanda coba kendaraan bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.
Dengan demikian, jika ditinjau dari segi hukum, perbuatan Arteria Dahlan yang memasang plat nomor kendaraan pada lima mobil yang berbeda sama saja dengan memalsukan plat nomor. Tindakan ini melanggar UU Lalu Lintas & Angkutan Jalan sehingga Arteria layak dikenakan pidana kurungan selama 2 bulan.
Apakah pihak Polri di bawah komando Listyo Sigit siap untuk menindaklanjutinya?
Bukan hanya urang Sunda saja, masyarakat Indonesia pada umumnya pun sudah pasti akan mengawal kasus dugaan ini. Paling tidak untuk membuktikan kalau hukum itu tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas, juga tidak tebang pilih dalam tindakannya.
Demikian juga halnya dengan sikap Megawati Soekarnoputri, publik menunggu ketegasannya. Sanksi seperti apa untuk kadernya yang jelas sudah bersikap rasis dan arogan sehingga menimbulkan kegaduhan, dan ujungnya akan menggerogoti elektabilitas PDIP.
Ancaman urang Sunda, terlepas yang bersangkutan sudah menyampaikan permintaan maaf, kemungkinan besar akan menjadi kenyataan. Pemilu 2024 bisa jadi merupakan akhir dari kejayaan PDIP.
Lantaran kadernya yang arogan, songong, tak tahu tatakrama, dan diduga melanggar aturan perundang-undangan lagi masih tetap dipelihara dan dipertahankan.
Publik menanti ketegasan Kapolri dan Megawati. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H