Sampai tiba waktunya untuk berkeliling, pertanyaan atas keadaan Jang Ridwan belum juga menemukan jawaban.Â
Demikian juga ketika kami bersiap untuk melakukan pengontrolan lingkungan, Jang Ridwan masih tetap tak bergeming. Duduk di pojokan pos siskamling sendirian, dalam keadaan yang masih dianggap suatu misteri bagi kami.
Oleh karena itu pula ahirnya saya memutuskan untuk tidak ikut berkeliling, dan berniat untuk mengorek apa gerangan yang terjadi pada anak muda yang satu ini.
Setelah kawan-kawan pergi berkeliling, saya menyeduh dua gelas kopi. Untuk saya sendiri, dan untuk Jang Ridwan tentunya.
"Ayo ngopi, Jang. Jangan diam saja! Memangnya ada apa sih, dari tadi kelihatannya seperti sedang ada masalah saja?" tanya saya sambil menyodorkan segelas kopi ke hadapannya.
Anak muda itu mengangkat wajahnya, kemudian menoleh ke sekeliling. Seperti sedang mengamati sesuatu yang dicurigai saja laiknya. Setelah itu, Jang Ridwan mendehem, disusul batuk kecil beberapa kali.
"Sebenarnya saya sedang bingung, Pak..." dia mulai membuka suara.
"Bingung kenapa?"Â
"Begini. Belakangan ini istri saya selalu uring-uringan. Kemudian menangis tanpa jelas yang jadi penyebabnya. Setiap ditanya, dia pun tak mau mengatakannya. Sebaliknya malah semakin menjadi-jadi saja tangisannya itu.
Baru kemudian saya mengetahuinya dari anak kami yang sulung, bahwa ibunya itu setiap saya sedang berjualan di pasar, selalu didatangi ibu saya, dan istri saya diomeli sebagai istri yang tidak tahu diri, dan tidak pernah peduli terhadap ibu mertua yang telah melahirkan saya yang jadi suaminya."
"Tapi menurut Jang Ridwan sendiri, bagaimana sikap istrinya terhadap ibu Jang Ridwan?"