Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Orangtua Ikut Campur Urusan Rumah Tangga Anak?

17 Juni 2020   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2020   16:22 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: nova.grid.id)

Tidak seperti biasanya  malam itu Jang Ridwan tampak bermuka masam, dengan mulut terkatup rapat, dan memilih duduk seorang diri di pojokan. 

Kami pun yang satu regu ronda malam dengannya merasa keheranan. Soalnya baru malam itu kami melihat perubahan drastis pada anak muda yang satu ini. 

Betapa tidak,  Jang Ridwan yang merupakan satu-satunya  ronda malam dalam regu kami yang usianya paling muda,  selalu saja tampil ceria, dan karena itu juga iapun selalu mampu membangkitkan gelak tawa di antara kami dengan banyolannya yang segar, dan sarat oleh kelucuan. 

Tak pernah sebelumnya kami melihat keadaannya yang seperti malam itu. 

Aneh memang.

Dalam keadaan seperti itu pula kami hanya bisa menerka-nerka. Apakah mungkin karena tidak mendapatkan jatah bansos dari ketua RT terkait pandemi Covid-19? Tapi sepertinya mustahil, kalau sampai tidak mendapatkannya. 

Menurut Kang Budi, salah seorang teman satu regu ronda malam bersama kami, dan merupakan sekretaris dalam kepengurusan RT, semua warga di lingkungan kami mendapatkan bansos tanpa kecuali. Karena perekonomian semuanya juga   ikut terdampak oleh virus Corona tersebut.

Atau jangan-jangan sedang ada masalah di dalam rumah tangganya? 

Semuanya geleng-geleng kepala. Karena tak seorangpun yang tahu pasti. Bahkan kalau melihat kehidupan rumah tangganya, pasangan suami-isteri yang baru memiliki dua anak yang masih kecil-kecil itu boleh dibilang rukun-rukun saja. Ditambah lagi dengan ekonomi keluarganya pun di lingkungan kami termasuk sudah termasuk mampu juga, biarpun baru beberapa tahun mengarungi kehidupan berumahtangga.

Sebagai seorang suami, Jang Ridwan termasuk seorang lelaki yang memiliki rasa tanggung jawab yang besar juga memang terhadap keluarga. Hal itu tampak dari usahanya sebagai seorang pedagang sembako di pasar kecamatan yang dilakoninya sejak masih bujangan.

Begitu.

Sampai tiba waktunya untuk berkeliling, pertanyaan atas keadaan Jang Ridwan belum juga menemukan jawaban. 

Demikian juga ketika kami bersiap untuk melakukan pengontrolan lingkungan, Jang Ridwan masih tetap tak bergeming. Duduk di pojokan pos siskamling sendirian, dalam keadaan yang masih dianggap suatu misteri bagi kami.

Oleh karena itu pula ahirnya saya memutuskan untuk tidak ikut berkeliling, dan berniat untuk mengorek apa gerangan yang terjadi pada anak muda yang satu ini.

Setelah kawan-kawan pergi berkeliling, saya menyeduh dua gelas kopi. Untuk saya sendiri, dan untuk Jang Ridwan tentunya.

"Ayo ngopi, Jang. Jangan diam saja! Memangnya ada apa sih, dari tadi kelihatannya seperti sedang ada masalah saja?" tanya saya sambil menyodorkan segelas kopi ke hadapannya.

Anak muda itu mengangkat wajahnya, kemudian menoleh ke sekeliling. Seperti sedang mengamati sesuatu yang dicurigai saja laiknya. Setelah itu, Jang Ridwan mendehem, disusul batuk kecil beberapa kali.

"Sebenarnya saya sedang bingung, Pak..." dia mulai membuka suara.

"Bingung kenapa?" 

"Begini. Belakangan ini istri saya selalu uring-uringan. Kemudian menangis tanpa jelas yang jadi penyebabnya. Setiap ditanya, dia pun tak mau mengatakannya. Sebaliknya malah semakin menjadi-jadi saja tangisannya itu.

Baru kemudian saya mengetahuinya dari anak kami yang sulung, bahwa ibunya itu setiap saya sedang berjualan di pasar, selalu didatangi ibu saya, dan istri saya diomeli sebagai istri yang tidak tahu diri, dan tidak pernah peduli terhadap ibu mertua yang telah melahirkan saya yang jadi suaminya."

"Tapi menurut Jang Ridwan sendiri, bagaimana sikap istrinya terhadap ibu Jang Ridwan?"

"Sepengetahuan saya, perhatian istri saya kepada ibu saya justru malah lebih besar daripada saya sendiri sebagai anak kandungnya

Demikian juga setiap memberikan sesuatu, saya lihat lebih sering kepada ibu saya dibandingkan kepada orangtuanya sendiri. 

Bahkan kalau boleh dibilang, usaha saya sekarang ini bisa lebih maju, justru berkat dorongan dari istri saya yang selalu mendampingi, dan memberikan dukungan semangat tanpa henti."

Mendengar penjelasan anak muda yang satu ini, saya mulai faham duduk perkaranya.

Bisa jadi hal seperti itu, orang tua,  atau juga mertua yang merecoki rumah tangga anaknya,  tidak hanya dialami Jang Ridwan dan istrinya, melainkan seringkali dialami oleh banyak pasangan muda yang baru mengarungi kehidupan rumah tangga.

Tidak jarang pula lantaran orang tua yang suka gatal, ikut campur urusan rumah tangga anaknya, menyebabkan rumah tangga anaknya pun jadi ambyar berantakan. 

Padahal sebenarnya pasangan suami-istri itu awalnya saling mencintai satu sama lainnya. Dan mengikat tali perkawinan pun atas dasar kesadaran sendiri, tanpa adanya campur tangan pihak ketiga.

Hanya saja faktor orang tua yang suka ikut campur, bahkan sampai ikut mendikte segala urusan tetek-bengek dalam rumah tangga anaknya, pasangan suami-istri itu pun merasa tak tahan juga. keutuhan rumah tangganya sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Keduanya pun akhirnya sepakat untuk memilih perceraian, daripada harus terus-terusan direcoki oleh orang tua.

Oleh karena itu, agar kehancuran rumah tangga yang memang tidak diharapkan tidak sampai menjadi kenyataan, maka untuk menghindarinya pasangan suami-istri itu harus mampu bersikap bijak dan dewasa dalam menghadapi persoalan yang disebabkan oleh campur tangan orangtua di dalam rumah tangganya itu.

"Jadi saya harus bagaimana menyikapi hal ini, Pak?"

"Maaf seribu kali maaf, saya sendiri tidak tahu harus bagaimana untuk memecahkan persoalan ini. Hanya saja berdasarkan pengalaman, yang entah cocok atau tidak bila diterapkan oleh Jang Ridwan, untuk menghadapi orang tua yang suka ikut campur urusan rumah tangga anaknya adalah...

Buatlah kesepakatan antara suami dan isteri, bahwa urusan rumah tangga merupakan tanggung jawab berdua, dan tanpa ada intervensi pihak ketiga. Termasuk dari orang tua maupun mertua.

Baik suami maupun isteri, masing-masing harus berani mengatakan, dan meminta bahwa masalah di dalam rumah tangga anaknya merupakan tanggung jawab berdua. Orang tua tidak perlu untuk ikut campur lagi.

Demikian juga sebagai sepasang suami istri seharusnya tak ada lagi hal-hal yang harus ditutup-tutupi. Sampaikan soal hal-hal yang mengganggu dan membuat istrimu tak nyaman dari mertuanya, atau ibumu sendiri.

Tapi tentu saja di dalam menghadapi orang tua, bagaimanapun harus tetap mengedepankan sikap hormat, dan sopan-santun.

Apabila kita sudah menyampaikan keluhan, dan permohonan seperti itu, tetapi orang tua tetap saja tak ada berubahnya, jalan untuk menghindarinya, sebaiknya tempat tinggal antara orang tua dengan kita jangan berdekatan lagi. Carilah rumah yang jaraknya jauh dari mereka. 

Tapi bukan artinya tidak boleh menemuinya lagi. Hubungan anak dengan orang tua harus tetap dipelihara. Hanya mungkin frekuensinya saja yang dikurangi.

"Barangkali begitulah di antaranya  cara menghindari campur tangan orang tua dalam kehidupan rumah tangga anaknya. Sebagaimana yang pernah dilakukan sendiri oleh saya."

Sesaat tampak anak muda itu manggut-manggut, dan kemudian dari bibirnya tersungging senyuman. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun