Aku sendiri tidak mengerti sama sekali. Dinding pemisah di antara kami menjulang begitu tinggi. Terutama status dan usia, tentu saja. Tapi apa mau dikata. Cinta mengalahkan segalanya.
Kami di kelas biasa memanggilnya Ibu Saras.  Doktoranda Saraswati, nama lengkapnya. 25 tahun usianya. Lulusan IKIP. Dan ketika itu baru dua tahun bertugas sebagai guru di sekolah kami. Sebuah SMA pavorit di kota kabupaten tempatku melanjutkan pendidikan di tingkat menengah atas. Setelah tamat dari SMP di kota kecamatan, tentu saja.
Sejak di kelas dua aku mengenalnya. Sejak pertama berjumpa, kuakui Ibu Saras seorang wanita yang sempurna. Wajahnya, jelas cantik. Mengingatkan diriku kepada aktris Widyawati, istrinya mendiang Sophan Sophian, yang saat itu seringkali tampil di layar lebar bioskop. Hanya saja judesnya Ibu Saras, tidak ada tandingannya. Hampir semua murid, laki dan perempuan menjulukinya Ibu "Killer".
Betapa tidak. Misalnya saja kalau lupa mengerjakan tugas PR, sudah pasti tanpa ampun lagi akan diberi hukuman yang lumayan berat. Berdiri di depan kelas selama pelajaran berlangsung, ditambah tugas pekerjaan rumah yang dobel dari sebelumnya.
Begitu juga terhadap murid perempuan yang suka dandan berlebihan. Bermake-up bak biduan dangdut misalnya, sudah pasti akan dinasehati dengan kata-kata yang pedas. Kalau tidak disebut diomeli juga.
Terlebih lagi bila anak perempuan itu selain suka berdandan menor, ditambah pula dengan kelakuannya yang centil bin genit manakala sedang bersama sekumpulan anak-anak lelaki. Kalau kebetulan diketahui oleh Ibu guru yang satu ini, jangan harap dapat nilai bagus di raportnya. Sekalipun otaknya encer, pasti akan diganjar angka merah.
Demikian juga mulanya dia bersikap kepada diriku. Sikap Bu Saras sama sekali tidak pernah terasa ramah. Mungkin karena aku pernah juga dihukum lantaran tidak mengerjakan tugas PR. Selain itu, sekali waktu pernah memergokiku merokok di kantin saat istirahat.
***
Hanya saja ketika duduk di bangku kelas tiga, Â aku menangkap ada perubahan drastis pada sikapnya. Bermula saat pergi berwisata ke Yogyakarta.Â
Kebetulan saat itu aku mendapat bis yang sama. Mungkin karena aku termasuk jajaran pengurus OSIS. Sehingga diperbolehkan satu bis bersama para guru.