Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bicara Sejarah Pancasila, Pohon Sukun Itu Janganlah Dilupakan

31 Mei 2020   07:38 Diperbarui: 31 Mei 2020   08:10 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari-hari, Soekarno memilih berkebun dan membaca. Untuk membunuh kebosanannya dengan aktivitas yang monoton itu, jiwa seni Bung Karno kembali tumbuh.

Sebuah tempat favoritnya untuk berkontemplasi adalah di bawah pohon sukun yang menghadap langsung ke Pantai Ende.

Pohon sukun itu berjarak 700 meter dari kediaman Soekarno. Biasanya, Soekarno pergi sendiri ke tempat itu pada Jumat malam.

Di tempat itulah, Soekarno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus. Sebagaimana yang dituangkan dalam kisahnya berikut ini:

"Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari... Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung.., di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada."

Sehingga dari kisah tentang lahirnya Pancasila itu, sebagai warga negara, dan bangsa Indonesia, kita dapat banyak memetik banyak makna dan hikmahnya.

Paling tidak di dalam keterasingan, dan kesepian, juga penderitaan, bisa dilahirkan suatu mahakarya yang menjadi pegangan hidup kita semua dalam koridor berkehidupan berbangsa dan bernegara di negara kesatuan Republik Indonesia yang bhinneka tunggal ika ini.

Bahkan bisa jadi relevan juga antara situasi dan kondisi yang ketika itu dialami Bung Karno dengan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.

Ya, dalam suasana yang dicekam keprihatinan yang berkepanjangan akibat pandemi Covid-19, yang menuntut kita semua harus senantiasa waspada dan disiplin agar tidak terpapar penyebaran pagebluk tersebut, ditambah lagi dengan- apa boleh buat - harus mengencangkan ikat pinggang, adalah suatu kondisi yang sama sekali bukan untuk ditangisi dan disesali.

Apalagi kalau sampai saling menyalahkan, dan nyinyir kasak-kusuk mencari kambing hitam. 

Sebagaimana halnya lantaran oleh pemerintah dihimbau untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, lalu ditetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan saat ini dengan dicanangkannya kehidupan normal baru, atau lebih dikenal new normal itu, di sana-sini masih juga terdengar keluhan, protes, dan nyinyir yang tak berkesudahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun