Kebetulan juga karena mungkin Ibu Saras masih lajang, sedangkan guru-guru yang lain sudah berkeluarga, dan tempat duduk mereka pun dengan pasangannya masing-masing, sehingga aku diajaknya untuk satu bangku bersama Ibu guru yang cantik tapi judes itu.
Sungguh. Awalnya sungkan dan risih juga memang. Hanya saja lantaran melihat keramahan di wajahnya, ditambah dengan ajakan yang berulang, akhirnya luluh juga. Selain itu, kupikir dalam perjalanan yang cukup jauh, siapa tahu dirinya akan butuh bantuanku.
Ya, betul saja. Di tengah perjalanan, Bu Saras wajahnya tiba-tiba tampak memucat. Kemudian dengan suara lemah meminta kantong plastik kepadaku. Sepertinya mabuk perjalanan, dan mau muntah karenanya.
Guru-guru rekan Bu Saras menegurku yang hanya diam dan termangu ragu-ragu. Mereka menyuruh diriku untuk memijat tengkuk Bu Saras. Bagaimanapun aku tetap merasa sungkan. Takut disebut murid yang kurang ajar.
Apa boleh buat. Lantaran teguran itu juga akhirnya aku meminta izin darinya untuk memijatnya.Â
"Kenapa nggak dari tadi?" tanya dia sambil mengeringkan matanya.
Aku tidak menjawabnya. Tapi kedua tanganku langsung hinggap di tengkuknya. Tak lupa, kukatakan, "Maaf," sebelumnya.
Sejak saat itu juga aku dengan Bu Saras menjadi akrab. Maksudnya tidak kaku seperti sebelumnya. Dan aku sendiri tetap tahu diri. Juga masih menjaga jarak. Dia guruku yang tetap harus dihormati.
***
Selama di Yogyakarta, ketika berkunjung ke berbagai objek wisata, aku selalu diminta untuk jangan jauh-jauh darinya. Alasannya takut ada apa-apa. Seperti saat di dalam perjalanan. Dengan berterus terang, akunya memang suka mabuk perjalanan.
Begitu juga saat berkunjung ke candi Borobudur. Ketika naik ke atas untuk melihat stupa, tanpa sungkan tangannya diulurkan meminta untuk dituntun. Amboi, lirikan dan sindiran teman-teman pun langsung menghujam. Tapi Bu Saras seakan tidak peduli.Â