Memang benar, seperti sering didengarnya, dari gaya bicaranya yang ketus, ditambah dengan bahasa yang kasar, tetangga saya pada awalnya pun mengakui kalau preman itu seorang yang sulit untuk berkompromi.
Akan tetapi tetangga saya tidak sedikitpun merasa gentar, juga tidak terpancing sama sekali. Dirinya tetap berusaha untuk bersikap ramah. Kemudian memperkenalkan diri, selain sebagai pedagang keliling, juga karena mengaku sering mendengar nama sang preman yang sudah terkenal, tetangga saya meminta ijin untuk berdagang di wilayahnya.
Entah karena tersanjung oleh celoteh tetangga saya itu, atawa entah karena apa, sang preman itu ahirnya menyambut baik kehadiran tetangga saya. Malahan setelah berbasa-basi, tuan rumah langsung memanggil istrinya, dan menyuruh untuk mengambil beberapa lembar kain yang disukainya.
Hanya saja, sang preman mengaku kalau tidak bisa membayar semua barang yang diambil isterinya, “Agar kamu sering datang ke sini lagi, bagaimana kalau sisanya dibayar minggu depan?” tanya sang preman penuh keakraban.
Sebagai pedagang, meskipun dalam hatinya muncul sedikit keraguan, namun tetangga saya pun ingin mencoba kejujuran pelanggan barunya itu. Dan siapa tahu kalau sudah sering ketemu, paling tidak malah akan memberi ‘nilai lebih’ di mata sesama para pedagang keliling yang tadi menantangnya itu.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, dan bertukar nomor telepon genggam, tetangga saya pamitan pada tuan rumah.
Tiga hari kemudian, pagi-pagi telepon genggam tetangga saya berdering. Ternyata dari sang preman itu yang memintanya untuk datang hari itu juga, karena kebetulan sedang ada uang untuk melunasi sisa pembayaran kain yang dibelinya.
Tanpa menunggu lagi tetangga saya pun bergegas menuju ke wilayah kecamatan tempat sang preman itu. Betul juga, setibanya di sana sang preman membayar lunas utangnya. Selain itu dia pun menyuruh teman-temannya yang kebetulan sedang bertamu untuk membeli kain yang dibawa tetangga saya, yang diakui sang preman sebagai saudaranya.
Singkat cerita, setelah itu, tetangga saya setiap berkeliling di wilayah kecamatan itu, selalu menyempatan untuk berkunjung ke rumah sang jagoan. Selain membuat teman-teman sesama pedagang keliling keheranan, para preman lain di wilayah itu tak seorang pun ada yang mengganggu tetangga saya, barang dagangannya pun seringkali terjual banyak.
Meskipun demikian, bisa jadi tetangga saya tidak termasuk orang yang suka bersikap aji mumpung. Dia tetap mengatur jadwal kelilingnya secara periodik. Maksudnya dalam satu bulan, daerah di setiap empat arah mata angin sudah mendapat bagian yang tetap.
Akan tetapi baru saja sekitar sembilan hari tidak ketemu dengan sang preman itu, di sustu pagi hari dia menerima panggilan lewat telepon genggamnya. Hanya saja saat akan dijawab, dering panggilan itu pun sudah keburu mati. Apa boleh buat, karena hari itu kebetulan pulsanya sudah habis, tetangga saya tidak bisa menelpon balik.